اللَّه أَكْبَرُ ٣×.
اللَّه أَكْبَرُ ٣×. اللهُ
أَكْبَرُ ٣×. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ
اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ. وَاللهُ أَكْبَرُ. اللهُ
أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
اَلْحَمْدُ للهِ
الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ
اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِي الْمَحْشَرْ. نَبِيٌّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ
وَطَهَّرْ أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ
كِتَابِهِ الكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. يَا أَيُّهاَ
الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ
وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللهُ أَكْبَرُ ٣×
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Masyarakat secara psikologis merupakan kumpulan orang dengan
berbagai kepentingan, pemikiran dan keinginan. Sedangkan secara sosiologis
masyarakat terdiri dari berbagai suku, status sosial, ekonomi dan pendidikan.
Kemudian masyarakat juga memiliki beragam orientasi politik, agama maupun
ideologi.
Semua perbedaan tersebut akan mempengaruhi perilaku manusia.
Perilaku tersebut bisa bercorak positif dan negatif, namun perbedaan tersebut
kebanyakan bersifat negatif dalam arti mengundang konflik baik yang bersifat
laten maupun konflik nyata dalam bentuk tindak kekerasan.
Untuk menekan konflik yang disebabkan berbagai faktor tersebut
diperlukan konsep untuk mengatasinya. Konsep tersebut sejatinya yang mampu
menekankan terciptanya rasa kasih sayang sesama manusia. Hanya dengan kasih
sayang dan rasa saling mengasihi maka problem kemanusiaan bisa diselesaikan.
Dan rasa kasih sayang itu semuanya dilampiri semangat Tauhid, yakni motivasi
itu dilakukan dengan niat karena Allah semata.
Salah satu konsep masyarakat saling menyayangi ini dikemukakan
dalam al-Quran surat al-Balad ayat 17 yang disebut “Masyarakat Marhamah”.
Bunyi lengkap dari ayat tersebut adalah,
ثُمَّ
كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡمَرۡحَمَةِ
١٧
”Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling
berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang”.
Untuk memahami konsep masyarakat Marhamah perlu dibaca ayat
13-16 surat al-Balad. Dari keterangan ayat ini bisa dipahami bahwa masyarakat
Marhamah adalah mereka yang memerdekakan budak, memberikan makan pada saat
musim kelaparan, dan membantu anak yatim, kerabat dan orang miskin serta fakir.
فَكُّ
رَقَبَةٍ ١٣ أَوۡ إِطۡعَٰمٞ فِي يَوۡمٖ
ذِي مَسۡغَبَةٖ ١٤ يَتِيمٗا ذَا مَقۡرَبَةٍ ١٥ أَوۡ مِسۡكِينٗا ذَا مَتۡرَبَةٖ ١٦
“(Yaitu)
melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Kepada)
anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat
fakir”.
Dari keterangan ayat
ini jelas bahwa masyarakat Marhamah bertumpu pada kekuatan saling membantu,
mereka yang kuat secara ekonomi membantu yang miskin untuk meringankan beban
hidup mereka. Bukan hanya itu, tetapi juga saling menasehati, saling
berpesan untuk tabah dan sabar dalam menghadapi setiap masalah dalam kehidupan.
Bila dihubungkan dengan surat al-Hujurat ayat 10 dikatakan bahwa “Orang
beriman itu bersaudara”. Itu artinya, rasa kasih sayang itu mestinya sangat
kuat. Dalam versi al-Qur’an masyarakat Marhamah atau saling menyayangi ini
termasuk golongan kanan yang dijamin masuk surga.
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
“Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat”.
Bila direview ke
dalam sejarah banyak kita temui contoh penerapan masyarakat Marhamah, baik yang
terjadi di masa Rasulullah, era khulafaur rasyidin, maupun masa dinasti
pemerintahan Islam. Contoh yang spektakuler dan nyata bisa kita lihat ketika
terjadi peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan para sahabat dari Makkah ke Madinah
pada tahun pertama Hijrah, bertepatan tahun 622 Masehi.
