Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

CINTA GADIS THREE IN ONE

Sebuah Range Rover sport HSE kelir oranye perlahan membelok dari jalan Asia Afrika menuju jalan Gerbang Pemuda Senayan.

Deretan rapi berjajar orang orang di pinggir jalan di depan TVRI, memasang tampang muka manis sambil mengacung jari tanda sebagai joki 3 in 1. 

"Tih...itu mobil si Om datang," seru gadis berponi.

"Siap siap..." sahut Ratih si pemilik wajah hitam manis berpakaian ala mahasiswi trend terkini.

"Pagi Om..." sapa Ratih kepada pengemudi mobil Range Rover dengan ramah.

"Pagiiii...yuk naik,"
senyum hangat pemilik mobil sport keren segala medan itu.

Pagi itu lalu lintas sudah tersendat di flyover Senayan, mobil merayap pelan menuju Gatot Subroto. Tumpang tindih bertemu dengan aliran lalulintas dari Pejompongan dan dari jalur utama Slipi menuju Semanggi.

"Nanti sore jangan lupa di tempat biasa ya," ucap halus sang pengemudi begitu mobil menepi di depan GKBI.

"Siap om..." seru Ratih riang sambil mengantongi 50 ribu yang tentu dibagi dua dengan Wina teman joki 3 in 1 nya.

Ratih mengenal om pengemudi mobil sport itu dengan panggilan Pak Mari ketika awal berkenalan sekitar 4 atau 5 bulan lalu. 
Semula hanya iseng saja mengisi waktu pagi sebelum jam kuliah di kampus samping Senayan City. Wina teman kuliahnya yang mengajak ikut menjadi partner joki 3 in 1.

"Ikutan yuuk, daripada bengong nunggu jam kuliah, mendingan njoki dapat uang, siapa tahu ketemu pangeran ganteng...hihihi," 
begitulah ajakan Wina waktu itu.

Pertama kali mendapat pelanggan joki, ya si Om Mari itu dan menjadi langganan sampai sekarang setiap pagi dan sore hari. 
Beberapa bulan terakhir menjadi semakin intensif tak lagi pagi sore menjadi joki Om Mari namun berlanjut menemani di cafe sepulang kerja, makan malam dan jalan jalan shopping di mal sekitaran Senayan atau Blok M.

Om Mari orangnya ramah dan sedikit royal, pria mapan usia 40 tahunan. Tentu saja Ratih yang hanya mahasiswi berkantong cekak bak pucuk di cinta ulampun tiba. Awalnya dari sekedar joki 3 in 1 kemudian menjadi teman dan lama kelamaan merajut sebuah romansa di sela sela padatnya jalanan ibu kota. Romantika klasik om om dan mahasiswi.

Status Om Mari yang duda tanpa anak yang ditinggal istri meninggal beberapa tahun lalu seolah mengalun syahdu menuju gerbang romantika jalanan. Elegi cinta yang sudah sering membombardir acara acara sinetron kejar tayang di televisi.

Ratih dengan mudah menerima melodi cinta duda keren bertampang orang kaya itu entah karena apa. Dengan mudah membuka hati, penampilan yang sederhana, ramah dan sama sekali tidak pernah menunjukkan sifat genit atau centil ala ala om om papan atas di belantara metropolitan yang selama ini banyak didengar maupun dilihatnya.

Sudah bukan rahasia lagi beberapa teman mahasiswi di kampusnya, banyak menjadi simpanan om om. Bahkan beberapa bulan lalu sempat heboh mahasiswi temannya tertangkap basah oleh KPK di suatu hotel dengan seorang perantara petinggi partai politik. Suatu hal yang sempat membuat heboh semua orang di kampus, bahkan seluruh negeri.

Jarak usia yang berbeda hampir 16 tahun seolah tidak merenggangkan melodi cinta yang semakin hari semakin merekah. Ratih hanya bisa dengan sendu menangis dalam pelukan Om Mari suatu malam di cafe di bilangan SCBD.

"Ratih...saya bersungguh sungguh, maukah kamu menjadi istriku..." ucap Om Mari sepenuh hati.

"Om..." 

"Hushhh, mulai sekarang panggil Mas..." sahut Om Mari sambil menutup bibir mungil Ratih dengan jari telunjuk.

"Kalau Mas bener bener serius, silahkan datang ke rumah menemui Bapak Ibu di Bogor..."

"Siaaap...minggu depan Ratih saya lamar sekalian..." pelukan hangat Om Mari meruntuhkan segalanya.

Awalnya orang tua Ratih protes keras ketika diberitahu Ratih akan dilamar seorang duda, apalagi saat ini Ratih belum juga lulus kuliah. Namun orang tuanya luluh juga begitu sang calon suami Ratih seorang kaya dan baik hati. Ratih menceritakan semua profil Om Mari, kesungguhan hati ingin melamarnya. Menceritakan semua hal yang tidak pernah berbuat atau jauh dari sifat negatif om om mapan di Jakarta yang selama ini menjadi bayangan buruk dan memenuhi semua tayangan media sinetron di televisi.

