APAKAH PRAKTEK BANK TERMASUK RIBA?
(PERSPEKTIF SYEKH ALI JUM'AH)
Sebagian kalangan menganggap bahwa bank itu riba sehingga
berinteraksi dengan bank sama dengan berinteraksi dengan riba. Penjelasan
berbeda dikemukakan oleh Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Negara Mesir. Beliau
berpendapat bahwa bank itu bukan riba sehingga tidak ada larangan untuk
berinteraksi dengan bank. Dalam sebuah program wawancara yang bertajuk ‘Mafahim
Ifta`iyah’ (pendalaman-pendalaman fatwa) beliau menjelaskan secara terperinci
mengapa bank tidak bisa disebut Riba.
Beliau mengawali penjelasan bahwa fatwa itu menurut peristiwanya
secara spesifik. Jika
peristiwanya telah berubah, maka fatwa tersebut tidak lagi relevan. Beliau juga
menjelaskan bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) harus benar-benar
mendalami dan menguasai persoalan yang sedang dimintakan fatwa. Ketidak-pahaman
terhadap suatu persoalan, menjadikan fatwa tidak benar atau tidak sesuai dengan
hukum Islam.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa dahulu,
memang terdapat fatwa bahwa bank itu termasuk riba dengan asumsi bahwa uang
yang beredar di masyarakat masih berpatokan pada emas. Namun,
itu telah berubah. Uang yang beredar, terutama lewat bank, tidak lagi
berpatokan pada emas, tapi memiliki sistem sendiri yang diatur dan diawasi oleh
Bank Central. Dengan demikian, fatwa mengenai bank tersebut tidak lagi relevan
sekarang ini.
Selain itu, dahulu, orang memahami bahwa uang dan bank adalah
sesuatu yang berbeda; tapi pemahaman ini tidak relevan lagi, karena uang dan
bank itu hakikatnya adalah sama. Pemahaman yang membedakan antara uang dan bank
berangkat dari asumsi bahwa uang itu berpatokan pada emas. Sekarang tidak lagi demikian. Uang tidak lagi berpatokan pada emas, tapi pada devisa negara.
Disamping itu, uang yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh
bank, yaitu Bank Central. Jadi, sebenarnya uang dan bank adalah satu kesatuan,
ibarat dua sisi mata uang. Implikasinya, jika seseorang mengatakan bahwa bank
adalah riba, maka berarti uang yang beredar sekarang juga riba karena berasal
dari bank sehingga semuanya haram. Tentunya tidak ada yang berpendapat
demikian.
Syaikh Ali Jum’ah juga menjelaskan, bahwa selama ini bank dianggap
riba atas dasar beberapa hal, yaitu:
1. Uang yang ditransaksikan dalam bank adalah berpatokan pada emas
atau perak.
2. Transaksi bank diasumsikan sebagai bentuk Qard (hutang-piutang)
sehingga terdapat Dhaman (tanggungan) dari pihak yang berhutang.
3. Terdapat manfaat (faidah/ tambahan) dalam hutang-piutang
tersebut yang lazim disebut dengan bunga bank.
Hukum ini benar jika bank memang benar demikian. Nyatanya, bank
atau sistem bank, tidaklah demikian sehingga hukum tersebut tidak bisa
dibenarkan.
Sebuah tukar menukar bisa dianggap riba jika berupa emas atau perak
yang ditukar dengan sejenisnya dengan adanya tambahan; dengan arti tidak sama
timbangan/nilainya. Jika uang – yang
dikeluarkan oleh bank - memang
representasi dari emas/perak maka benar jika transaksi bank dianggap riba.
Namun, nyatanya tidak demikian, uang yang beredar sekarang bukan representasi
dari emas/perak sehingga tidak terdapat unsur riba.
Selanjutnya, transaksi bank sebenarnya bukanlah bentuk Qard
(hutang-piutang), melainkan Tamwil (pembiayaan). Riba terjadi karena ada
tambahan dalam hutang (Qard) tanpa ada pekerjaan (produksi), sedangkan
transaksi bank tidak demikian. Sistem bank yaitu investasi. Bank mengumpulkan
dana dari masyarakat lalu menginvestasikannya dalam bentuk pembiayaan pada
masyarakat pula. Jadi sebenarnya tidak ada ‘bunga hutang’ atau faidah;
tapi yang ada adalah sistem bagi hasil dari keuntungan pembiayaan.
Syaikh Ali Jum’ah menegaskan bahwa terdapat 6 fakta mengenai bank
yang perlu diketahui, yaitu:
1. Uang adalah sama saja dengan bank karena dikeluarkan olehnya.
2. Uang yang beredar sekarang - yang dikeluarkan oleh bank central - adalah sama sekali tidak lagi berkaitan dengan emas
3. Bank - terutama bank
central - memiliki
tugas di masyarakat yang perlu diketahui, yaitu mencegah inflasi.
4. Bank tercipta dan tumbuh dari sistem lain (Barat) yang tidak
banyak kita ketahui.
