Oleh: Nurcholis
Huda (Waket PWM Jatim)
Seorang pengurus yayasan bertanya, “Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan
terendah?”
“Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yang digaji”, jawab saya.
“Apa benar? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka?”
”Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”.
”Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas
pekerjaan?”
”Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah.”
”Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah”.
”Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih
baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi
Muhammaidyah sebagai profesi. Semua berniat sebagai pengabdian. Yang penting
dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.
Saya teringat Alm. Pak Lukman Harun. Beliau pernah punya gagasan
memberi gaji kepada pimpinan Muhammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa
penuh ke persyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya, ”Itu niat yang baik, tapi ketua PP mau digaji berapa? Ketua
ranting berapa? Apalagi kalau dihitung masa kerja, semua pimpinan rata-rata
sudah aktif sejak masa muda. Lalu siapa yang mau membayar gaji itu?” kata Pak
AR tersenyum.
Karena begitu banyaknya amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah, membuat banyak
peneliti luar berfokus dan menulis tentang Muhammadiyah, salah satunya kita kenal dengan Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dan
James L. Peacock. Mitsuo Nakamura
peneliti Jepang yang selalu hadir
tiap Muktamar Muhammadiyah itu suatu ketika
penasaran dan berkunjung ke kantor Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Jakarta,
tutur Prof. Dr. Munir Mulkhan, S.U. Ditemui Prof. Syafi’i Ma’arif, Ph.D. ia
terheran-heran karena Muhammadiyah yang
ia tahu besar dan kaya, kok kantor presidennya kecil dan sederhana.
Lalu ia bertanya, “Berapa gaji ketua / presiden Muhammadiyah?”
Syafi’i Ma’arif tersenyum dan menjawab, “Saya tidak digaji”.
Nakamura sontak berkata, “Gila….”.
Pengurus tidak digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan
kelemahan.
Seorang dosen perguruan swasta bukan orang Muhammadiyah bertanya, ”Apakah benar semua amal usaha menjadi milik pimpinan pusat?”
”Benar!”,
jawab saya.
”Berapa bantuan dari pusat sampai bisa menguasai semua aset itu?”
”Sama sekali tidak membantu. Hanya meresmikan, itupun kalau ada
waktu. Pimpinan Pusat tidak menguasai, walaupun secara hukum semua atas nama
pusat”.
”Tidak menguasai tapi memiliki, itu sama saja. Kalau tidak
dibantu, lalu dari mana sumber dana membangun amal usaha yang demikian banyak?”
”Dari anggota dan simpatisan. Anggota ranting di desa misalnya,
mereka urunan membangun madrasah, SD, mesjid dan sebagainya. Demikian juga aset
lain seperti rumah sakit sampai universitas. Mereka paham kalau diberi nama Muhammadiyah
itu artinya diberikan kepada Muhammadiyah”.
”Rela ya, apa kuncinya kerelaan memberi itu?”
Saya katakan bahwa Muhammadiyah itu organisasi kerja, bukan
organisasi papan nama. Sebuah ranting berdiri bukan karena banyaknya orang
tetapi karena ada kegiatan. Syarat berdirinya sebuah ranting harus punya amal
usaha misalnya punya sekolah, atau mesjid atau punya aktivitas seperti
pengajian.
Berikutnya, Orang Muhammadiyah itu melakukan kegiatan karena
dorongan iman, dorongan keyakinan, bukan karena mencari untung. Karena itu
sering dalam kegiatan mereka bukan saja tidak dapat honor, malah sering
mengeluarkan uang dari kantongnya. Lain dengan kepanitiaan di instansi. Asal
namanya tercantum berhak dapat honor walaupun tidak bekerja. Karena itu sering
rebutan agar namanya bisa dicantumkan dalam panitia kegiatan.
Muhammadiyah tidak demikian. Mereka bekerja karena didorong iman
bukan keuntungan, itulah juga kekuatan dalam Muhammadiyah.
Bahkan tidak sedikit guru yang mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah gajinya tidak diambil,
namun diserahkan kembali pada Muhammadiyah
untuk kepentingan gerak dakwah Muhammadiyah. Ada
juga sekolah-sekolah Muhammadiyah yg
mungkin belum maju, belum mentereng… guru yang jiwanya tercelup sibghoh Muhammadiyah sering tidak menerima
gaji, atau mendapat gaji rapelan (3 atau 5 bulan sekali meskipun nominalnya
tidak banyak). Jika saat menerima wajah mereka amat ceria meski sedikit. Jika
pas tidak ada mereka tidak gajian wajahnya tetap ceria dan semangat kerjanya
konstan. Mengapa? Mereka tersenyum dan menjawab “alhamdulilah waktunya puasa”
hal yang sangat lumrah dan biasa.
