![]() |
Tiga muslimah dalam demonstrasi di Tunis, Januari 2013. (Foto: foreignaffairs.com) |
Oleh : Nuim Hidayat
Bagi kelompok Islam yang menolak demokrasi, dua kata ini bertentangan. Demokrasi berasal dari Barat tidak bisa disatukan dengan Islam. Apakah benar demikian?
Di diri umat Islam, setidaknya ada tiga kelompok dalam
memandang demokrasi. Pertama, kelompok yang menolak demokrasi. Ini diantaranya
Hizbut Tahrir dan Salafi. Kedua, kelompok yang menerima sepenuhnya demokrasi
(liberal). Ini dipelopori kelompok ‘Islam Liberal’. Ketiga, kelompok yang
menerima sebagian konsep demokrasi dan menolak sebagian yang lain, karena
bertentangan dengan Islam. Ini adalah kelompok Partai Masyumi dan pengikutnya.
Tokoh Masyumi, Mohammad Natsir mengajukan konsep
demokrasi teistis. Demokrasi berketuhanan. Demokrasi yang landasannya Tauhid,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Natsir semua dimusyawarahkan, kecuali yang
jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Gagasan Natsir ini selaras dengan pemikiran ulama
besar asal Pakistan, Abul A’la Maududi. Maududi menyatakan bahwa konsep Islam
tentang sistem negara bukanlah teokrasi atau demokrasi. Tapi gabungan keduanya.
Maka Maududi mengajukan konsep Teodemokrasi. Demokrasi yang dilandasi
prinsip-prinsip Islam.
Demokrasi liberal, seperti yang diterapkan di
Indonesia dan dunia sekarang, telah banyak menimbulkan mudharat. Di tanah air,
dalam penerapannya demokrasi malah banyak berubah menjadi Cukongikrasi. Dimana para cukong, para pemodal
mengendalikan para pemimpin di belakang layar. Baik sebelum atau setelah
pemilu.
Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, meluncurkan
istilah Familikrasi. Kejadian dimana para pemimpin atau pejabat
tidak bisa mengendalikan nafsunya untuk menjadikan anaknya, istrinya atau
keluarganya untuk menjadi pemimpin. Pemimpin karbitan, seorang pemimpin yang
sebenanya tidak layak jadi pemimpin, tapi didorong jadi pemimpin dengan
dukungan dana yang besar.
Bila Natsir menggunakan istilah demokrasi teistis,
maka Mohammad Hatta, mantan wakil presiden, lebih suka istilah demokrasi Islam.
Lukman Hakiem, penulis biografi tokoh-tokoh Masyumi, menyatakan bahwa menurut
Hatta, masa lalu memperlihatkan kepada kita, betapa mudahnya orang memutar dasar
negara dari demokrasi menjadi diktator di bawah janji palsu Demokrasi
Terpimpin. Demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat dengan tanggung jawab
bersama, mudah saja diganti dengan kultus perseorangan.
Hatta kecewa dengan teman akrabnya Soekarno. Mereka dulu
yang berdua menggelorakan demokrasi parlementer, diubah Soekarno menjadi
demokrasi terpimpin, tunggal. Parlemen hasil pemilu 1955 dibubarkan, diganti
Soekarno tahun 1959 dengan kabinet Nasakom: Nasionalis, Agama dan Komunis.
Partai Masyumi menolak. Maka tahun 1960 Masyumi dibubarkan Presiden.
Hatta bersama anak-anak muda Islam, Gerakan Demokrasi
Islam Indonesia (GDII) lebih dulu, sebelum menjadi Partai. Menurut Hatta, tugas
utama GDII ialah mendidik rakyat yang akan menjadi pengikutnya untuk memahami Demokrasi
Pancasila dengan penuh rasa tanggung jawab terutama kepada Tuhan, dan kepada
masyarakat.
“Ajaran Islam tentang demokrasi dan sosialisme beserta
isi daripada UUD 1945 menjadi pedoman bagi gerakan ini,” tegas Hatta.