Tak tanggung tanggung acara lamaran seminggu kemudian, rombongan keluarga berikut paman sebagai wakil orang tua Mas Mari datang. Niat tulus Mas Mari benar benar terbukti bukan omong kosong belaka. Status duda dan profil keren yang sederhana dalam pandangan keluarga besar Ratih, semakin membuat luruh semua anggota keluarga.

Hari itu juga setelah lamaran, diputuskan tanggal secepatnya pernikahan. Tak usah menunggu lama.

Ratih semakin terbuai dengan semua hal tentang Mas Mari. Berbagai hadiah walau tidak mewah namun sangat berkesan bagi Ratih. Cintanya semakin tumbuh subur kepada sang duda keren, calon suaminya itu. Hari hari berikutnya menjadi sangat membahagiakan bagi Ratih. Namun ada suatu hal yang membuat Ratih berkerut karena selama ini belum pernah diajak mengunjungi rumah Mas Mari di bilangan Simprug Permata Hijau.

"Nanti saja Tih...nanti setelah kita resmi menjadi suami istri, saya hanya menghindari pandangan negatif tetangga dan security perumahan saja kalau membawa gadis ke rumah,"
begitu alasan masuk akal yang diterima Ratih dengan senang hati. Dan hari hari semakin berbunga.
                                   *******

Balada cinta jika tanpa badai hanya akan menjadi sebuah balada semu. Ratih semakin terbuai dengan segala perhatian Mas Mari. Selama menjalin hubungan tidak pernah sekalipun Mas Mari menunjukkan hal hal negatif. Hanya bergandengan tangan dan bermesraan sewajarnya saja, belum pernah beradu bibir walau nyata sekali perasaan cinta Mas Mari kepada Ratih. Hal ini saja sudah semakin membuat Ratih melayang bak di awan, membuat semua mimpinya indah tak berkesudahan.

Suatu malam setelah mengunjungi keluarga Ratih dalam rangka memantabkan rencana pernikahan, Mas Mari mengajak Ratih mengunjungi vila keluarga di Puncak. Segala restu orang tua seolah sudah mengaburkan kesadarannya. 

Ratih tak dapat melupakan malam itu. Tak ada sesal walau sedikit menyisakan rasa sedih, entah setan darimana yang membuat mereka terbuai berpacu sepanjang malam yang dingin di vila yang membara bak medan tempur pasukan komando. Merayap, merintih, menerjang, dan menembakkan desingan peluru khas perang gerilya di hutan belantara.

Namun keyakinan Mas Mari segera menjadi suaminya, membuat bayangan buruk itu segera sirna. Kesadaran Ratih lenyap sudah.

Semenjak kejadian di Puncak, perlahan namun pasti Mas Mari mulai menjauh. Belakangan mulai jarang menelepon, jarang membalas pesan. 

Ratih hanya tergugu mengetahui dirinya hamil karena kejadian di Puncak. Mas Mari yang semakin susah dihubungi semakin membuat Ratih kalang kabut. Ratih masih penuh harap, risau dan gelisahnya segera sirna, rasa kekhawatirannya ternyata berlebihan menurut Ratih ketika bertemu Mas Mari suatu malam.

"Jangan khawatir Tih..., 2 bulan lagi kita akan menikah, maaf ini ada pekerjaan luar kota yang harus saya selesaikan dulu, maafin yaa..." kembali pelukan hangat Mas Mari meneduhkan Ratih.

Badai segera mereda dan angin lembut bertiup dari lembah di Bogor yang sejuk. 
Undangan pernikahan yang dipesan Mas Mari menjadi berita hangat layaknya sinar mentari pagi di Bogor sehabis hujan.

Waktu berjalan cepat dan segala persiapan pernikahan sudah matang terencana. 
Rasa was was kembali muncul saat menjelang hari H, kembali Mas Mari susah dihubungi. 

Ratih menjadi gelisah luar biasa sehari sebelum hari H, ketika putus total kontak telepon dengan Mas Mari. Ratih baru menyadari kebodohannya ketika orang tuanya menanyakan kenapa nggak dihubungi saja keluarga Mas Mari. Rasa cinta yang seakan membutakan mata dan hati, akal sehat seolah tertutup.

Malam itu juga, malam di mana besok merupakan hari indah pernikahannya. Ratih dan kedua orang tuanya nekat ke Jakarta menuju rumah Mas Mari. Kontak telepon yang benar benar putus yang membuat semua keluarga kalang kabut berantakan, bayangan indah buyar sudah dengan semua rencana pernikahan esok hari.

                                 *******

Rumah megah di bilangan Permata Hijau itu terlihat sepi. Di depan ruang satpam rumah, terlihat ada 3 orang bertampang sangar khas orang Ambon yang sedang berdebat dengan satpam penghuni rumah.
Ratih dan kedua orang tua hanya bisa terdiam sambil bertanya tanya dalam hati ketika sampai di depan rumah itu.

"Saya mencari Pak Mari, ini alamatnya jelas di sini..." ucapan setengah berteriak seorang Ambon berbaju kuning.

