ANAK DAN MENANTU
Oleh:
Ary Yanti
Anak
mantu yang ayu itu duduk dengan gugup di hadapan. Aku tahu gelisah hatinya,
besok akan lebaran tapi Daniel anak keduaku mungkin belum begitu berlimpah
rezeki seperti saudaranya yang lain. Aku mengerti betul gundah hatinya.
Tak
ada anak dan menantu yang tak ingin membahagiakan orangtua maupun mertuanya. Tak
ada seorang pun anak dan menantu yang tak ingin dipandang hebat oleh orangtua
atau mertuanya. Aku ingin sekali menangis saat Ina mengulurkan tangannya
sungkan dengan amplop lusuh yang tipis.
"Mama
maaf, bang Daniel baru punya rezeki segini. Ini untuk mama ya maa,"
bisiknya nyaris tak terdengar.
Aku
menahan air mata yang beranai di pelupuk netra.
"Kalian
semua sudah beli baju lebaran na?" tanyaku mengalihkan suasana agar
perasaan pilu ini tak begitu menguasai diri.
Ina
mengangguk pelan, dan aku tahu dia tengah berbohong.
"Tenang
ma, Alhamdulillah anak-anak sudah beli baju lebaran semua, bahkan Aji beli baju
koko kembaran sama bang Daniel. Ratih juga udah," jelas Ina dengan mata
berbinar.
"Dan
kamu?" tanyaku yang merubah wajahnya menjadi kikuk.
"Ina
masih punya gamis yang layak dipakai ma," jawabnya datar.
Ah
Ina mantuku tersayang, maafkanlah karena rezeki anakku yang pas-pasan kau terpaksa
hidup menderita begini.
Jiwamu
tulus sekali mampu menutupi kefakiran suamimu, aku tahu kau sangat kekurangan
tapi punya harga diri untuk tidak meminta-minta pada orang tua dan saudaramu. Bahkan
tak segan kau dan Daniel menolak saat saudara kalian ingin membantu. Betapa
sabar kalian nak.
"Tapi
besok di rumah mama ada acara lho Na, kita seragaman ya, ini mama bawakan satu
set gamis untukmu, Daniel dan anak-anak." Aku menyodorkan shopping bag yang
aku khususkan untuk mereka.
Ina
terbelalak, matanya membulat bahagia, "Masya Allah mama banyak banget,
kita sekeluarga dapet ya ma? Abang dan kakak-kakak yang lain juga kebagian kan
ma?"
Aku
mengangguk pelan. Bahkan saat rezeki menghampirimu kau masih memikirkan orang
lain. Tentu saja hanya keluarga kalian yang aku beri. Anak-anak yang lain sudah
sangat mapan tak perlu kuberi pun mereka sudah bisa membeli sendiri. Kumasukkan
ke dalam tas amplop lusuh pemberiannya tadi demi menjaga harga dirinya.
"Nak,
ini THR buat Aji dan Ratih yaa. Kamu aja yang pegang, Daniel tidak perlu tahu,
bila nanti mau dipakai untuk kebutuhan mereka ya pakai aja jangan sungkan,
nanti masak yang enak ya, mama mau besok kamu bawa makanan ke rumah mama. Kita
makan bareng-bareng."
Kusodorkan
segepok uang lima juta rupiah yang terbungkus amplop coklat milik salah satu
bank. Kulihat Ina ingin menolaknya, tapi saat aku menjelaskan itu bukan
pemberian untuknya melainkanTHR bagi anak-anaknya, barulah dia mau menerima. Kupandangi
wajahnya, ada kebahagiaan disana, meski dengan pandai dia tutupi.
Alhamdulillah.
"Mama
pamit ya Na, jangan lupa besok pagi ke rumah setelah sholat ied!" seruku
sembari melangkah keluar.
Daniel
dan dua anaknya sedang tidak ada di rumah. Mereka tengah berada di bengkel
kecil pinggiran kota milik mereka. Karenanya aku datang menemui Ina. Jika tidak
mana aku berani. Daniel betul-betul menjaga diri untuk tidak dikasihani olehku,
apalagi oleh saudara-saudaranya yang lain.