5. Sekarang ini, sistem bank telah dipakai oleh seluruh dunia tanpa
bisa dihindari lagi oleh suatu negara.
6. Bank itu fungsinya membiayai (tamwil), bukan menghutangi
(qard); jadi tidak ada yang namanya ‘bunga hutang’ (faidah); tapi
yang ada adalah sistem bagi hasil dari keuntungan pembiayaan.
Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau bahwa sebab hukum (illat) riba
tidak terdapat pada bank sehingga bank tidak bisa dihukumi riba. Pertama; Bisa
dianggap riba jika obyeknya (maḥal al-‘illat) adalah emas, sedangkan
transaksi bank tidak ada kaitannya dengan emas sehingga tidak bisa dianggap
riba. Sebagaimana tersebut dalam kaidah, bahwa jika tempat (maḥal) hukum
tidak ada maka hukumnya juga tidak ada.
Kedua; bisa disebut riba jika transaksi berupa
hutang-piutang yang terdapat tambahan/ faidah/ manfaat di dalamnya sebagaimana
kaidah,
) كل قرض جرى منفعة فهو ربا(
“Setiap hutang yang terdapat manfaat maka riba”.
Transaksi bank bukanlah hutang-piutang, melainkan pembiayaan/investasi
yang ada unsur produksi. Manfaat (bunga) yang ada pada transaksi perbankan
sebenarnya adalah bagi hasil dari keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan
tersebut. Dengan demikian, transaksi bank tidak bisa dianggap sebagai riba.
Bahkan Syaikh Ali Jum’ah berpendapat bahwa ketiadaan bank sekarang
ini justru akan mendatangkan riba. Jika bank tidak ada, maka akan terjadi riba
di masyarakat. Salah satu fungsi bank adalah mencegah inflasi; dan dengan tidak
adanya bank, berarti tidak ada lembaga yang mencegah inflasi sehingga sangat
rentan terjadi inflasi di masyarakat yang ditandai dengan naiknya harga-harga
barang.
Uang 100 ribu misalnya, semula bisa untuk beli sepatu bagus, tapi
dengan adanya inflasi - karena tidak adanya bank - menjadi tidak bisa untuk
membelinya. Dengan demikian nilai uang tersebut menjadi turun (tidak sama
dengan sebelumnya) sedangkan nilai/harga barang naik (bertambah); dan ini
sangat identik dengan riba.
Lagipula kalangan yang paling menderita dengan adanya inflasi
adalah rakyat kecil karena tidak memiliki banyak uang. Hal ini sangat cocok
dengan substansi dilarangnya riba dalam Islam yaitu melindungi kepentingan
masyarakat bawah. Begitu pula dengan diwajibkannya zakat, juga memiliki
substansi yang sama, yaitu melindungi kaum lemah.
Jika dikatakan bahwa bunga bank itu berlipat ganda sehingga identik
dengan riba, maka bisa dijawab: bahwa bank itu memiliki sistemnya sendiri yang
sudah ditetapkan dan sudah diberitahukan kepada customer. Jika kemudian
penghutang tidak bisa membayar cicilan sehingga terkena denda maka itu sebuah
konsekuensi.
Lagipula sudah ada regulasinya jika memang pelanggan mengalami
kredit macet. Pelanggan bisa berkomunikasi dengan bank untuk memperoleh
keringanan cicilan, dan jika perlu, bisa juga lewat jalur hukum. Selain itu, terdapat
pula sistem bank yang memungkinkan memberikan pinjaman lagi supaya costumer
tadi bisa bangkit dari keterpurukan bisnisnya.
Jika dikatakan bahwa bank itu boleh karena terpaksa (darūrat),
karena tidak bisa menghindarinya lagi; maka bisa dijawab bahwa itu tidaklah
benar, karena bank itu sudah di luar riba, karena bank sama sekali tidak
terkait dengan emas dan perak yang menjadi tempat (maḥal) adanya riba.
Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah, jika tempat hukum tidak ada,
maka hukum tersebut tidak bisa diberlakukan. Semisal hukum denda (kafarah)
dengan memerdekakan budak. Ini tidak bisa dilakukan karena sekarang ini tidak
ada lagi budak. Semisal pula kewajiban membasuh tangan sampai siku dalam wudlu.
Ini tidak bisa diberlakukan jika orang yang wudlu memang tidak memiliki tangan.
Demikian pula dalam hal riba yang tempatnya adalah emas dan perak. Jika bank
bukanlah emas dan perak, maka tidak bisa dikatakan bahwa bank itu riba.
Terakhir, Syaikh Ali Jumah menegaskan bahwa fatwa yang beliau keluarkan sama sekali
tidak ada campur tangan pemerintah.
Banyak kalangan menganggap bahwa beliau memperbolehkan transaksi
bank karena ditekan oleh pemerintah atau karena kepentingan negara. Beliau
dengan tegas membantah hal tersebut. Beliau menegaskan bahwa fatwa tersebut
murni akademis dengan mempelajari bank secara mendalam dan mempertimbangkan
banyak hal sesuai dengan realita sekarang. Beliau juga mengatakan telah
mempelajari hal ini selama kurang lebih 40 tahun dengan mempelajari seluk beluk
bank secara mendalam guna mendapatkan hukum yang benar mengenai bank tersebut.
