Oleh : FB Bang Fathul
Frederik, seorang Kontrollir Belanda bercerita bahwa pada suatu malam bulan Juli 1922 di Watampone berlangsung sebuah pesta pernikahan. Di tengah pesta yang hanya diterangi penerangan secukupnya, salah seorang tamu tak sengaja kentut (nakeloi ettu' = Bugis). Mendengar itu tamu yg lain sontak tertawa. Ternyata tamu itu merasa malu (siri') diketawai, dia lalu ma'jallo' (mengamuk) membabi buta menggunakan badik sehingga 8 orang tewas dan banyak yang luka-luka.
Kejadian serupa pernah terjadi di Kiru-Kiru Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru. Dikisahkan H. Andi M. Anwar Zaenong, dosen IAIN Parepare, suatu masa sebelum agama Islam masuk di Sulawesi, sekelompok masyarakat di Kiru-Kiru sedang melangsungkan pesta pernikahan. Di tengah pesta itu, tiba-tiba terdengar suara kentut, seluruh orang yang hadir tertawa dan mengira yang kentut itu adalah mempelai pria. Dengan perasaan sangat malu ditertawai oleh semua orang tiba-tiba sang mempelai pria menarik badik dan melompat ke arah para tamu undangan.
Dengan gerakan ma'jallo' (mengamuk), si mempelai pria menikam semua orang yang ada di sekitarnya. Puluhan orang menjadi korban meninggal yang kemudian jasadnya dibakar dan abunya dikuburkan bersama pada satu makam.
Kisah yang sedikit berbeda terjadi di Soppeng pada 1977. Dalam publikasi seminar “Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan,” tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mencatat, seorang laki-laki tanpa sengaja kentut (nakeloi ettu) di hadapan orang banyak. Merasa malu, pria itu seketika mencabut badiknya di hadapan orang banyak. Sementara orang-orang yang mendengar suara kentut itu satu pun tidak ada yang berani menengadahkan wajahnya setelah melihat si pria mengeluarkan badik. Semua orang tertunduk dan diam.
Sesampainya di rumah, sang pria berkata, “Sayang sekali, tidak ada seorang pun mengangkat wajahnya, kalau ada pasti kutikam.” Tapi anehnya, di rumah pun si pria belum bisa membendung rasa malunya. Untuk itu, dia meminta istrinya menumbuk lada sebanyak mungkin dan kemudian dioleskannya ke dubur sebagai ungkapan malunya.
====================================================
Begitulah gambaran budaya Siri' masyarakat bugis waktu itu. Jangankan membawa lari anak wanita orang (silariang), bahkan gegara kentut pun bisa berakhir meregang nyawa.
Walaupun harus diakui budaya itu sudah mulai pudar, bahkan seringkali kentut didepan umum pun disengaja dan dianggap lucu-lucuan. Padahal dulu leluhur mereka meregang nyawa "hanya" karena perkara kentut.
Buya Hamka menceritakan seorang pengurus Muhammadiyah yang kebetulan orang Bugis Makassar pernah dicurigai menggelapkan dana persyarikatan. Saking malunya pengurus itu sampai esoknya dikabarkan dia meninggal akibat malu dan sedihnya.
Maka memang agama yang paling pantas untuk suku yg punya adat mulia begini adalah Islam, supaya akhlak2 terpuji yang terbangun dari budaya yg mulia bisa lebih terarah..
Orang2 Arab dulu juga terkenal dengan sifat2 mulianya yang berangkat dari budaya mereka, seperti sifat jantan, memuliakan tamu, setia kawan dan pantang berbohong. Kemudian Islam datang dan merekapun menjadi mulia.
Didalam Islam memang menertawakan orang kentut itu dilarang. Rasulullah berkata kepada sahabat yang menertawakan orang kentut.
“Mengapa kalian mentertawakan kentut yang kalian juga biasa mengalaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan “Al 'Adah Muhakkamah”. Adat kebiasaan itu bisa dibenarkan dalam syari'at selama tidak bertentangan dengan syari'at. Terlihat hubungan antara agama dan budaya. Agama mengajarkan budaya apa saja yang boleh dilanjutkan atau harus dihentikan. Wallahu A'lam.
0 Comments:
Posting Komentar