Dr. Sa’ad Ibrahim, M.A. (Ketua Umum PWM JATIM) pernah meneteskan air mata saat menceritakan salah
satu kepala sekolah Muhammadiyah yang digaji Rp. 300 ribu / bulan dan selalu
datang paling awal dan pulang paling akhir, di hadapan peserta RAKERPIM Muhammadiyah
se-JATIM yang ditempatkan di gedung Ahmad Zainuri UM Jember.
Pertanyaannya… hari ini masih adakah guru atau dosen yang
bekerja di amal usaha Muhammadiyah yang seperti itu?
Lantas bagaimana kehidupan mereka? Cukupkah untuk nafkah dan
kebutuhan sehari-hari? Dari Muhammadiyah boleh jadi ia hanya mendapat nominal
sedikit, tapi dari usaha lain atau pekerjaan lain yang mereka tekuni justru rizkinya tak terhitung banyaknya. Mungkin
itulah berkah yang melimpah dari mengurusi Muhammadiyah. “Siapa yg menolong
agama Allah, maka Allah yang menolong dan mencukupkan semua mereka”.
Bahkan Prof. Dr. Thobroni menyatakan “orang-orang yang istiqomah
mengurusi Muhammadiyah secara materi kehidupannya lebih berkelimpahan dari pada
yang hanya sekedar
mengejar duniawi. Mereka rata-rata di masyarakat secara ekonomi masuk kategori
kelas menengah ke atas”.
Kekuatan berikutnya, orang Muhammadiyah itu relatif terdidik dan
rasional. Jadi mudah faham dengan aturan. “Orang rasional yang irrasional”, katanya sambil tertawa, karena
bersusah payah membuat sekolah dan rumah sakit, lalu diberikan sukarela ke
pusat tanpa kompensasi.
Seorang walikota yang bukan orang Muhammadiyah tertarik dengan
istilah ”amal usaha” yang digunakan dalam lembaga Muhammadiyah. ”Ini mengandung
makna yang mulia” katanya. Menurut walikota, orang bekerja di rumah sakit,
sekolah dan di semua amal usaha Muhammadiyah harus dimulai dengan nawaitu amal,
baru usaha atau nawaitu cari nafkah. Jangan dibalik, yang menonjol cari
nafkahnya atau usaha, nanti bisa lupa amalnya. Karena itu dinamakan amal usaha.
Artinya, niat beramal di depan, baru usaha cari nafkah”, katanya.
Kita tidak tahu apakah para karyawan di amal usaha Muhammadiyah
sudah menghayati dengan baik makna amal usaha seperti yang diuraikan walikota
itu. Atau bersemangat sebaliknya. Bekerja murni mencari nafkah tanpa ada
semangat mengabdi.
Setelah Muhammadiyah berkembang besar, setelah jumlah amal usaha
terus bertambah, boleh jadi nawaitu orang masuk Muhammadiyah bermacam-macam.
Ada yang ingin mengabdi untuk agama tetapi ada pula untuk kepentingan lain.
Selama pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha tetap istiqamah pada
tujuan memberi sesuatu, bukan meminta sesuatu kepada Muhammadiyah, kita percaya
daya saring pada orang-orang yang masuk Muhammadiyah tetap akan berjalan baik.
🌞🌞🌞🌞🌞🌞🌞🌞
Namun berikut ini mungkin kejadian kecil yang penting untuk
direnungkan. Seorang pengurus
Aisyiyah bercerita, suatu hari ibu penjual nasi goreng dekat sebuah pasar
tradisional agak tergopoh-gopoh mendatanginya. ”Apakah betul Bu Haji orang Muhammadiyah?”
tanya penjual nasi goreng itu.
”Betul! kenapa?”
”Tidak ada apa-apa. Ooh,
ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik, ya”, kata penjual itu dengan
suara rendah seperti kepada dirinya sendiri.
Ibu Aisyiyah tertegun dan merasa nelongso mendengar ucapan
kawannya itu. Kalimat ”ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik”
terngiang terus.
Kasus kedua dialami oleh kami sendiri (penyadur dan penulis
ulang tulisan ini). Setiap
sedekah maupun zakat kami kita alokasikan ke tetangga sekitar dalam bentuk
sembako maupun uang secara rutin. Ada tetangga yang bercerita “sebelumnya tidak
ada yang menebar pemberian, baru kali ini ada bagi-bagi dari orang Muhammadiyah”.