Para sahabat dan pengikut Nabi yang hijrah dari Makkah ke
Madinah hampir semua dalam keadaan miskin. Mereka yang disebut kaum Muhajirin
ini meninggalkan kampung kelahirannya dengan semua harta yang dimilikinya dan
meninggalkan keluarga dan sanak saudaranya. Sehingga ketika mereka tinggal di Madinah
mereka dalam keadaan serba kekurangan.
Penduduk Madinah yang disebut kaum Anshar (penolong)
adalah masyarakat yang sudah meyakini kebenaran dakwah Islam yang dibawa Nabi
Muhammad. Karena itu kepedulian mereka sangat tinggi kepada Nabi dan sahabat yang
hijrah ke Madinah. Untuk mempererat persaudaraan itu maka Nabi Muhammad Saw
menyatukan beberapa sahabat Muhajirin dengan Anshar secara berpasangan. Abu
Bakar, misalnya, dipersaudarakan dengan Haritsah bin Zaid, Ja’far bin Abu
Thalib dipersaudarakan dengan Mu’adz bin Jabal, dan Umar bin Khattab
dipersaudarakan dengan ‘Itbah bin Malik. Demikian seterusnya.
Dengan demikian, maka kaum Muhajirin yang bertahun-tahun
terpisah dengan sanak saudara dan kampung halamannya, merasa tenteram dan aman menjalankan syariat agamanya.
Di tempat yang baru itu, sebagian dari mereka ada yang hidup berniaga, dan ada
pula yang bertani seperti Abu Bakar, Utsman dan Ali, mengerjakan tanah kaum
Anshar.
Dengan ikatan yang teguh
ini, dapatlah Nabi Muhammad Saw mengikat setiap pengikut Islam yang terdiri
dari bermacam-macam suku dan kabilah itu, ke dalam satu ikatan masyarakat Islam
yang kuat, dengan semangat bekerja bergotong royong, senasib sepenanggungan, seperasaan,
sesakit, sesenang dengan persaudaraan Islam.
Sebagian orang Arab yang menyatakan masuk Islam dalam keadaan
miskin disediakan tempat tinggal di bangunan masjid yang kemudian dikenal dengan nama Ashhab Suffa.
Keperluan hidup mereka dipikul bersama di antara Muhajirin dan Anshar yang
telah berkecukupan (Lihat, dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama
Republik Indonesia, CV Jaya Sakti, Surabaya, Juli 1989, hal 72-73).
Di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 9 diceritakan betapa
orang Anshar amat mencintai orang Muhajirin. Mereka lebih mengutamakan
keperluan orang Muhajirin ketimbang bagi dirinya sendiri. Al-Quran menjelaskan,
وَٱلَّذِينَ
تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ
إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ
وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ
شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang
yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan
mereka mengutamakan kepentingan orang Muhajirin atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka memerlukan” (al-Hasyr ayat 9).
Ayat di atas turun berkaitan dengan peristiwa warga Anshar yang
menjamu dan menghormati orang Muhajirin. Sekalipun warga Anshar ini orang
miskin, namun mereka berkorban untuk sahabat yang berhijrah.
Dikisahkan seseorang mendatangi Rasulullah dalam keadaan lapar.
Nabi kemudian mengutus seseorang kepada istrinya untuk menyediakan makanan. Tapi istri Nabi mengatakan, ”Kami tidak
mempunyai apapun, kecuali air,” Nabi kemudian berkata, “Siapakah di antara kalian yang ingin
menjamu orang ini,”. Salah seorang Anshar menjawab,” Saya yaa Rasulullah”.
Lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah isterinya. Ia
berkata, ”Muliakanlah tamu Rasulullah Saw“. Istrinya menjawab, ”Kami
tidak memiliki apapun, kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshar itu
berkata, ”Siapkanlah makananmu itu, nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak
anak kalau mereka minta makan malam“.
Wanita itupun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan
menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan
memadamkannya. Kedua suami isteri inipun seakan sedang makan. Setelah itu
mereka tidur dalam keadaan lapar.
Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasul. Rasul
bersabda, ”Malam ini Allah tertawa
dan takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah menurunkan ayatnya, yang
artinya mereka mengutamakan orang Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu”. Inilah asbabun nuzul
surat al-Hasyr ayat 9.
Khalifah ur-Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib mempunyai pengalaman yang sama dan menjadi
sebab turunnya ayat al-Qur’an. Ceritanya sebagai berikut, Sayidina Ali
kehabisan makanan sehingga keluarganya menderita kelaparan. Untuk itu Ali pergi
ke rumah seorang Yahudi mengambil benang untuk ditenun oleh isterinya Fatimah
(putri Nabi Muhammad).
Upah menenun itu dibelanjakan dan diperoleh tiga mangkuk gandum,
satu mangkuk gandum diolah menjadi tepung untuk dimakan. Ketika Saiyidina Ali
hendak makan datang seorang miskin yang meminta-minta, lalu ia beri satu
mangkuk. Pada hari kedua datang pula seorang anak yatim diberi pula satu
mangkuk, dan pada hari ketiga datang lagi seorang yang baru keluar dari tahanan
meminta makanan, lalu Sayidina Ali memberinya pula satu mangkuk, karena habis
akhirnya Sayidina Ali dan keluarganya hanya minum air untuk menahan lapar.
Dari peristiwa yang terjadi dalam keluarga Ali ini turunlah ayat
yang memuji amal perbuatan keluarga Ali tersebut.
وَيُطۡعِمُونَ
ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ٨
”Dan mereka memberikan makanan yang dicintainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”, (surat 76 al-Insan ayat 8).
Menjadi jelas bahwa konsep masyarakat Marhamah menciptakan
suasana rukun dan damai. Tidak ada konflik kelas antara kaum the haves
dan have not, kerukunan terjalin diantara masyarakat sendiri, semua ini
bukan karena kebijakan pemerintah, tetapi pengaruh dari Iman yang kuat kepada
Allah yang menilai tinggi amal kebajikan atau perbuatan shaleh. Dengan begitu
dalam masyarakat yang berjalan konsep Marhamah kerja pemerintah menjadi ringan.
Sebenarnya kalau ditelaah lebih dalam masyarakat Marhamah ini
dibangun oleh Islam melalui konsep zakat. Zakat itu pada prinsipnya bukan
semata pembebanan hukum bagi orang yang mampu, tapi juga untuk membangun
hubungan kasih sayang di antara manusia. Yaitu antara orang kaya dan orang
miskin. Orang kaya dengan kekayaan dan kedermawanannya membantu orang miskin,
sedangkan orang miskin tidak timbul rasa cemburu dan benci pada orang kaya,
sebaliknya ia ikut menjaga harta milik orang kaya. Karena itu tepat apa yang
dikatakan al-Quran surat at-Taubah ayat 11 bahwa orang yang membayar zakat itu
adalah saudara saudaramu.
فَإِن
تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِۗ
وَنُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui”.
Untuk Indonesia konsep masyarakat Marhamah ini perlu menjadi
perhatian karena di negara kita tingkat ketimpangan sosial cukup tinggi.
Kekayaan masih berpusat di kalangan tertentu. Menurut seorang pakar, 1 persen
orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisanya
50 persen lagi diperebutkan 99 persen penduduk. Ironisnya lagi, 74 persen tanah
dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk (Lihat, Prof Dr. Hafid Abbas, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, Pro
Deleader, Jakarta, 2016, hal XV).
Ketimpangan ini jika tidak ada antisipasi bisa menjadi bom waktu
yang setiap saat siap meledak. Karena itu jika ajaran Islam dengan menciptakan
masyarakat Marhamah diupayakan dibangun dalam kehidupan, maka ketimpangan
ekonomi tidak akan berefek negatif seperti kecemburuan sosial dan saling
membenci. Sebab, yang kaya akan mengayomi yang miskin dan yang miskin akan
menjaga harta si kaya. Sebuah kehidupan yang rukun akan berjalan di tengah
masyarakat.
Sumber : https://panjimasyarakat.com/2020/10/15/konsep-masyarakat-marhamah/
0 Comments:
Posting Komentar