"Saya juga mencarinya, sudah setengah bulan mengubek ubek kantor dan dikasih alamat ini," ucap seorang lagi sambil berkacak pinggang.

"Tidak ada nama Mari di rumah ini..." ucap satpam sedikit emosi dari balik pintu besi.

"Hari ini sudah beberapa orang mencari yang namanya Mari di rumah ini..." seru satpam lagi masih tetap tidak mau membukakan pintu gerbang.

Ratih dan kedua orang tuanya mendekati pintu gerbang dan langsung kena gertak satpam juga.

"Ada apalagi ini...mencari orang yang namanya Mari juga?" wajah merah berkerut kerut satpam membuat Ratih terkejut, terkejut yang kesekian kali setelah mendengarkan pembicaraan ketiga orang sangar dari Ambon barusan.

"Iya Pak, bulan lalu Mas Mari mengajak saya ke rumah ini walau nggak masuk ke dalam rumah," ucap Ratih bias masih di antara rasa terkejutnya.

"Sekali lagi ya, nggak ada yang namanya Mari di rumah ini...titik...silahkan pulang," ucapan satpam dengan nada menghardik.

Tiba tiba pintu gerbang dibuka perlahan dan suara klakson mobil mercy hitam mendekat dan memasuki pintu gerbang setelah susah payah satpam menghardik lagi menyuruh minggir semua orang. 
Kesempatan itu tak disia siakan ketiga orang Ambon yang serentak memaksa masuk dan tarik menarik dengan satpam ketika mau menutup pintu gerbang.

"Nah itu mobil Mas Mari," teriak Ratih sambil menunjuk mobil Range Rover oranye di dalam garasi rumah. 

Sementara ketiga orang Ambon sudah berkeras memasuki gerbang. Suasana mulai panas, saling berteriak dan bersitegang penuh emosi.

Seorang bapak agak gemuk bergegas keluar dari mobil mercy yang barusan masuk.

"Ada apa ini..." ucapnya halus menyelidik dari wajah ramah dengan pakaian jas perlente. Segera sibuk sekali satpam rumah menjelaskan semuanya.

Meluncur kemudian rentetan ucapan 3 orang Ambon yang ternyata debt collector berbagai bank penerbit kartu kredit, dengan segala data tagihan yang seolah sudah hapal di luar kepala.

Ratih hanya memandang kelu tak bisa berkata kata di samping orang tuanya.

"Maaf ya, nama saya Haryono pemilik rumah ini, nggak ada yang namanya Mari di rumah ini" masih lembut ucapannya dengan senyum khas kebapakan. Sementara satpam hanya menggerutu menimpali ucapan sang bapak.

Ratih segera mendekati bapak itu penuh dengan pertanyaan di ubun ubun.

"Maaf Pak, saya Ratih calon istri Mas Mari, besok hari pernikahan kami," ucap Ratih dengan tangisan kelu yang sejak tadi ditahan tahan air mata sedihnya.

"Maaf Nak, sekali lagi maaf, nggak ada nama seorang itu di rumah ini"

"Itu mobil oranye yang sering mengantar saya Pak, mobil itu juga yang dibawa Mas Mari beberapa bulan lalu ketika melamar saya" sudah basah air mata Ratih meleleh di pipi.

"Itu juga mobil saya Nak, eee...sebentar...Maryono keluar kamu!" ucap bapak itu sambil menggedor keras kaca mobil mercy hitamnya.

"Mas Mari...." seru Ratih mendekat sambil memegang tangan Mas Mari yang keluar dari pintu kemudi mercy.

Sudah menggigil wajah Mas Mari, keringat menetes dan wajahnya benar benar menunjukkan ketakutan di antara rasa terkejut setengah mati.

"Maryono...hayo jelaskan" hardik sang bapak itu.

Seakan ucapan sebatalyon tentara menerjang dari teriakan ketiga orang Ambon kemudian. Ucapan ucapan keras, makian dan teriakan yang membuat Ratih semakin menggigil.

Tak ada yang bisa diucapkan Mas Mari alias Maryono. Menggigil, kaku dan mematung ketakutan.

"Maaf semuanya ya, ini sopir saya namanya Maryono, bukan Mari" ucapan penegasan bapak itu membuat semua orang melongo termasuk Ratih.

Tiba tiba berlari seorang anak lelaki keluar dari dalam garasi.

"Bapak sudah pulang..." ucap anak lelaki itu sambil memegang erat tangan Mas Mari, yang membuat Ratih semakin menggigil dalam gontai.

"Nah itu anaknya Maryono yang tinggal di rumah saya dengan istrinya juga," kembali ucapan bapak itu membuat seakan bumi bergoyang bagi Ratih.

Dan adegan di carport garasi rumah mewah di bilangan Permata Hijau itu selesai sudah ketika Ratih jatuh pingsan diikuti lemas lunglai ibunya menyusul jatuh pingsan.

Selesai.


*****************

Copy paste dari Grup FB Kagama. Maaf, lupa penulisnya.

0 Comments:

Posting Komentar