Dari Wall Aslam Askarullah
Ujung dari
semua usaha yang manusia lakukan di dunia ini adalah mencari kebahagiaan.
Berbagai target, tujuan, goal atau apalah namanya ketika dicari pangkalnya
selalu berujung, agar bahagia.
Mengapa
orang berharap memiliki banyak harta? Mengapa orang berharap popularitas?
Mengapa orang berharap kedudukan? Karena mereka ingin bahagia.
Bahkan, yang
orientasinya tak berakhir sependek dunia ini pun ujungnya mencari bahagia.
Saya mencari
ridho Allah. Oke, mengapa anda berharap ridho Allah? Karena ingin bahagia di
kehidupan akherat bukan?
Pertanyaan
selanjutnya adalah, bagaimana menjadi pribadi yang selalu bahagia? Padahal
harapan kita tak selalu terwujud, dan itu kerap kali membuat kita sedih.
Professor
Sonja Lyubomirsky menulis sebuah buku hasil risetnya mengenai kebahagian dan
memberi banyak tips untuk menjadi pribadi yang bahagia. Bukunya bertajuk, The
How of Happiness: A Scientific Approach to Getting the Life You Want.
Kita bisa
mencoba sekian banyak hal yang disarankan olehnya di buku itu. Tapi, ada 1 cara
yang simple dan efektif untuk menjadi pribadi lebih bahagia.
Terima kasih
Rendy ReZha dan Sonny
Abi Kim yang telah mengajarkan ilmu ini kepada saya.
Untuk
menjadi pribadi yang lebih bahagia dalam segala aspek kehidupannya kuncinya
adalah dengan turunkan standart.
Kerap kali
kita susah bahagia karena standart yang kita pasang terlalu tinggi. Ambil
sampel: Kita berharap istri kita secantik bintang film, suaranya seindah
biduanita, layanannya seramah pramugari, dan ekspektasi tinggi lainnya.
Namun,
realitasnya berkata lain. Ternyata dia cantiknya biasa saja, suaranya cempreng
hanya saja memang pandai melayani suami bak paduka raja.
Ketika
menatap realitas ini, kerap kita terbelalak kaget dan bermuram durja. Karena
standart tinggi yang kita pasang tak terwujud, kita tak merasa bahagia.
Mari rehat
sejenak, masih ingat kisah seorang pemuda yang mencari kehalalan buah apel/
delima yang dimakannya? Konon katanya dia bernama Idris dan merupakan ayah dari
Imam Syafi'i. Meskipun saya belum menelusuri kebenaran ceritanya.
Inti
pointnya bukan di situ. Lihat ketika sang pemilik kebun menawarkan kepadanya
sebuah hukuman atas tindakannya. Dia diminta untuk menikahi putrinya yang buta,
tuli, bisu lagi lumpuh. Dengan penuh sadar dan tanggung jawab dia menerima
hukuman tersebut demi kehalalan apa yang masuk ke perutnya.
Singkat
cerita, setelah akad dilangsungkan dan dia menuju kamar pengantin, yang di
hadapannya adalah seorang gadis sempurna. Tak hanya lahirnya, tapi bathinnya
pun terjaga. Betapa bahagianya kondisi pemuda tersebut saat itu.
Ketika kita
menetapkan standart lebih rendah, maka kesyukuran akan lebih mudah menyapa
kita. Kebahagian menajadi menu sehari-hari yang kita temui.
Sebelum
tidur tanamkan bahwa kita tak akan bangun lagi esok hari. Maka esok pagi,
ketika ternyata kita masih membuka mata, doa: “Alhamdulillahi ahyana ba'dha maa amatana wa ilaihi nusyur”, akan
dihiasi kebahagian dan kesyukuran yang begitu mendalam.
Ternyata
begitu banyak hal yang layak membuat kita menjadi pribadi yang lebih bahagian
dan penuh kesyukuran. Hanya saja, kerap kali kita lupa bahwa sebenarnya kita
hamba yang faqir tak punya apa-apa. Standart yang kita tetapkan terlalu tinggi,
sehingga kita susah untuk bahagia dan mensyukuri apa yang Allah pijamkan pada
kita hari ini.
0 Comments:
Posting Komentar