Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

JANGAN ADA DUSTA DIANTARA KITA



“Membangun Kepercayaan, Menumbuhkan Social Capital ala Levi Strauss”

Oleh : Jusman Syafii Djamal

Tahun 1847 seorang imigran Jerman datang mengadu nasib ke Amerika. Namanya Levi Strauss.
Pertama mendarat ia tiba di New York. Ketika ada demam emas melanda, ia pindah ke tempat orang berburu emas California. Akan tetapi ia tak punya keahlian berburu emas, gairah kerjanya menyala ketika ia bergulat dengan tekstil dan produk tekstil.
Ia cermat ambil keputusan. Ia memilih fokus jadi pedagang kain dan memasok ke toko serta penjahit. Sejak awal ia fokus pada kain yang tahan perubahan cuaca. Ia memilih ceruk pasar dimana ia memiliki keahlian dan tempat kerja yg dicintai nya.
Ketika penggali emas di California punya masalah soal celana yang sering koyak dibagian bokongnya, datang seorang penjahit bernama Jacob Davis. Ia punya ide untuk menjahit celana dengan cara unik. Pada bagian belakang dibuat deretan paku keling dari tembaga.
Muncul model celana jean pertama kali khusus untuk penambang emas. Kebetulan pemasok kainnya tak lain adalah Levi Straus dari San Fransisco.

MBAH JUM, BIDADARI SURGA PUN IRI PADAMU



Mbah Jum, begitulah beliau dipanggil. Aku sempat bertemu dengannya 5 tahun yang lalu saat berlibur di Kasihan Bantul Yogyakarta. Nama desanya saya lupa.
Mbah Jum seorang tuna netra yang berprofesi sebagai pedagang tempe. Setiap pagi beliau dibonceng cucunya ke pasar untuk berjualan tempe. Sesampainya di pasar tempe segera digelar. Sambil menunggu pembeli datang, disaat pedagang lain sibuk menghitung uang dan ngerumpi dengan sesama pedagang, mbah Jum selalu bersenandung sholawat.
Cucunya meninggalkan mbah Jum sebentar, karena ia juga bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu. Dua jam kemudian, cucunya datang kembali untuk mengantar simbahnya pulang ke rumah.
Tidak sampai 2 jam dagangan tempe mbah Jum sudah habis ludes. Mbah Jum selalu pulang paling awal dibanding pedagang lainnya. Sebelum pulang mbah Jum selalu meminta cucunya menghitung uang hasil dagangannya dulu. Bila cucunya menyebut angka lebih dari 50 ribu rupiah, mbah Jum selalu minta cucunya mampir ke masjid untuk memasukkan uang lebihnya itu ke kotak amal. Saat kutanya, “Kenapa begitu?”