Oleh : Budhiana Kartawijaya
Ahad
kemarin, saya menghadiri pertemuan para kelompok filantropi Kabupaten Bandung
Barat. Tempatnya di Saung Eceng, Kecamatan Cihampelas. Ada kelompk Bening
Saguling, Touch, Ubar (Urang Bandung Barat), Kelompok Pusat Informasi Kelompok
Remaja (PIKR), dan lain-lain. Kami saling tukar pengalaman tentang bagaimana
menguatkan desa, memperkuat keluarga, memperjuangkan akses pendidikan bagi
anak-anak miskin, dan sebagainya. Saya, tentu saja, berbicara sebagai founder
Odesa.
Salah
satu yang menarik adalah sosok Indra Darmawan, pendiri Bening Saguling
Foundation. Pria kelahiran 1972 ini adalah sarjana matematika Unpad, S-2 juga
matematika, dan sekarang juga sedang menempuh S-3, juga matematika. Matematika
adalah darah dia.
Tapi… ini
dia yang mengagetkan: matematika juga yang mendorong dia jadi pemulung! Iya dia
sarjana pemulung.
“Kok bisa
kang Indra?” tanya saya.
Indra
bilang, matematika membuka mata batinnya.
“Apa
kebalikan dari bagi?” katanya.
“Kali!”
“Ya kalau
kita banyak berbagi, Allah akan mengalikan balasanNya!”
That’s the
point!
Allah itu
menciptakan Matematika dulu kang! Baru dari matematika itu lahir alam semesta.
“Kalau
bilangan tak terhingga dibagi bilangan rasional, berapa hasilnya?”
“Ya tak
terhingga!”
Nah… surga
itu bilangan tak terhingga. Andaikata semua manusia sejak Adam a.s sampai nanti
kiamat pada masuk Surga, kenikmatan Surga tetap tak berhingga. Kenikmatan surga
tak akan mengecil hanya karena pembaginya banyak.
Nah… matematika
itu yang membuat dia gelisah melihat puluhan pemulung di pinggir Sungai Citarum.
Mereka miskin, anak-anaknya tak sekolah. Penyakit, kurang gizi dan lain-lain
menggugat batinnya.
“Saya
sedih kang, masak ada tetangga saya sekeluarga kena TBC, dan beberapa anggota
keluarganya meninggal, hanya karena miskin, tak mampu berobat!”
Indra
meninggalkan cita-cita menjadi karyawan. Dia mengorganisasikan pemulung, dan
dia memutuskan jadi pemulung. Dia dijuluki sarjana pemulung! Sesuatu yang
membuat sang ibu kecewa.
“Saya
berangkat dari keluarga miskin kang. Tapi saya banyak terinspirasi baca buku,
dan ingin jadi sarjana. Tapi setelah jadi sarjana, kok jadi pemulung. Ibu
kecewa,” katanya.
Tapi
gejolak matematikanya yang terus bergumul dalam dada dan batinnya.
“Saya
petakan masalahnya dengan model matematika kang. Ada himpunan orang miskin, ada
himpunan sampah (plastik, eceng gondok dan lain-lain). Ini mesti ada irisannya!
Mesti ada solusinya”
Dengan
modal yang dia miliki, sampah plastik dari pemulung dia beli. Pemulung dia
organisir. Lancar? Tidak juga. Ratusan kilo sampahnya ditolak bandar, karena
tidak disortir berdasar jenisnya.
“Dari
situ saya belajar mensortir. Ada sampah PL, DL dan lain-lain,” katanya sambal
tertawa.
Lama
kelamaan, sampahnya diterima. Tapi ada bandar yang tidak jujur. Timbangan
sampah plastik Indra, dikurangi. Kelicikan itu berlangsung. Per kilo dicuri,
per hari, per bulan, begitu seterusnya. Sang bandar jadi kaya. Dan dia dapat
uang ganti rugi karena tanahnya kena projek kereta cepat.
Sang
tokek pesta pora dengan uang banyak. Tapi…suatu hari dia dirampok. Ludes
kekayaannya. Dia stress.
“Dia
mencoba menambah kekayaan dengan tak jujur. Allah menguranginya secara
berlipat. Hilang harta, plus gelisah.”
Lawan
dari menambah adalah mengurangi. Allah mengurangi rezeki mereka yang suka
menambah kekayaan dengan tidak halal. Matematika lagi…
Bisnis
sampah plastik terus berkembang. Sudah ada lebih dari 100 pemulung yang dia kelola.
Indra pun membangun sekolah buat anak pemulung. Ada puluhan anak sekolah di
tempat dia. Mereka harus jadi sarjana katanya.
Dalam
hati saya bertanya: dari mana dapat duitnya? Tapi saya nggak jadi bertanya,
karena saya sudah tahu jawabannya: mathematics will work for him!
Suatu
saat Indra harus membayar uang sekolah para anak asuhnya. Di kantongnya Cuma
ada uang Rp 19 juta. Dia relakan uang itu untuk membiayai sekolah mereka. Sebulan
kemudian, proposal yang dia ajukan ke BUMN diterima. Dia mendapat sumbangan 190
juta! Lagi, dia membagi, Allah mengalinya sampai 10 kali.
Sebagai
seorang muslim, Indra memandang ciptaan Allah ini dengan positif. Wa maa
khalaqta hadza baathila. Tak ada sesuatu pun yang diciptakan sia-sia.
Berdasarkan
itu, dia yakin gulma eceng gondok di Saguling pasti ada manfaatnya. Dengan
ketekunan mendalami eceng gondok, dia bisa memanfaatkan gulma ini mulai dari
daun batang hingga akarnya. Bisa jadi tas, atau partisi. Dia juga bisa
menjadikan eceng gondok jadi arang. Ternyata arang eceng gondok lebih bagus
dari arang biasa. Sampah eceng juga dia kelola, jadi pupuk dan media tanam.
Indra pun
lama-lama bisa membeli tanah satu hektar. Menyewa lahan tiga hektar dan dijadikan
hutan. Lumpur Saguling dia tanami. Lahan itu dia namakan Saung Eceng. Nuansa
eceng mewarnai kompleks pendidikan anak pemulung itu.
Perhatiannya
terhadap sampah tetap kuat. Bahkan terhadap sampah dari minimart di sekitarnya.
Suatu saat, Indra terserang sakit. Entah apa penyakitnya, dia tergolek sebulan.
Tapi dia tetap memperhatikan sampah dari minimart itu.
Pada saat
itu ada sampah gula pasir. Indra memisahkan sampah bergula pasir itu ke
pojokan. Lama gula itu tak disentuh, begitu dilihat, ternyata gula itu sudah
dikerubungi lebah. Maka Indra membiarkan lebah itu menikmati gula.
Suatu
hari sahabatnya datang menjenguknya. Sahabat itu membawa seliter madu sebagai
obat. Indra kemudian pulih. Lebah itu binatang kesayangan Allah, yang bekerja
di tempat bersih dan menghasilkan sesuatu yang bersih dan bermanfaat.
Karena
kiprahnya, Indra mendapatkan penghargan Kalpateru dari pemerintah pada 2020. Banyak
cerita menarik dari Indra dengan spiritualitas matematikanya. Tapi waktu sudah
surut ke sore hari, saya harus Kembali ke Bandung, meninggalkan pedepokan saung
Eceng. Saya yakin banyak orang-orang berhati bening seperti Indra di sekitar
kita. (Budhiana Kartawijaya)
0 Comments:
Posting Komentar