“Membangun Kepercayaan, Menumbuhkan Social Capital
ala Levi Strauss”
Oleh : Jusman
Syafii Djamal
Tahun 1847 seorang imigran Jerman datang mengadu
nasib ke Amerika. Namanya Levi Strauss.
Pertama mendarat ia tiba di New York. Ketika ada
demam emas melanda, ia pindah ke tempat orang berburu emas California. Akan
tetapi ia tak punya keahlian berburu emas, gairah kerjanya menyala ketika ia
bergulat dengan tekstil dan produk tekstil.
Ia cermat ambil keputusan. Ia memilih fokus jadi
pedagang kain dan memasok ke toko serta penjahit. Sejak awal ia fokus pada kain
yang tahan perubahan cuaca. Ia memilih ceruk pasar dimana ia memiliki keahlian
dan tempat kerja yg dicintai nya.
Ketika penggali emas di California punya masalah
soal celana yang sering koyak dibagian bokongnya, datang seorang penjahit
bernama Jacob Davis. Ia punya ide untuk menjahit celana dengan cara unik. Pada
bagian belakang dibuat deretan paku keling dari tembaga.
Muncul model celana jean pertama kali khusus untuk
penambang emas. Kebetulan pemasok kainnya tak lain adalah Levi Straus dari San
Fransisco.
Mereka kemudian gotong royong bahu membahu, yang
satu memasok kain, yang lain menjahit dan membuat celana yang pas untuk para
penambang. Pasangan Ganda Levi Strauss muncul.
Celana jadi, penambang gembira. Karena laku,
banyak pelanggan menganjurkan mereka mendaftarkan karya cipta mereka ke lembaga
patent.
Pada 20 Mei 1873 lahir patent "copper riveted
jeans" atas nama Strauss and Davis. Tanggal itu kemudian dijadikan hari
kelahiran perusahaan Levi Strauss & Company.
Levi Straus dan Jacob Davis kemudian terkenal.
Produk celana jeansnya dapat diandalkan. Mereke mendeliver apa yang diminta
pelanggan sesuai harapan.
Jarang pelanggan kecewa dengan "copper
riveted Jeans" yang diproduksi oleh perusahaan itu. Mereka dengan dedikasi
dan kerja keras melahirkan lingkaran kepercayaan pada pelanggannya.
Mereka menciptakan standard ukuran dan celana yang
enak, kuat dan tahan lama terutama untuk para cowboy dan pekerja kasar di
tambang tambang.
Pada 18 April 1906, gempa yang dahsyat di San
Fransisco menghancurkan pabrik mereka. Pusat produksi hancur berantakan.
Pasokan menyusut. Pelanggan kehilangan celana kesayangannya.
Apa yang dilakukan oleh Levi Strauss dan Jacob
Davis ketika krisis melanda mencengangkan banyak pihak. Mereka tidak
me"layoff' para penjahit yang bekerja untuk mereka. Gaji tetap lancar
meski pekerjaan tidak ada karena kantor dan fabrik sedang dibangun kembali.
Mereka mencoba bertahan dengan membuat shelter dan
pabrik cadangan ditempat lain, hanya untuk membuat pekerja tak menganggur dan
pelanggan tak kehilangan celana jeans kesayangannya.
Tindakan dikala krisis yang dilakukan tanpa mereka
sadari telah membangun rasa percaya para pekerja dan pelanggan pada kesungguhan
dan dedikasi kedua orang tersebut.
Kepercayaan telah dijadikan oleh Levis & Devis
sebagai mantra hidupnya. Trust has to be an integral part of everyday working
life.
Ketika masih mahasiswa tahun 80 an hampir 40 tahun
lalu banyak teman yang berlangganan makan di Warung Mesin dekat ITB atau warung
nasi di Cihapit dan pasar simpang. Ketiga warung ini dikelola oleh ibu penjaga
yang ramah dan menyenangkan.
Setidaknya karena mereka selalu percaya pada
mahasiswa yang datang dan pergi. Mereka membuka warung dengan dua cara
pembayaran "Cash and Carry" begitu kata teman. Makannya
"cash" tapi duitnya keri. Makan dulu bayar belakangan.