Sumber: dari postingan Yusri Yahya
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=202947292650502&id=100088056981180&__cft__[0]=AZWRMl8mQfQjq40YA1KRBOzIQ8bGOL7RL1KZjm2peMcePtXjmPPgkfhIHa3LiZGmlYZP3U257uXIKRVyYx7FIHA7wjsIHlPWGtt__YVqu9horf-vaEl-211nr7-l9aKHGnYBPGxBXHFQHZPdqSP3p1756eyTL97F61zsdsP3kLrUdxTQKYBd5C8sl5Dsu4aumtM&__tn__=%2CO%2CP-y-R
Adapun mengenai keluarnya uang dari jenis riba itu sejak tahun 1972
M, bisa dilihat dari penjelasan Maulana Syekh Yusri Rusydi al-Hasani al-Husaini
hafizhahullah dalam pelajaran tentang ashnaf ribawi:
https://www.facebook.com/photo/?fbid=638025230052169&set=a.145609372627093
Ringkasan pembahasan tentang riba yang dijelaskan Maulana Syekh
Yusri Rusydi al-Hasani hafizhahullah:
'Illat (sebab) riba pada jenis-jenis barang ribawi:
1. Menurut al-Ahnaf:
- naqdiyah; mata uang dari emas & perak
- semua yang ditakar
- semua yang ditimbang.
berarti sangat luas, sampai petroleum pun termasuk ribawi.
2. Menurut Malikiyah:
- naqdiyah; mata uang dari emas dan perak
- bahan makanan pokok yang bisa disimpan lama; seperti zabib
(kismis), kurma, gandum & beras.
3. Menurut Syafi'iyah:
- naqdiyah; mata uang dari emas dan perak.
- semua yang dikonsumsi; dimakan atau diminum, meskipun hanya obat.
4. Menurut Zhahiriyah yang tidak mengqiyas, hanya sesuai dengan
yang disebutkan dalam hadits, yaitu:
- emas
- perak
- bur
- sya'iir
- tamr
- milh
- hinthah
* Mata uang yang ada sekarang tidak menggantikan posisi naqdain
sejak tahun 1972M. Jadi, mata uang sekarang bukan jenis ribawi tapi barang
komoditi (dagangan) biasa...
---
Ketika sama jenis & sebab ribawi; seperti beras biasa dengan
beras basmati yang harganya bisa 5 kali lipat harga beras biasa, tapi keduanya
sama dari jenis beras dan 'illatnya yaitu yang dimakan, maka disyaratkan 3 hal:
1- tamatsul; yaitu ukuran yang sama, kalau tidak maka akan jatuh
pada riba fadhl.
2- taqabudh: harus terjadi serah terima. Kalau tidak, maka akan
jatuh pada riba al-yadd.
3- hulul; keduanya tunai. Kalau tidak; maka akan jatuh pada riba
nasiiah.
Ketika sama 'illat tapi berbeda jenis, maka tidak disyaratkan
tamatsul, tapi disyaratkan taqabudh dan hulul. Misalnya: 1 kg beras biasa
dengan 1.5 kg jagung. Keduanya berbeda jenis tapi 'illatnya sama yaitu yang
dimakan.
Ketika berbeda jenis & 'illat; maka terserah saja bagaimana
jual belinya; seperti jual beli antara emas & kurma.
-----
Jadi ada 4 jenis riba, 3 yang pertama terkait jenis-jenis ribawi
saja, yaitu:
1. Al-Fadhl: tidak sama ukuran pada ashnaf ribawi yang sama
jenis dan 'illat. Seperti beras basmati yang ditukarkan dengan 5 kg beras
biasa. (Meskipun harga beras basmati di pasaran lebih mahal 5 kali lipat dari
beras biasa) karena keduanya sama jenis & 'illat.
2. Al-Yadd: tidak terjadi serah terima kedua barang atau
salah satunya di tempat akad. Misalnya tukar menukar antara 1 kg beras basmati
dengan 1 kg beras biasa, tapi beras biasanya ada dalam gudang.
3. An-Nasiiah: tidak terjadi tukar menukar tunai; misalnya 1
kg beras biasa dibayar 1 kg basmati pada minggu depan.
4. Ad-Dain atau al-Qardh: semua manfaat yang diambil
dari hutang piutang.
Misalnya: "aku meminjamkan padamu handphone ini selama 1 bulan
dengan syarat kamu memberi aku 50 pound".
Atau: "ambil 20 ribu pound ini, tapi kamu harus
mengembalikannya 30 ribu pound tahun depan".
Riba ini tidak khusus pada jenis-jenis ribawi tapi terkait untuk
semua hutang piutang.
(Ustadzah Hilma
Rosyida Ahmad)