![]() |
Mie Sagu |
Oleh : Made Supriatma
Menurut statistik BPS, Indonesia mengimpor 10,7 juta ton gandum pada tahun 2019. Gandum ini akan dibikin terigu. Sebagian dipakai untuk campuran makanan ternak. Nilai impor kita setara dengan 2,8 milyar US dollar. Angka impor ini menurun dari 2017 dimana saat itu Indonesia mengimpor 11,4 juta ton gandum.
Angka konsumsi gandum kita melipat dua selama hampir sepuluh tahun. Pada tahun 2010, kita hanya mengimpor 4,8 juta ton gandum. Semakin lama, kebudayaan makanan kita semakin berubah. Kita mengkonsumsi semakin banyak gandum, yang tidak sebiji pun dihasilkan di negeri kita.
Gandum hanya sebagian dari yang kita impor. Tahun lalu, kita mengimpor 2,7 juta ton kedelai. Tanah subur gemah ripah loh jinawi ini tidak mampu memproduksi kedelai, bahan utama tempe tahu kegemaran rakyat Indonesia.
Kita juga mengimpor beras. Tidak sebanyak gandum atau kedelai. Tahun 2019, kita mengimpor 445 ribu ton beras. Tapi tahun 2018 kita sempat impor jauh lebih besar yakni 2,26 juta ton. Impor beras kita naik turun karena tergantung dari hasil panen dalam negeri kita. Angka tinggi pada 2018, saya kira, karena 2019 adalah tahun politik. Siapa pun yang memerintah tidak akan mau menjadi bola sepak politik kalau tidak sanggup menyediakan kebutuhan pokok. Tapi, intinya adalah kita selalu mengimpor beras dalam jumlah ratusan ribu ton per tahunnya.
Kita juga mengimpor gula, Sodara-sodara! Pada tahun 2019, kita mengimpor 4,1 juta ton gula. Juta? Iya. Juta ton. Pada tahun 2018, sekali lagi setahun sebelum tahun politik, kita mengimpor 5,01 juta ton. Soal gula ini agak mengejutkan karena pada tahun 2010, kita hanya mengimpor gula sebanyak 570 ribu ton. Saya tidak tahu apakah karena konsumsi gula kita naik, atau karena kemampuan produksi kita menurun, atau gabungan antara keduanya.
Kita juga impor daging. Tahun lalu kita impor sebanyak 262 ribu ton. Sebagian besar dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Impor daging kita hampir dua kali lipat dibanding 2010 dimana kita hanya impor 140 ribu ton saja.
Selain impor daging, kita juga impor sayur-sayuran. Kita mengimpor 770 ribu ton sayuran pada 2019. Sebagian besar kita impor dari China (520 ribu ton); dan negara-negara lain seperti India, Myanmar, Ethiopia, dan sebagainya. Nilainya sebesar 770 juta US dollar. Impor sayuran kita hampir selalu ajeg di kisaran 600-900 ribu ton per tahun dari 2010-19.
Kita juga impor buah-buahan. Di pasar sekarang mudah kita temui jeruk Tiongkok, jeruk Pakistan, apple Washington, dan lain-lain. Impor buah-buahan kita pada 2019 adalah sebesar 724 ribu ton. Nilainya 1,49 milyar US dollar. Eksportir buah terbesar kita lagi-lagi adalah China (Tiongkok), kemudian Thailand, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain.
Kita juga mengimpor pupuk. Ya kita perlu pupuk untuk menanam apa saja di negeri yang kabarnya subur dimana tonggak kayu dan batu jadi tanaman ini. Kita mengimpor 6,1 juta ton pupuk tahun lalu, turun dari 8 juta ton tahun sebelumnya. Lagi-lagi Tiongkok menjadi sumber paling besar dari pupuk kita. Nilai impor tahun lalu 1,5 milyar US dollar.
Oh ya. Sodara masih merokok? Masih suka klepas-klepus menikmati kebebasan merusak paru-paru sendiri dan orang lain? Kita masih impor tembakau. Tidak banyak. Hanya sebesar 111 ribu ton pada 2019. Impor mbako ini naik hampir dua kali lipat dari 2010 yang hanya 65 ribu ton.
