Oleh:
Muhammad Qamaruddin
Ayat
tentang ungkapan “Insya Allah” terdapat dalam Qs Al Kahfi (18): 23-24,
وَلَا
تَقُولَنَّ لِشَاْيۡءٍ إِنِّي فَاعِلٞ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّآ أَن يَشَآءَ
ٱللَّهُۚ وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّي
لِأَقۡرَبَ مِنۡ هَٰذَا رَشَدٗا
“Dan jangan
sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: ‘sesungguhnya Aku akan mengerjakan
ini besok pagi’. Kecuali (dengan menyebut): ‘Insya Allah, dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah ‘mudah-mudahan Tuhanmu akan memberiku
petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.” (Q.S.
Al-Kahfi [18]: 23-24)
Ada
sebuah cerita menarik dari Nasruddin bin Hoja, yang bisa kita petik hikmahnya.
Suatu hari ia membawa kain kepada tukang jahit untuk dibuatkan baju (gamis).
Tukang jahit itu berkata kepada Nasruddin, “datanglah dua minggu lagi, Insya
Allah sudah selesai”.
Dua
minggu kemudian, Nasruddin datang lagi kepada tukang jahit tersebut. Ternyata,
baju yang ia harap bisa diambil belum juga selesai. Tukang jahit itu pun
berkata, “Saya masih memerlukan satu minggu lagi. Insya Allah sudah
selesai”.
Satu
minggu berikutnya, dengan harap-harap cemas, Nasruddin datang lagi kepada
tukang jahit tersebut. Sayangnya, baju yang diimpikan tak kunjung pula selesai.
Walaupun ada perasaan tidak enak, tukang jahit itu kembali berkata kepada
Nasruddin, “datanglah besok, Insya Allah sudah selesai. Saya janji”.
Karena
saking jengkelnya, Nasruddin pun berkata kepadanya, “sebenarnya berapa lama
kamu bisa menyelesaikan baju itu seandainya Tuhan tidak ikut campur?”
Apabila
kita renungi kisah humor yang ada di atas, terdapat hikmah yang bisa kita
ambil, khususnya hal yang berhubungan dengan kalimat Insya Allah. Apabila
kita mencermati dalam petikan cerita tersebut, tentunya hati kita akan miris.
Sebegitu rendahkah kalimat Insya Allah, sehingga ia bisa kita jadikan alasan
untuk menunda janji yang kita buat? Atau bahkan untuk menghindari janji yang
sebenarnya enggan untuk kita tepati?
Apabila
kita merenungi dengan seksama, kalimat Insya Allah mempunyai makna yang
sangat dalam. Kalimat ini pun menjadi pembeda di antara seorang muslim dengan
penganut agama lainnya. Simbolisasi suci yang melekat pada seorang muslim
sejati. Kalimat ini pun menjadi bukti kerendahan hati terhadap Sang Kholiq
dalam berbuat sesuatu. Tak ada kesombongan diri, karena semuanya tunduk kepada
kehendakNya.
Banyak
hal yang menyimpang telah terjadi di masyarakat luas dalam memahami kalimat Insya
Allah. Baik dari segi pemahaman, maupun pemakaian. Hal ini berakibat
pengertian kalimat Insya Allah menjadi jauh dari makna sebenarnya.
Ironisnya, kalimat ini sering diselewengkan sebagai alasan untuk menunda
pekerjaan, atau bahkan untuk keengganan dalam mengerjakan sesuatu yang telah
dijanjikan. Banyak lagi pengertian yang menyimpang dari kalimat Insya Allah.
Tentunya
kita tidak mau generasi penerus kita salah dalam memahaminya. Sebelum pemahaman
yang salah ini semakin mengakar kuat, perlulah lagi kita mengkaji kembali makna
sebenarnya kalimat Insya Allah. Sehingga ke depannya, tidak ada lagi
orang yang dengan sengaja mempermainkan kalimat suci ini.