Tapi
aku tetap berpikir mau bagaimana pun, mereka bertiga semua anakku, tak ada
satupun yang aku bedakan. Mereka lahir dari rahim yang sama, minum susu dari
sumber yang sama, masing-masing telah memberikan kebahagiaan padaku di masanya,
meski rezeki mereka saat dewasa tak pernah sama, tapi mereka tetap anak-anakku.
Tak ada yang bisa merubah pandanganku pada mereka. Harta maupun tahta.
------
Setelah
sholat Ied terlaksana satu persatu anak-anakku berdatangan. Roni anak tertuaku
yang bekerja sebagai pimpinan di perusahaan tambang terbesar datang dengan
robiconnya dan parkir di halaman depan. Istrinya Sinta turun disusul ketiga
buah hatinya yang beranjak remaja dengan membawa beberapa hampers dan parcel
yang dibungkus rapi.
Mereka
menemuiku. Memberikan hadiah yang begitu banyak, aku menerimanya dengan
senyuman terbaik, "Makasih sayang-sayang nenek. Ini siapa yang pilihan
mukena cantik ini. Deby yaaa?"
Mereka
tertawa sembari menyusun barang-barang bawaan mereka di kamarku.
Tak
lama Andara datang dengan Lexusnya. Terparkir mewah di depan rumah. Andara
pemilik cafe besar di sudut kota Bandung, Raline istrinya cantik bukan main,
tinggi semampai bak model, tapi itu tak membuatnya angkuh, dia begitu
menghargai orang disekitarnya. Mereka masuk ke rumah dengan menggandeng sikecil
cucuku yang baru bisa berjalan, ah aku sumringah melihatnya, betapa kebahagiaan
ini adalah perjuangan kami, aku dan suami.
Satu
lagi pikirku. Aku menunggu keluarga Daniel, kemana mereka?
"Mama
nunggu Daniel?" tanya Roni penasaran setelah melihatku bolak balik ke teras
rumah.
"Iya
nih, Daniel kok belum datang, atau ada apa-apa ya di jalan? Coba kamu video
call!"
Sigap
Roni menghubungi Daniel, karena dia tahu acara sungkeman ini tidak akan dimulai
jika salah satu keluarga belum datang.
"Woi
bro, dimana lu? waduh keburu habis nih opor kami embat duluan!" teriak
Roni menggoda adiknya. Yang disambut suara tawa diujung sana.
"Gimana
bang? Dah dimana bang Daniel?" Andara menghampiri kami di teras.
"Udah
di jalan, biasalah kan anak istrinya pake gamis jadi dia juga gak bisa
ngebut.takut selip di jari-jari roda motornya." Roni menjelaskan.
"Lagian
lho betah amat pake motor, kenapa ga dikasih mobil aja sih ma? Tuh mobil
nganggur di garasi." Andara terlihat sebal.
"Bilang
nanti Anda yang bayar pajaknya, sekalian Anda kasih uang bensin tiap bulan yang
penting ga susah lah mereka itu!" sungutnya sekali lagi, disambut tawa
Roni dan aku.
"Macam
tak tau abangmu aja nda!" goda Roni.
"Sudah-sudah,
masuk yuk, bentar lagi mereka sampe, Roni, Anda, bantu mama, itu makanan di
meja kita siapin dulu, biar nanti enak kita sekalian makan pas Daniel sudah
sampe, mereka pasti lelah dan haus di jalan yang terik ini."
Aku
menggandeng kedua anakku masuk ke dalam rumah lalu kami bertiga sibuk
menyiapkan. hidangan yang sebagian mereka bawa dari rumah. Sementara Sinta dan
Raline bercengkrama di ruang tamu, bercanda bersama anak-anak mereka.
Kalo
di rumah ini aku tak pernah meminta mantuku berkerja, jadi anak-anak lelakiku
lah yang sibuk membantu. Pernah Andara protes saat aku memintanya menyapu
sementara istrinya tengah di kamar memainkan hape sembari menyusui bayinya.
