Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

RINDU PAK EMIL SALIM

Di tengah hujan deras yang mengguyur Salemba malam ini, laki-laki yang kini telah berusia 87 tahun itu tetap datang. Tak pernah terlambat. Bahkan selalu datang satu jam lebih awal dari jadwal kuliah. Suaranya masih jernih, pikirannya sangat runtut, dan bak seorang Socrates di jaman Millenial, caranya mengajar adalah dengan melontarkan pertanyaan. “Kamu tahu John Maynard Keynes kan, Bung? Jadi apa kelemahan teorinya?” begitu tanyanya padaku, membuatku tergagap.

“Keynes hanya memperhitungkan faktor ekonomi: Y = C + I. Ia lupa ada faktor sosial dan lingkungan,” jawabnya sendiri, “Itulah yang kita sebut sekarang Sustainable Development.” Begitulah Emil Salim, the “last Mohican” dari jaman Suharto.


Bak menganggap kita ini cucu-cucunya, ia bercerita. “Suatu saat saya menghadap pak Harto, berhubung ada satu investor ngotot ingin membuat pabrik semen dengan mengeksploitasi kawasan karst Gunung Kendeng. Karst adalah gunung kapur tempat air sungai bawah tanah mengalir jauh, bahkan hingga Gunung Kidul di Jogja. Menghabisi karst Kendeng sama saja dengan membuat kekeringan di Gunung Kidul. Pak Harto langsung memutuskan: Kawasan Karst tidak boleh diganggu.

Tapi pak, investor yang ngotot ingin buat pabrik semen itu ....anak bapak Presiden sendiri... Pak Harto mengambil secarik kertas lalu menulis: Kawasan Karst Kendeng tidak bisa dieksploitasi, lalu membubuhkan tanda-tangannya...” disini Emil menarik nafas panjang, “Lha kok sekarang malah investor mau menambangnya. Sompret betul...” Aku kaget, oleh karena ceritanya, juga karena ternyata Emil juga bisa “memaki”: Sompret....

Sang Pandita kembali bertutur kepada kami berlima: “Saya hidup di jaman mesin ketik, tapi anak jaman Millienial bahkan tak pernah melihatnya lagi. Kita kini telah memasuki Revolusi Industri yang ke-4: saat otak kiri kita makin digantikan oleh ‘artificial intelligence’. Celakanya, pendidikan kita masih lebih mementingkan kemampuan otak kiri yang mendukung rasionalitas, sementara otak kanan yang lebih intuitif, imajinatif dan kreatif kurang dikembangkan. Tanpa memiliki generasi yang kreatif, di masa depan kita akan kalah.”

“Untuk menghadapi masa depan yang tak tentu, kita harus berpegang pada kekuatan dan keunikan kita sendiri. Apa keunikan kita itu? Apa yang jelas membedakan bangsa Indonesia dengan semua bangsa di dunia?” Ia pun menebar pandangan ke penjuru kelas, berharap ada yang menjawab.

Pertanyaannya mudah, tapi jawabannya terlalu sulit. Kami terdiam, seperti santri di depan pak Kyai. Tutur katanya pun mengalir lembut, “Lihatlah dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata ‘kami’ dan ‘kita’, dalam bahasa lain hanya satu kata ‘we’. Apa artinya ini? Dengan memakai “kita”, lawan bicara pun menjadi satu saudara. Satu kondisi paguyuban alias ‘gemeinschaft’ telah tercipta: kau adalah aku, kita saudara.

Sementara ‘we’ atau ‘kami’ menjarakkan antara kau dan aku. Suatu kondisi ‘gesselschaft’ atau patembayan, yang membuat hubungan hanya atas dasar kepentingan belaka. Karena itulah mari kita lebih sering memakai kata “kita”....."

Jam menunjuk pukul sembilan malam. Ia pun menutup kuliahnya. Langit masih gelap, hujan masih rintik, tapi sepanjang jalan pulang, aku melihat matahari....

0 Comments:

Posting Komentar