Hatta menggagas gerakan yang kelak akan menjadi partai
itu antara lain bersama Mashud Sosrohardjo, Ismail Hasan Metareum, Ustadz H.
Abus Salam Djaelani, H. Salihin Hasan, Nuckman Syarief, Zuber Hussein, Harjono,
Januar Hakim, Mohammad Daud Ali, Norman Razak, Rosman Anwar, Ibrahim Madylao,
Kamil Tjokroaminoto, Kamaralsyah, Habibah Daud, Sulastomo, dan Deliar Noer.
Persiapan-persiapan dilakukan mulai 1965. Juru bicara
Masyumi terakhir, Anwar Harjono menuturkan, sesudah pemberontakan PKI pada 30
September 1965, dirinya melakukan komunikasi intensif dengan Hatta. Sebagai
salah seorang aktivis Liga Demokrasi yang dibubarkan oleh Presiden Sukarno,
Harjono menganjurkan Hatta untuk mengumpulkan semua anggota Liga Demokrasi
sebagai sebuah kekuatan prodemokrasi yang mencakup berbagai tokoh partai dan
aliran politik yang saat itu hidup di Indonesia.
Pada 11 Januari 1967, Hatta berkirim surat kepada
Presiden Soeharto menjelaskan maksudnya mendirikan GDII yang dalam tiga bulan
akan menjadi PDII. Hatta sendiri yang menyampaikan surat itu kepada Soeharto.
Karena sampai bulan April belum ada jawaban dari
Pemerintah, pada 14 April 1967, Hatta kembali menyurati Presiden. Dalam
suratnya kali ini, Hatta mengakui berbagai keberatan dari DPR Gotong Royong
terhadap rencana kelahiran partainya.
Pada 17 Mei 1967, pada saat GDII akan segera
diumumkan, datang surat dari Presiden Soeharto yang menyatakan Pemerintah tidak
setuju pembentukan GDII dan PDII. Keinginan Hatta untuk membumikan Demokrasi
Islam pun tumbang.
Masalah demokrasi ini memang menjadi perdebatan para
ulama. Mereka yang anti demokrasi, menyatakan bahwa kehendak rakyat jangan
dituruti semua. Karena diantara rakyat itu ada yang senang maksiat atau
kejahatan. Yang harus diikuti adalah kehendak Tuhan (Allah) dalam kitab suci.
Manusia yang harus ikut kita suci bukan kitab suci yang ikut nafsu manusia.
Kitab suci ditafsirkan oleh para ulama yang kompeten di bidangnya atau
orang-orang shalih yang serius dalam menekuni kitab suci (Al-Qur’an).
Tentu hal ini adalah benar. Tapi diantara rakyat
banyak juga yang berperilaku baik dan pemikirannya benar, tidak bertentangan
dengan wahyu. Dan itu layak diambil aspirasinya.
Maududi menggali ayat-ayat Al-Qur’an dan sejarah, dan
akhirnya berkesimpulan bahwa sistem yang ‘demokratis’ hanya terjadi pada masa
Khulafaur Rasyidin. Setelah masa itu, kekhalifahan berlangsung dengan model
kerajaan, meski hukum-hukum Islam diterapkan di sana. Karena itu kemudian
didapati ada khalifah-khalifah yang zalim terhadap rakyatnya ada yang adil
terhadap rakyat.
Model kerajaan, bagi bangsa Indonesia telah berlalu.
Saat para ulama hidup dalam sistem kerajaan, para ulama tidak sibuk mengecam
sistem kerajaan yang ada. Para ulama justru berdakwah pada para Raja, ‘mengislamkannya’
dan berusaha agar hukum atau nilai-nilai Islam diterapkan dalam kerajaan. Maka
muncullah kerajaan-kerajaan Islam: Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan
Tidore, Kerajaan Banten dan lain-lain. Kerajaan-kerajaan Islam ini adalah cikal
bakal terwujudnya Nusantara atau Indonesia sekarang ini.