"Raline
udah capek kerja di rumahmu kan? Masa disini dia mau kau bikin lelah juga,
biarlah dia istirahat sebentar. Nyapu tak akan menghilangkan wibawamu anak
gagah," hiburku sembari menoel wajah tampannya.
Sejak
suamiku pergi menghadapNya. Mereka bertiga bahu membahu menjagaku, seminggu
sekali bergantian main ke rumah.
Tin
... Tin ...
Motor
Daniel memasuki garasi rumah yang terhubung dengan dengan pintu dapur. Anda
berlari membuka pintu dapur dan menyambut keluarga kecil abangnya itu dengan
hangat.
"Ma,
busyet rantangnya penuh nih maa!" teriak Anda sambil membawa rantang berisi
masakan Ina.
Ina
tersipu saat isi rantang itu di tuangkan Anda kedalam mangkok keramik terbaik
yang kami miliki. Bersanding dengan makanan mahal lain yang dibawa saudaranya.
"Kak,
nih di rumah kakak masih ada gak sambel pete, Anda mau, nanti kita ke rumah
kakak ya!"
Anda
berseru pada Ina tanpa segan.
"Masih
banyak dong bolehlah kalo mau mampir," jawab Daniel yang sudah duduk di
samping Anda.
"Hayuk
kalian kumpul di ruang keluarga, kita sungkeman, mama bentar lagi nyusul."
titahku.
Mereka
bergegas jalan menuju ruang keluarga sementara aku masih sibuk merapikan sendok
dan garpu yang baru saja kuseka.
"Maa,
terimakasih ya," suara Daniel mengagetkanku.
"Makasih
apa nih?" tanyaku heran.
"Terimakasih
untuk tetap menyayangi Daniel istri dan anak-anak, meskipun kami tak memiliki
harta, tak bisa memberi yang terbaik untuk mama seperti abang dan adik beri. Yang
bisa kami lakukan hanya terus mendoakan mama agar mama sehat dan usia mama barokah.
Maafkan kami ya ma," suara Daniel bergetar.
Ya
Allah. Aku tahu rasa hatinya. Sedih dan deritanya. Dia anakku meski dia tak
kaya raya. Meski dia tak memiliki jabatan, meski dia fakir harta, tapi dia lah
yang paling hebat, air matanya membumi namun doanya melangit.
"Doa
yang kau panjatkan adalah harta mama kelak nak, saudaramu memberi mama harta
itu karena mereka berlebih. Jika kau diberi Allah berlimpah rezeki kau pun akan
melakukan hal yang sama. Jangan bebani hatimu untuk kebahagiaan mama ya saying.
Mama sudah bahagia melihatmu sehat, berdikari, gigih, selalu menjaga ibadah
istri dan anak-anakmu, tetap bersabar dengan keadaan. Kalian lah yang terhebat
sayang."
Aku
merangkul tubuh kurus Danielku, anak kesayanganku. Laki-laki panutan keluarga.
Imam yang disegani di rumah ini.
Harta
dan tahta bukan hal penting. Tapi siapa yang lebih dekat dengan Allah lah yang
akan membawanya hidup bermartabat jauh dari kemudhoratan.
Daniel
mengusap air mataku, tangannya terasa kasar pertanda dia sudah bekerja sangat
keras untuk kehidupan mereka, dan Aku menghargai itu. Perjuangannya. Semangatnya.
Dan harga dirinya.
Tenanglah
nak, mama akan selalu ada untuk kalian. Selama mama hidup, apapun akan mama
beri. Orang tua yang membedakan kasih sayang pada anaknya itu mungkin lupa,
jika anak yang disisihkan itu mungkin juga jawaban atas doa-doa yang Allah beri
untuk menyelamatkan, Baik di dunia maupun akhirat.
Wahai
orang tua, Jika rezeki anakmu belum bisa membahagiakanmu, sementara dia sudah
setengah mati berusaha, maka ulurkan tanganmu, hargai mereka setidaknya dengan
tidak bermuka masampun cukup.
Semoga
kita termasuk golongan orangtua dan mertua kesayangan anak-anak dan menantu.