Selesai? Belum. Terakhir, Anda tahu negara kita adalah negara maritim. 90% negara kita ini isinya lautan. Dan lautan itu asin. Karena apa? Karena garam. Iya, di negara kebanyakan uyah, yang membikin banyak orang darah tinggi dan ngamukan ini, ternyata garamnya masih diimpor.
Tahun lalu, negeri yang diapit dua samudra ini mengimpor 2,5 juta ton garam. sejak 2010, impor garam kita tidak pernah kurang dari 2 juta ton. Paling banyak kira mengimpor dari Australia, dan kemudian India, Tiongkok, dan beberapa negara lain.
Untuk lebih fair, saya dengar bahwa garam yang diimpor kebanyakan adalah garam untuk industri yang ditambang dari bawah tanah. Kita tidak mampu menyediakan garam seperti itu. Saya tidak tahu seberapa jauh kebenarannya.
Data-data ini saya temukan ketika saya menulis tentang produksi makanan massal. Tentu, untuk lebih fair, Indonesia juga mengekspor bahan makanan. Kita penyumbang minyak sawit terbesar di dunia. Kita juga mengekspor hasil laut walaupun jauh lebih kecil dari Thailand yang tidak punya laut seluas kita. Saya masih berpikir keras bahan makanan apa saja yang kita ekspor.
Data-data impor ini membuat saya berpikir ulang tentang makanan kita. Selera makan kita telah mengalami "westernisasi" yang sedemikian rupa. Beberapa ahli dari WHO sudah mengendus kecenderungan ini. Tidak saja di Indonesia namun juga di negara-negara Asia yang makin makmur. Cirinya adalah konsumsi gandum, kentang, dan buah-buahan sub-tropis yang tidak dihasilkan di negara sendiri. Konsumsi ini meningkat secara tajam dari tahun ke tahun.
Bukan berarti alternatif tidak ada. Mie instan dari gandum misalnya, bisa diganti mie lain. Tahun 2017 saya sempat bekerja di Riau. Disana saya menemukan mie sagu yang enak. Mie sagu Bengkalis. Saya kaget bahwa itu bukan Kwetiau. Rasanya mirip dengan Kwetiau yang terbuat dari beras. Hanya saja teksturnya lebih halus.
Mengapa tidak ada perusahan yang mau membuat mie instan dari sagu? Mengapa pemerintah lebih memilih menebang hutan sagu yang lebih cocok untuk daerah gambut dan menggantinya dengan hutan Eucaliptus untuk membikin kertas?
Pemerintah tampaknya lebih berpihak pada timber baron (raja-raja kayu), kepada coal baron (raja-raja batubara), palm oil baron (raja-raja kelapa sawit) ketimbang membuat kebijakan yang lebih menyentuh rakyat banyak dengan masa depan yang lebih berkelanjutan (sustainable).
Tidak terlalu sulit dipahami. Berpihak kepada yang besar, yang menimbulkan efek gemerlap, dan untung yang besar pula. Dan keuntungan itu tentu tidak lari ke orang-orang kecil. Tapi kepada orang-orang besar, dalam bisnis dan politik.
Itulah yang ingin dicapai oleh Omnibus Law yang dirancang oleh para Baron Politik dan Baron Ekonomi negara ini. Investasi besar-besaran yang ingin ditarik ke negeri ini akan menggemukkan mereka secara cepat.
Untuk kebutuhan rakyat biasa, mereka akan mengimpor sebesar-besarnya. Untuk mengeruk sebesar-besarnya, mereka perlu rakyat yang tidak kelaparan. Indomie harganya sekira Rp 3,000 per bungkus. Cukup mengganjal perut agar rakyat tidak berontak.
Masalahnya adalah kebijakan ini sama sekali tidak memikirkan keberlantujan (sustainability). Covid ini memberikan pelajaran penting sekali, yang tidak didapat oleh para Baron Politik dan Bisnis kita. Bangsa ini bertahan karena jaringan pengusaha kecil yang bergerak dalam ekonomi informal. Mereka ini memiliki daya tahan luar biasa dan sangat lentur dalam situasi ekonomi apapun. Jika saja tidak ada mereka, ekonomi bangsa ini sudah ambruk.
Soal ini akan saya bahas lain kali.
Foto: Mie Sagu Bengkalis
0 Comments:
Posting Komentar