Jika tak punya uang cukup menulis disebuah buku.
Tiap mahasiswa yang tak punya uang boleh menulis nama dan jumlah nasi serta
lauk pauk yang dimakan pada jam dan tanggal yang ada.
Setiap mahasiswa memiliki balance sheet. Neraca
rugi laba yang dibuat sendiri. Ibu pemilik warung seolah tidak peduli, apa dan
berapa jumlah tahu tempe atau sayur an ikan yang disantap.
Tiap mahasiswa dipercaya jujur dan amanah. Menulis
apa yang dimakan dan memakan apa yang ditulis.
Tanpa sadar mereka sudah meniru langkah Levis
Strauss dan Jacob Devis, membangun lingkaran Trust diantara pelanggan dan
produsen. Trust has to be an integral part of their life.
Saya fikir saat ini kedua contoh diatas perlu
dimiliki oleh para politisi. Trust must be an integral part of our life.
Kepercayaan jadi dasar tatacara mereka membangun ekossistem politik yang
demokratis.
Jika kecurigaan dan ketidak percayaan tumbuh
berkembang disanu bari, bagaimana mungkin ada kehidupan demokratis yang sesuai
impian para Pendiri Bangsa ??
Ibarat ibu penjual nasi bagi mahasiswa, mereka tak
pernah tanya kartu mahasiswa yang makan. Mereka tak peduli yang makan asalnya
dari Medan, Surabaya atau Makasar. Asal bertampang mahasiswa, dan tanggal
menujuk angka 15 keatas, pastilah mereka tau para mahsiswa sedang kehabisan
duit.
Dan makan minum diatur dengan mekanisme kasbon
dengan menulis disebuah buku yang dikelola oleh para mahasiswa itu sendiri.
Bahkan ada banyak teman yang baru sanggup melunasi hutang setelah ia lulus satu
dua tahun dan teringat hutang di Warung Mesin belum dibayar.
Bawa anak isteri melunasi hutang sambil
bernostalgia.
Kepercayaan pada sesama harus terus ditumbuh
kembangkan dengan semangat tak kenal menyerah. Itu yang menyebabkan kata
Bhineka Tunggal Ika bermakna pengikat dan pemersatu Bangsa.
Biar beda suku, biar beda adat istiadat saling
percaya perlu terus dipupuk. Rakyat percaya pada Pemimipin, dan sebaliknya
Pemimpin Percaya pada rakyat.
Kita harus bekerja keras merajut rasa saling
percaya. Infrastruktur kehidupan sosial politik kita sebagai Bangsa perlu
dirawat dan disempurnakan. Agar social capital meningkat valuenya.
Kata Levi Strauss : "Trust takes time to
grow". Tidak perlu kita saling menunggu kapan kita harus percaya pada
orang lain.
Sebab jika ibu pemilik warung mesin di sekitar
jalan Ganesha Bandung , ketika saya mahasiswa menerapkan cara itu pastilah ia
menempatkan seorang penjaga dipintu warung, setiap mahasiswa diperiksa ktp atau
kartu mahasiswa.
Untuk saling percaya kita tidak perlu selalu
mengechek apa nama tertulis di ticket sama dengan nama di ktp atau sim. Tanda
kenal mengenal tak diperlukan bagi mereka yang ingin membangun rasa rasa saling
percaya.
it cannot afford to wait for trust to build up
slowly so that it can reap the benefits of such goodwill. We must concsiously
embrace trust.
Kita harus secara sadar merengkuh kepercayaan
sebagai milik paling berharga yang tak lapuk direndam air dan tak lekang
dipanas terik.
Begitulah tulisan ini dibuat ketika habis membaca
chapter 44 bukunya Frank Arnold yang berjudul What makes great leaders GREAT
dengan judul tulisan : Create Trust Learning from Levi Strauss.
Lebih kurangnya mohon dimaafkan, salam.
0 Comments:
Posting Komentar