
(Telaah Kecil Geopolitik)
Oleh : M. Arief Pranoto
Bicara kaum globalis atau globalis cabal, mungkin yang tergambar di benak publik adalah Illuminati, Zionist, Freemansory, Hawkish, AIPAC, Bilderberg atau individu-individu "sakti" yang memiliki impunitas. Tak salah. Sakti sebagai ibarat, nirpidana adalah privilage.
Ilustrasi dalam pagelaran Jawa atas keberadaan globalis cabal, misalnya, ia bukan pion (wayang), tidak pula sekedar dalang. Lantas, siapa? Itulah si penanggap atau istilah kerennya: "pemilik hajatan" yang mengontrol dalang maupun gerak wayang dari balik layar. Man behind the screen.
Dari perspektif geopolitik, ia disebut aktor nonnegara atau non-state actor. Inilah ancaman tak lumrah usai Cold War (Perang Dingin) sebagaimana isyarat geopolitik: "Publik global akan dihadapkan pada ancaman (bentuk) baru. Dan ancaman bentuk baru tersebut bukanlah serangan militer dari/oleh suatu negara terhadap negara lain, tapi ancaman kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor".
Pertanyaan menggelitik muncul, "Seberapa besar power dan kiprah non-state actor hingga dianggap ancaman bentuk baru usai Cold War?"
Tak boleh disangkal, soal power jangan ditanya --- ia setara negara, bahkan terkadang di atas negara (above the state) karena kuatnya power finansial, politik dan networking. Mereka dapat menggerakkan apapun sehubungan kepentingannya terutama pengaruh dalam hal regulasi (UU), contohnya, atau membidani kebijakan di sebuah negara, bahkan bisa menciptakan aksi-aksi kekerasan/bersenjata jika berkaitan dengan kepentingannya.
Manuvernya hampir tidak kasat mata tetapi dampaknya dapat dirasa. Kenapa? Itu dia. Selain maqomnya di atas dalang ---pemilik hajatan--- sering menggunakan pihak ketiga (proxy agents), juga modusnya tak secara langsung, tidak menyentuh sasaran. Menurut John Perkins, mereka tidak dipilih rakyat tetapi memiliki power yang tidak dibatasi hukum dan UU, bergerak di antara pemerintah dan bisnis.
Secara ilmu politik, mungkin semacam oligarki. Bertemunya kekuasaan dan kekayaan di satu sisi, plus persekongkolan antara penguasa dan pengusaha pada sisi lain. Ya, semacam "dwi fungsi penguasa - pengusaha," meminjam istilah wartawan senior Bambang Wiwoho. Bahkan mungkin bukan sekedar oligarki, karena tujuan akhir bukan profit semata. Ada yang lebih "mengerikan" lagi. Itu sketsa sekilas globalis cabal yang sering disebut dengan berbagai nama.
Lantas, dimanakah mereka bermukim dan seperti apa ujudnya? Mereka bermukim di pelbagai negara, namun lazimnya menempel pada (negara) superpower karena dianggap "polisi dunia," sekaligus sebagai central of gravity, titik kekuatan dimana hampir semua pergerakan bertumpu serta terhubung kepadanya.
Ujud globalis itu bisa MNCs atau korporasi/kartel di berbagai aspek terkait hajat hidup orang banyak, atau organisasi-organisasi nirlaba di level nasional, regional maupun internasional, ataupun LSM/NGO, kelompok lobby, individu-individu dst. Mereka hampir tak mengenal sekat-sekat negara, maka kerap dijuluki "cloud" atau bangsawan (bangsa awan). Tak butuh rezim pengikat.
Agaknya di era Trump, para bangsawan ini harus kembali pulang sebab kebijakan American First dan/atau Make America Great Again memaksanya kudu menginjak bumi. Kebijakan Trump memukul globalis cabal yang mayoritas kapitalnya ditanam di luar negeri. Apa boleh buat, hampir semua modal dipaksa balik ke Paman Sam, dan mereka kembali menjadi bangsa daratan mengikuti aturan rezim.
Tentu saja, American First membuatnya meradang, sebab mesin uang serta pundi-pundinya tak lagi optimal. Kenapa? Bagi globalis cabal, akumulasi modal ialah karir tertinggi, puncak kesaktian.
Sesuai judul, apa kaitan isu Perancis dengan para globalis cabal? Nah, di sini wayang sebagai analogi, isu Macron adalah pintu pembuka.
Geopolitik mensinyalir ---di era Trump--- diduga ada upaya elit globalis menggeser "central of gravity"-nya ke Prancis karena kebijakan Trump membuat tak nyaman. Gerah. Ketika mereka mengeksploitasi isu Floyd pun berujung gagal, AS kembali kondusif setelah satu minggu lebih didera unjuk rasa dan amuk massa bermenu rasis; manuver via pilpres pun ---mendongkel Trump--- tampaknya (incumbent) tidak terbendung. Donald Trump kuat diprakirakan terpilih lagi.
Karenanya, Prancis terpilih sebagai "tempat baru" elit globalis karena berbagai faktor, khususnya catatan Charlie Hebdo yang menyerang semua agama atas nama freedom of speech.
Sebagai langkah awal kepindahan, lumrah bila central of gravity baru harus diuji dengan menu clash of civilization atau benturan peradaban sebagaimana tesis Samuel Huntington: "Hadapkan Barat versus Islam (Radikal)".
Tetapi, hasilnya malah out of control. Lepas kendali. Kenapa? Sebab yang diserang oleh Macron bukannya oknum selaku perilaku yang seakan-akan cerminan Islam sebagai institusi, namun yang disulut justru sentimen agama dan kultus person yang hidup serta tumbuh subur di Dunia Timur.
Ya. Macron salah bidik. Dan akibat keliru bidik, Timur Tengah terbakar, Asia Tenggara bergolak, bahkan sekularisme Eropa pun tidak mau terima alasannya. Muncul solidaritas lintas benua, antar - negeri, dan parareligi berbaju boikot terhadap produk-produk Prancis.
Pada konteks lain, secara geospiritual 2020 Masehi ialah api, sedang 1442 Hijriyah duduknya di angin. Maka akibat isu Prancis, "Api pun berkobar!"
END_
0 Comments:
Posting Komentar