Hakikat
Insya Allah
Dalam
kamus Al Munawwir, kalimat Insya Allah secara bahasa bermakna ‘apabila
Allah menghendaki’. Sedangkan Syaikh Mutawalli asy-Sya’raawi dalam bukunya Anta
tas’al wal Islam Yajib mengartikannya segala sesuatu yang menyangkut “nanti
atau besok”, termasuk dalam pengertian “akan datang”. Selama menyangkut “akan
datang”, manusia tidak dapat memastikan kecuali bila dikehendaki Allah. Beliau
menambahkan, sesuatu yang menyangkut akan datang mencakup lima unsur yaitu,
pelaku (subjek), yang diperlakukan (objek), waktu dan tempat kejadian, sebab
musabab, dan kekuatan dan kemampuan yang diperlukan untuk pelaksanaannya.
Pada
dasarnya, kalimat Insya Allah adalah sebuah komitmen seorang muslim untuk
menyerahkan segala sesuatu itu kepada Allah. Sebesar apapun keyakinan kita
untuk menepati sebuah janji, melaksanakan suatu perbuatan, dan keinginan di
masa yang akan datang, tetaplah semuanya kita kembalikan kepada Allah. Kalimat
ini mempunyai pernyataan tertinggi dari seorang manusia dalam mengerjakan
sesuatu. Sekeras apapun kita melakukan suatu usaha, tetaplah hasil akhir kita
kembalikan kepada Allah. Sungguh, apabila kita menghayati kalimat suci ini,
kita akan merasa bahwa Allah selalu beserta kita, menyertai kita dalam setiap
langkah usaha. Tak ada kesombongan bahwa sesuatu yang kita yakini bisa terjadi
sesuai dengan keinginan kita.
Misalnya,
pada suatu ketika kita telah berjanji untuk menghadiri sebuah acara. Saat
mengadakan perjanjian, kita meyakini bisa menghadiri acara tersebut. Namun di
hari diadakannya acara, bisa jadi kita sakit, mobil kita mogok, cuaca buruk,
dan lain sebagainya. Mau tak mau kita harus membatalkan perjanjian yang telah
kita buat. Maka akhirnya kita tidak bisa menepati janji. Oleh karena itu, kita
tak mempunyai daya untuk menentukan hal-hal yang terjadi di masa yang akan
datang. Semuanya tergantung kepada Allah.
Dalam
kasus di atas, seyogyanya kita menggunakan kalimat Insya Allah, jika
Allah menghendaki. Inilah konteks yang benar. Kita telah berusaha untuk
menepati janji tersebut. Kita telah berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi
komitmen kita menghadiri acara. Namun ketika ada hal yang menghalanginya, maka
itu telah berada di luar kemampuan kita. Jelasnya, Allah tidak mengizinkan atau
Allah tidak menghendaki. Dalam hal ini, kita tidak bisa disebut tidak komitmen,
karena semua usaha kembali kepada Allah.
Bahkan
Nabi Muhammad telah ditegur oleh Allah ketika beliau tidak mengucapkan Insya
Allah terlebih dahulu ketika berjanji. Dalam suatu riwayat, beliau pernah
ditanya oleh seorang delegasi Quraisy. Ketika itu ia bertanya kepada Rasul
tentang tiga hal, pertama, tentang sekelompok pemuda pada zaman dahulu dan apa
yang terjadi kepada mereka, kedua, tentang seorang pengembara, dan ketiga,
tentang ruh. Setelah mendengar pertanyaaan tersebut, seketika itu juga Nabi
Muhammad menjawab, “besok aku akan menjawab semua pertanyaan itu (tanpa
mengucapkan kalimat insya Allah)”.
Biasanya,
wahyu akan datang ketika nabi membutuhkannya. Namun entah kenapa kali ini wahyu
yang diharapkan tak kunjung datang. Padahal beliau begitu membutuhkan wahyu
tersebut. Satu hari berlalu, dua hari berlalu, seminggu berlalu, sampai pada
hari kelima belas pun, tak ada tanda-tanda Jibril datang untuk menyampaikan
wahyu. Dengan kejadian ini, kaum Quraisy pun menjadi yakin bahwa Muhammad
hanyalah seorang gila yang ingin menyampaikan agama baru yang tidak jelas.
Tentu saja hal ini membuat Nabi Muhammad bersedih.