Sementara tetangga satunya isterinya bercerita ke isteri penulis, ”Suami saya bilang, semua
tetangga kita tidak pernah peduli dengan kita, bahkan seringkali kita tidak masak juga tidak ada yang
tahu. Saat ada orang Muhammadiyah yg pindah dan bertetangga dengan kita, kita
jadi sering dibantu dan diberi. Ternyata orang Muhammadiyah itu lebih baik ya
bu”.
Sang istri yang sudah rutin “ngaji” di tempat kami menjawab “kok
baru sadar panjenengan mas”.
Sementara isteri lain bercerita sambil menangis jika disuruh
berhenti ngaji di tempat kami karena ada “omongan” bahwa kami Muhammadiyah,
bahkan diancam dicerai jika tetap “ngaji”. Akhirnya berhenti, namun justru
anaknya datang sendiri belajar di tempat kami dan mulai menyadarkan bapaknya.
Suatu ketika keluarga tersebut, terlilit hutang… sang isteri
yang pernah “ngaji” datang menceritakan dan menyatakan maksudnya. Kami beri
pinjaman untuk melunasi hutangnya yang jatuh tempo dan diceritakan pada suaminya
bahwa yang menghutangi tetangga Muhammadiyah nya tempat ia “ngaji”. Ia terdiam
dan tertegun.
Kisah ke-3, Prof. Dr. Thobroni bercerita saat workshop dosen AIK
di kantor PDM Jember. Disitu tempat ada makam yang
terkenal dengan Ki Ageng Gribik
(asalnya bernama Syeh Akbar al-Maghribi),
namun masyarakat menyebut dan mengenalnya dengan Ki Ageng Gribik. Banyak orang yang menziarahi makamnya.
Saat berkesempatan memberi materi di daerah tersebut, saya
mengunjungi makam tersebut dan melihat-lihat dan berdialog dengan juru kuncinya. Juru kunci bercerita, “Sebenarnya ada makam
yang tidak kalah keramat dan hebatnya, karena saya tahu persis
kebaikan-kebaikan penghuni makam tersebut selama hidupnya”.
Saya penasaran,
Yang
mana?”
Ia menunjukkan makam sebelah Ki Ageng Gribik yang sepi, tidak ada yang menziarahi. Saya heran dan
bertanya, “Kok tidak ada yang berziarah ke makam itu ?”
Juru kunci menjawab, “Karena dulunya orang itu Muhammadiyah”.
Apa orang Muhammadiyah
itu demikian buruk sehingga dianggap aneh kalau berbuat baik? Ibu Aisyiyah
itu memang sering menolong penjual nasi goreng itu, meminjami uang (tanpa
bunga), memberi nasehat, mencari solusi masalah keluarga, menjadi tempat curhat
dan konsultasi gratis. Aneh, Bu Haji ternyata orang Muhammadiyah.
Muhammadiyah memang sudah berusia satu abad. Tetapi ternyata
masih banyak masyarakat mengenal Muhammadiyah baru sebatas kulitnya. Belum
dalamnya. Pengurus yayasan yang bertanya berapa gaji pimpinan Muhammadiyah, dia
belum kenal Muhammadiyah dengan baik. Juga dosen perguruan swasta itu. Apalagi
penjual nasi goreng itu.
Sudah banyak yang kita lakukan, tetapi ternyata lebih banyak
lagi yang belum sempat kita kerjakan. Memasuki usia abad ke dua, kita harus
membuktikan bahwa Muhammadiyah kebalikan dari sangkaan penjual nasi goreng itu.
Jika orang mengatakan ”dia orang Muhammadiyah”, maka dalam kata itu harus
terkandung jaminan sebagai orang baik, amanah, jujur, menepati janji, keja
keras, pecinta damai, tidak mbulet dan tidak aji mumpung.
Ternyata banyak orang yang belum kenal betul pada Muhamamdiyah.
Dikutip dari tulisan Pak Nurcholis Huda (Waket PWM Jatim), ada
di buku Anekdot Tokoh-tokoh Muhammadiyah, terbitan Hikmah Press. Lalu dicopy dan dilakukan penambahan kisah dan literasi oleh
Idris Mahmudi, Amd.Kep; M.Pd.I. (dosen dan Sekretaris LP-AIK UM Jember).
Hidup hiduplah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah . . . . Slogan yang sudah berumur seabad lebih dan masih relevan sampai kini . . . .
BalasHapus