Oleh : Tere Liye
Perkembangan
teknologi informasi membuat banyak perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Cukup
dengan sebuah gadget di tangan seseorang dapat melakukan pekerjaan apa saja:
berjualan online, memesan makanan, mengajar, memesan taxi dan lain-lain.
Muncullah istilah dunia maya, sebagai pembanding dengan dunia nyata yang sudah
ada.
Di dunia nyata
kita punya teman yang bisa diajak ngobrol, berbagi cerita dan makan berama. Di
dunia maya pun kita juga bisa seperti itu, hanya terpisah oleh jarak dan
tempat. Selanjutnya batas antara dunia nyata dan dunia maya pun tidak lagi
jelas karena di dua dunia tersebut kita bisa apa saja.
Disisi lain
banyak diantara anak-anak kita yang meninggalkan dunia nyata dan tergiur aktif
di dunia maya. Alasannya masuk akal juga: sudah banyak orang yang sukses
menapaki dunia maya. Misalnya, di rumah jelas-jelas ada usaha orang tua,
seperti peternakan dan pertanian. Jika saja si anak mau membantu usaha orang
tuanya, tentu saja orang tua akan sangat senang dan si anak pun mendapat
penghasilan.
Namun si anak
justru sibuk dengan gadgetnya, katanya sedang jualan online. Ternyata jualan
online juga tidak semudah dan seindah yang dia lihat dari orang lain. Walhasil
dunia nyata dia tinggalkan, dunia maya pun belum memberikan hasil. Apakah dunia
nyata dan dunia maya harus dipisahkan secara diametral, berseberangan? Tidak
juga, bahkan dapat disinergikan. Yang harus diwaspadai adalah impian-impian
yang diberikan oleh dunia maya yang boleh jadi sangat membuai. Berikut adalah
tulisan bagus dari Tere Liye.
****************
Saya kadang kala nggak
ngerti dengan cara berpikir anak2 jaman sekarang. Tidak semua memang, tapi
semakin ke sini, hal ini menjadi gejala umum.
Karena di jaman
saya dulu, semua urusan itu simpel. Misal, mau kuliah tinggi2. Simpel banget
urusannya: pastikan diterima dulu di kampus tersebut. Misalnya, kalian ngincer
UI. Sementara kalian tinggal di pedalaman Papua sana. Pastikan dulu kalian
diterima UI, belajar habis2an, dapat nilai bagus, pas seleksi ujian masuk,
diterima. Beres.
Uang kuliahnya
gimana?
Duh, itu gampang
banget. Pas hari pendaftaran, kalian masuk sana ke rektorat UI, merangsek minta
ketemu wakil rektor kek, pejabat apalah kek, lantas bilang, 'Saya datang dari
Papua, naik kapal 7 hari 7 malam, itu uang terakhir yg saya punya, buat beli
tiket. Sy tdk punya uang lagi, jangankan buat bayar SPP, buat makan dua hari
ini saja sy harus ngamen. Tapi sy diterima di Fakultas Kedokteran UI, sy pengin
sekali kuliah. Saya pengin sekali memperbaiki nasib Emak, Bapak, keluarga saya.
Tolonglah saya.'
Dijamin dek,
kalian akan kuliah di UI. Dengan segala beasiswa dll. Apalagi hari ini, sambil
nangis2 ketemu pejabat UI, kalian videokan, viralkan. Hanya soal jam ke berapa,
ada yang akan menggalang dana buat kalian, malah bisa kaya raya hidup kalian
jadinya.
Nah, hari ini,
apa yang terjadi?
Saya ketemu
dengan anak muda, masih SMA, dengan wajah letoy, penuh drama, 'Akhu thuh mau
banghet khuliah di thempat bhagus. Tapi gimana ya, orang tuaku ngghak
mamphu."
Omong kosong.
Yang tidak mampu itu adalah kha-mhu. Hanya untuk kemudian mencari2 alasan,
menutup ketidakmampuan kamu tersebut. Rumit sekali logikanya. Diterima UI saja
belum, halu pengin masuk sana, lantas merasa tidak mampu, nyalahin keluarganya
miskin. Coba buktikan dulu diterima UI gitu loh.
Saya kasih contoh
berikutnya.
Jaman dulu.
Bahkan saat seorang anak muda memang orang tuanya sudah miskin, eh dia 'goblok'
pula. Maksudnya, nilai2nya memang tidak bagus. Apakah dia banyak alasan? Tidak.
Saya menemukan banyak sekali contoh, bahkan beberapa teman saya sendiri, mereka
memutuskan berangkat dari Kalimantan, menuju Jawa. Pengin masuk UI, ITB, UGM,
dll. Ikut tes masuk, gagal, ikut tes masuk berikutnya, gagal lagi. Berkali2 tes
masuk, gagal. Nasib, namanya juga 'goblok'. Tapi apakah hidupnya berakhir?
Tidak.
Dia memutuskan
jualan baju di pasar. Ngaca, sadar diri dia tidak bisa menaklukkan soal2 ujian
masuk universitas, dia memilih jalan lain, berdagang. 20 tahun berlalu, wow,
anak ini malah jadi pemilik bisnis pakaian di kotanya. Besar bisnisnya. Lebih
kaya dan jangan2 lebih 'sukses' dibanding teman2nya yang berhasil masuk UI,
ITB, UGM, dll.
Nah, hari ini,
apa yang terjadi?
Saya itu sering
dapat curhat dari anak muda, masih SMA. Entah dia ngirim email lah, entah dia
curhat lewat apalah, dengan memelas menulis: Akh-hu tuh gagal ini, gagal itu.
Orang tua miskin. bla-bla-bla.
Omong kosong.
Yang miskin itu adalah mental kamu. Tiap hari hanya main HP, tiap hari cuma
bengong, nggak ngapa-ngapain, lantas halu pengin sukses. Curhat pula kemana2
minta solusi. Seolah kalau sudah curhat, realita kehidupan akan berubah gitu?
Adik2 sekalian,
tidak ada yang instan dalam hidup ini. Kalian harus bekerja keras. Berhentilah
hidup penuh drama. Orang-tua kalian boleh jadi memang miskin, kalian juga boleh
jadi memang 'goblok', tapi kalian masih bisa melakukan sesuatu bukan? Yang
cacat saja banyak yg sukses, masa' kalian yang sempurna fisik dan jiwanya malah
kebanyakan drama. Jika kalian memang sungguh2 mau berusaha, selalu ada
jalannya. Selalu ada yang akan membantu.
Mulailah
memikirkan masa depan kalian. Mencari jawaban, hakikat hidup. Kalian mau
ngapain? Lantas tuntaskan misinya. Kejar. Jangan dibuat rumit, jangan dibuat
neko2, jangan banyak alasan, ngeles. Sambil sertai dengan pemahaman2 yang baik.
Kita ini mau ngapain sih hidup? Apa definisi kebahagiaan? Dll.
20-30 tahun dari
sekarang, kalian boleh jadi akan menyesal saat menoleh ke belakang. Bahkan saat
kalian kaya raya, bla-bla-bla, tidak ada yang menjamin kalian akan bahagia.
Tapi saat kalian mau bekerja keras, tahan banting, selalu menyibukkan
memperbaiki diri, minimal kalian telah menggenapkan syaratnya.
Dan yang pasti,
kurangilah menghabiskan waktu di depan gadget. Untuk kemudian panjang angan,
pengin ini, pengin itu, halu ini, halu itu, penuh drama: "Akyhu
tuh...." Eww.
*Tere Liye
0 Comments:
Posting Komentar