Peradaban manusia kemudian berkembang. Sistem
kerajaan, dianggap tidak cocok lagi bagi manusia. Karena dalam sistem ini
transparansi perilaku pemimpin/pejabat sangat dibatasi, pergiliran kepemimpinan
hanya di kalangan keluarga, kemerdekaan berpikir dibatasi, ilmu kurang
berkembang dan seterusnya. Maka muncullah demokrasi.
Para pemikir Barat, diantaranya Francis Fukuyama
menyatakan bahwa demokrasi liberal ini adalah ‘puncak pemikiran manusia’. Di
masa demokrasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan
kemakmuran terjadi. Francis Fukuyama terkenal dengan bukunya The End of History and The Last Man (1992).
Kini tahun 2018 muncul buku How
Democracies Die. Buku ini ditulis oleh dua ilmuwan politik
terkemuka, profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (Crown
Publishing Group). Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam bukunya, kedua ilmuwan politik ini menyoroti
fenomena kemunculan sejumlah .pemimpin yang terkesan diktator, yang justru
muncul melalui hasil pemilu. Mereka berpendapat bahwa kini demokrasi mati bukan
karena pemimpin diktator–jenderal militer–yang memperoleh kekuasaan lewat
kudeta, melainkan justru oleh pemimpin yang menang melalui proses pemilu.
Porsi buku ini banyak mengulas soal fenomena yang
terjadi di Amerika Serikat. Yakni ketika Donald Trump, yang diusung oleh Partai
Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 lalu. Begitu terpilih,
Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial yang membuatnya seperti
diktator. Beberapa di antaranya rencana membangun tembok perbatasan
Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang
memicu perang; reformasi pajak; sikapnya yang arogan kepada media yang
mengkritiknya, ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang
paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota
Israel.
Selain itu, buku ini juga mengulas soal fenomena
serupa di Brasil, Filipina, hingga Venezuela. Fenomena pemimpin diktator yang
menang lewat pemilu juga terjadi di Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki,
dan Ukraina.
Dalam politik luar negerinya, Amerika juga tidak
mempromosikan demokrasi sepenuhnya. Di Timur Tengah, negara adidaya ini
mendukung pemimpin-pemimpin yang cenderung diktator. Arab Saudi dan Mesir
contohnya. Amerika berdiam diri, ketika Raja Saudi memenjarakan ulama-ulama
yang kritis kepada kerajaan. Atau Amerika mendukung Presiden as Sisi di Mesir
yang meraih kekuasaan dengan mengkudeta Presiden Mursi. Seperti diketahui
Mohammad Mursi meraih kursi kepresidenan lewat pemilu yang sah dan kredibel.
Kembali kepada masalah Demokrasi Islam, Teodemokrasi
atau Demokrasi Religius. Menurut saya ini adalah sistem pemerintahan ideal bagi
bangsa Indonesia yang hampir 90% penduduknya beragama Islam. Sistem ini cocok,
bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi dunia Islam.
Demokrasi Islam ini bisa diibaratkan seperti Bank
Islam. Ijtihad para cendekiawan Islam memecahkan problematika ekonomi dunia
yang penuh dengan riba. Meski belum sepenuhnya berhasil mengatasi problematika
ekonomi, tapi paling tidak ada cahaya ke sana.
Dalam ilmu politik, selain sistem, yang menentukan
keadilan dan kemakmuran sebuah negara, adalah orangnya. Pemimpinnya. Dalam
sistem yang ideal, pemimpinnya juga harus ideal. Pemimpinnya harus punya akidah
Islam yang kuat, jiwa kepemimpinan yang mumpuni, cerdas dan berpemikiran
terbuka (demokratis).
Akankah terwujud di tanah air atau di dunia Islam
suatu saat? Wallahu azizun hakim.
Sumber : https://suaraislam.id/demokrasi-islam/
0 Comments:
Posting Komentar