Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

ANTARA KESALEHAN PRIBADI DAN KESALEHAN SOSIAL

Oleh : Ariel Heryanto

Ini tulisan lama Ariel Heryanto berkait dengan banjir Jakarta, dimuat di Kompas, 11/02/2007. Saya copy dari grup FB Kagama. Karena judulnya pendek, yaitu PUBLIK, maka saya tambah sehingga berjudul : ANTARA KESALEHAN PRIBADI DAN KESALEHAN SOSIAL.


Tidak ada yang dikejutkan oleh banjir besar di Jakarta minggu lalu. Penduduk Jakarta menderita, tetapi tabah menanggung derita itu. Bergotong-royong mereka mengatasi akibat bencana. Apakah masalah dapat dianggap selesai di situ? Berakhir dengan ketabahan menderita yang berlanjut? Semua maklum bencana itu bukan kecelakaan alam, apalagi takdir. Semua maklum sebuah kota mirip sebuah rumah, atau tubuh.

Dia memberikan yang terbaik kepada kita apabila kita memberikan yang terbaik padanya.
Juga sebaliknya. Hukum timbal balik ini melibatkan kesadaran dan pilihan tindakan
manusia. Bencana itu bisa dihindarkan, ditunda, dilenyapkan. Atau diteruskan dan diperburuk.

Bukan tak ada orang Jakarta yang bertekad memperbaiki keadaan. Akan tetapi,
kesadaran dan tekad mereka tidak berdaya menghindarkan bencana Februari
2007. Apa yang kurang?



Pernah ada komentar di Republik Indonesia tidak ada yang namanya publik. Saya
menduga, maksudnya tidak ada tradisi kuat mengakui dan menghormati pergaulan bersama secara beradab di antara orang yang tidak saling kenal dimuka umum tanpa memedulikan latar belakang satu sama lain. Orang bisa sangat peduli pada lingkungan hidupnya, tetapi sebatas rumah sendiri.

Atau, sejauh menyangkut kepentingan keluarga sendiri, teman sekerja, rekan seagama, separtai politik, atau sesuku.

Orang Jakarta sudah belajar peduli lingkungan hidup. Kelas menengahnya suka bersolek dan peduli gaya hidup sehat. Namun, lingkungan hidup itu hanya bergeming sebatas ruang pribadi. Sehari-hari mereka tidak membuang sampah dirumah atau kantor sendiri. Di rumah sendiri mereka merawat kebun dengan kasih sayang dan biaya besar.

Di negeri ini orang bisa menjadi diktator keji atau koruptor bejat dalam profesi sehari-hari. Namun, di wilayah pribadi, mereka menjadi suami, ayah, atau kakek yang sangat santun dan penuh kasih sayang kepada sanak keluarga dan kerabat. Bahkan, secara pribadi, mereka rajin beribadah agama.

Bagi mereka, apa pun yang ada di luar ruang pribadi bukan urusan mereka. Disitu hanya ada yang serba menjengkelkan, bahkan mengancam. Ada kerumunan pencopet, pengemis, pengamen, orang kafir yang mengobral pornografi, debu, kuman flu burung, penggusuran, razia petugas negara atau preman, dan kemacetan lalu lintas. Maka,mereka memasang pagar tinggi dan dijaga petugas satpam atau anjing galak.


Nyaris bertolak belakang dengan yang tampak di sejumlah negeri yang sekuler, kapitalistik, dan liberal. Resminya, di sana kepentingan dan hak pribadi dihormati tinggi-tinggi. Akan tetapi, nyatanya ruang publik mereka bisa menjadi suaka yang menyejukkan dan melindungi bagi kaum rentan, tertekan, dan menderita.

Banyak rumah pribadi kelas menengah tidak berpagar sama sekali. Ruang publik menyediakan taman yang jauh lebih nyaman ketimbang kebun di rumah pribadi kelas menengah. Di ruang publik tersedia gratis pertolongan kesehatan, informasi, dan hiburan dengan skala dan kualitas mengungguli kemampuan pribadi.

Tanpa ada undang-undang pornografi, anak-anak dan wanita merasa aman berjalan sendirian. Bukannya tak ada sampah di buang sembarangan. Namun, berkali-kali saya saksikan, di sana orang memungut sampah yang dibuang sembarangan oleh orang lain dan memasukkannya ke tempat sampah. Mereka mencintai ruang publik itu sebagai milik bersama.

Dalam bentuk dan wajah berbeda, ruang publik juga dapat ditemui di negeri-negeri sosialistik dan komunis. Juga di banyak kota kecil dan desa Nusantara. Disana ruang pribadi tidak pernah terpuji walau dalam kenyataannya selalu ada dan belakangan mulai membesar.

Di negeri kita semboyan "kepentingan bersama" dipidatokan, tetapi hidup kita terkotak-kotak dalam ruang pribadi, suku, jender, atau agama. Ada yang ruang pribadinya beratus-ratus hektar secara harfiah mau pun kiasan. Lebih banyak yang sempit berimpitan. Namun, untuk semua berlaku hukum "elu-elu, gue-gue".

Walau milik bersama, ruang publik menjadi tanggung jawab sebuah organisasi yang dinamakan "negara". Celakanya, dalam Republik tanpa publik, yang ada bukan negara, tetapi pejabat negara. Seperti warga sipil, para pejabat ini tidak mengenal "ruang publik".

Bagi mereka, lembaga negara merupakan bagian dari"wilayah pribadi" pejabat. Maka, kas negara, rumah dan mobil dinas dinikmati bersama anggota keluarga, kerabat, tetangga, menantu, sobat dekat, pacar gelap, atau bini ke dua belas.

Untuk menjamin kebebasan mereka menikmati semua itu, ada undang-undang rahasia informasi. Maka, pejabat dan pengusaha Indonesia termasuk daftar orang terkaya di dunia. Sementara jutaan penduduknya kelaparan dan kas negara sekarat tertimpa beban utang.

Banjir di Jakarta hanya sekeping pertanda. Bencana terbesar di Jakarta bukan banjir, tetapi ketamakan pribadi. Bukan krisis air bersih, tetapi ruang publik yang beradab.

0 Comments:

Posting Komentar