Tak
lama setelah itu, akhirnya Jibril pun datang menyampaikan wahyu, seraya menegur
nabi untuk tidak memastikan sesuatu di masa akan datang kecuali atas izin
Allah, atau jika Allah menghendaki (Insya Allah). Atas pertanyaan delegasi
Quraisy tersebut, turunlah ayat perihal pemuda-pemuda pada zaman dahulu (QS.
al-Kahfi [18]: 9-26), tentang seorang pengembara (QS. al-Kahfi [18]: 83-101),
serta tentang ruh (QS. al-Israa’ [17]: 85).
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ
الْعِلْمِۙ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Betapa
Sakralnya Kalimat Insya Allah
Sungguh
sangat disayangkan, penggunaan kalimat yang begitu sarat makna ini dewasa ini
jauh dari makna yang sebenarnya. Banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan
yang tidak bertanggung jawab. Bahkan dalam praktik, kita pun kadang tidak
menyadari melakukan penyimpangan dalam penggunaaannya.
Entah
kenapa kalimat insya Allah sekarang ini dijadikan tameng keeengganan kita untuk
tidak menepati janji. Kadang kalimat ini dijadikan legitimasi kemalasan kita
ketika ditagih janji. Seakan-akan kalimat ini begitu remeh dan bisa
dipermainkan begitu saja. Padahal dengan menggunakan kalimat ini, sama saja
kita bermain-main dengan nama Tuhan Sang Khaliq.
Pernah
suatu ketika, seseorang diminta untuk menghadiri suatu acara. Oleh orang yang
menerima undangan, dijawab dengan “Insya Allah, saya datang”. Namun,
dibalas dengan ucapan, “Jangan Insya Allah, saya ingin kepastian. Kedatangan
anda sangat diharapkan.” Inilah persepsi sesat yang telah beredar bak virus di
masyarakat pada umumnya. Kalimat ini menjadi simbolisasi ketidakpastian kita
dalam berjanji.
Di
lain kasus, seseorang berjanji tentang sesuatu. Ketika ditagih janji tersebut,
yang bersangkutan malah menjawab, “saya kan bilang Insya Allah…”.
Kalimat itu digunakan untuk menutupi keengganan kita melakukan sesuatu.
Sebegitu salahkah persepsi kita dalam memahami kalimat ini, sehingga orang
menjadi pesimis dan tak yakin ketika mendengar kalimat ini? Na’udzubillahi min
dzalik!
Seharusnya
kalimat ini dijadikan motivasi dan pendorong, agar kita melakukan pekerjaan
dengan sebaik-baiknya. Hal ini disebabkan, kita telah melibatkan Allah dalam
segala usaha yang kita buat. Dan pada akhirnya, Allah yang menentukan hasil
akhir dari usaha kita. Dalam surat al-Kahfi [18] ayat 23-24, telah dijelaskan
jangan sekali-kali kita mengatakan ‘akan kukerjakan ini besok’, kecuali dengan
menyebut ‘insya Allah’.
Epilog
Marilah
kita memperbaiki pemahaman masyarakat dalam pemakaian kalimat Insya Allah.
Jangan sampai generasi penerus kita semakin salah persepsi dalam penggunaannya.
Jangan pula kita merusak sendiri pemakaiannya dalam praktik keseharian kita.
Kalau misalnya di awal kita memang tidak bisa menepati sebuah janji, bukankah
lebih baik kita berkata terus terang. Katakan dengan sopan bahwa kita tidak
bisa memenuhi janji tersebut karena suatu sebab. Ingat, kalimat Insya Allah
bukan untuk mewakili kemalasan kita menghindari janji. Bukan pula untuk tidak
menepati janji sama sekali. Hal ini sama saja kita mengolok-olok Tuhan.
Jadikan
kalimat Insya Allah sebagai wujud kerendahan diri kita sebagai seorang manusia
yang tidak mempunyai daya. Namun, hal yang perlu kita tanamkan, kita harus
tetap berusaha memenuhi janji yang telah kita buat. Sehingga pada akhir usaha,
apabila tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka memang Allah belum
menghendaki atau Allah belum mengizinkan.
Wallâhu
a’lamu bi ash-shawâb.
Sumber
: https://febi.uin-antasari.ac.id/2023/01/kesakralan-kalimat-insyaallah/
0 Comments:
Posting Komentar