Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

MANUSIA YANG SUKA MENYEMBAH “HURUF”


Oleh: Jufri Bulian Ababil

Firman Allah SWT: Surat al-Hajj Ayat 11, “Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (harf); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat.”

Pada umumnya, ulama tafsir di Indonesia menerjemahkan kata harf pada ayat ini dengan makna tharf (berarti di tepi, di pinggir, dapat pula berarti kedipan mata). Sebenarnya, arti dari kata harf dalam bahasa lafazh al Qur’an, pada umumnya berbentuk kata kerja (fi’il), pada timbangan kata, harrafa-yuharrifu, yang kata asalnya adalah harafa, artinya, mengganti atau merubah.


Kata harf merupakan kata dasar (mashdar), yang berarti berganti atau berubah. Arti kata berubah atau berganti sebenarnya cukup nyambung dengan uraian perubahan suasana atau keadaan pada lanjutan ayat “… jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang”.

Ungkapan yang mutakhir mengenai ini, antara lain, kita sering mendengar istilah politik dan ekonomi, “Wait and see;” bisa juga dikaitkan dengan sikap pragmatis atau mencari kesempatan yang menguntungkan; bisa juga diistilahkan ”aji mumpung.” Ibarat pucuk eru, ke barat angin berhembus, ke barat dia. Angin berubah ke timur, ke timur pula dia.

Harf juga dapat bermakna sebuah huruf, jamaknya ahruf, artinya huruf-huruf. Dalam grammatika Arab, istilah harf dimaknai dengan tanda-tanda, simbol-simbol atau rambu-rambu yang memiliki fungsi mengubah baris di akhir kata (kalimah atau lafazh) dari baris sebelumnya, menjadi baris-baris lain. Misalnya, menggantinya atau mengubahnya menjadi baris kasrah (baris bawah, artinya barisan yang berpencar, yang berpecah, menyebar), atau baris fatah (barisan yang menaklukkan, memenangkan, membuka) atau baris sukun (barisan yang menduduki, menempati) pada suatu lafadz kata benda atau kata kerja.

Pada asalnya, dalam menentukan baris, biasanya, lafazh-lafazh itu berbaris dhammah (barisan yang menggumpal atau barisan mengepung), yang sering juga kita sebut dengan baris depan. Dalam ilmu nahwu misalnya, kita kenal harf jar, harfu nafi, harfu jazm, harf nida, harfu nasb dan lain-lain. Dengan demikian, harf juga dapat dikaitkan dengan perubahan dan pergantian strategi dan taktik dalam barisan pertempuran.

Puluhan ribu tahun lalu, jauh sebelum disusunnya ilmu fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik atau sub-sub ilmu linguistik (berbahasa) yang sudah menggunakan Aphabet Romawi, peradaban-peradaban kuno sudah mengenal cara berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Kita telah mengenal adanya peradaban Mesir Kuno, Armenia, Mesopotania-Babilonia, Yunani dan Romawi Kuno, Maya, Inca, Aztec dan sebagainya. Mereka sudah menggunakan bahasa tulisan berupa symbol-symbol dan huruf-huruf ukiran suci (hieroglif), huruf gambar (logograf), huruf paku (lambang) dan sebagainya.

Terbentuknya ilmu komunikasi juga diawali menggunakan bahasa tanda, isyarat, kode, kemudian berkembang menjadi bahasa bunyi suku kata (yang dituangkan ke dalam bentuk gambar ukiran), sampai selanjutya disederhanakan menjadi lambang-lambang (silabis), yang akhirnya berkembang menjadi huruf berikut penyebutan bunyi-bunyinya.

Kita dapat menemukan huruf ya’ (bahasa Arab), ada kesamaan dengan Yod (bahasa Ibrani), Yudha (bahasa Sanskrit) adalah symbol yang melambangkan tangan (bahasa Arabnya yad, artinya tangan). Kita juga menemukan huruf sin (bahasa Arab), sen (bahasa Ibrani) yang awal ditemukannya merupakan gambar bersimbolkan gigi. Kita pun menemukan huruf kaf (bahasa Arab) pada Kappha (bahasa Yunani), huruf yang bertandakan telapak tangan. Kita pun mengenal huruf ‘ain yang berasal dari symbol mata (‘ayin dalam bahasa Semitik, eye dalam bahasa Inggris).

Ada huruf alif ada pula lambang alpha, ada huruf ba’ ada pula lambang Beta; ada huruf ta’ pun ada lambang theta; ada huruf dal sepadan lambang delta; ada ghain maka ada gamma; ada pun ra’ semisal lambang rho dalam alpabet Yunani. Dengan demikian, kita dapat menemukan banyak persamaan atau kedekatan “bunyi” sebuah huruf, menunjukkan adanya sejarah yang bermuara pada satu sumber bahasa, yakni alam semesta dan diri manusia.

Dalam bahasa fisika (ilmu eksakta pada umumnya) misalnya, simbol-simbol yang menggambarkan filosofis-logis-teoritis, kemudian disebut rumus, yang penyusunannya juga berangkat dari adanya persamaan-persamaan yang diubah ke dalam bentuk huruf, angka atau symbol. Sementara, dalam bahasa pemrograman komputer, algoritma misalnya (seperti bahasa Visual Basic dan Android) kita juga masih mengenal bahasa kode (coding) yang masih tetap menggunakan simbol, baik di balik tampilan, dalam fungsi, maupun di dalam perintah dan penanda prosesnya. Artinya, serumit apapun masalah bahasa, semestinya tetap dapat diuraikan. Ini terbukti dari kemampuan para arkeolog memecahkan masalah naskah-naskah kuno yang bahasanya tidak dikenal, melalui metode substitusi.

Bahasa, sebagai alat berkomunikasi, tetap memiliki rasa, jiwa, bahkan ruh yang sama, yakni sama-sama dilahirkan dari ibu yang sama, yakni ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah yang terbentang luas pada alam semesta dan pada diri manusia baik fisik maupun psikis. Di alam makro, khususnya terkait dengan ilmu astronomi, kita mengenal planet-planet dengan orbitnya; ada juga asteroid yang bebas dari obitnya; ada sistem tata surya; ada sistem galaksi, ada sistem solar, hingga sistem universe (jagat raya). Di alam mikro, kita pula sudah mengenal sekumpulan quark yang membentuk hadron, yang terdiri dari proton dan neutron yang di sekelilingnya sentiasa berputar sebanyak kelipatan 8 elektron atau 7 (jika ada 1 yang terlepas), yang mengorbit pada orbital-orbital berlapis-lapis (konfigurasi) hingga lapisan terluar (biasanya 4 lapis, sesuai tingkatan energi); ditambah partikel neutrino yang bebas tanpa orbital. Inilah partikel-partikel atom yang membentuk unsur, membentuk sel, membentuk molekul, membentuk senyawa, membentuk jaringan, membentuk organ hingga membentuk tubuh manusia.

Dalam ilmu biologi, khususnya terkait anatomi dan fisilogi kita mengenal sistem panca indera, sistem metabolisme, sistem pernafasan, sistem transportasi, sistem keluaran, hingga sistem tulang belulang. Sementara dalam ilmu thariqat-tasauf, kita pula mengenal istilah-istilah seperti fisik eterik, qashr, hissiyah atau perasaan (emosi), kesadaran fisik (shadr), thabi’at (mental), ‘aql (pikiran) dan qolb (hati), fuad (cerdas), syaghof (rindu), intuisi (lubb), sirr hingga irfan (kebijaksaan) dan istilah lain yang sejenis, yang merujuk pada bagian-bagian, rongga-rongga atau relung-relung lain yang terdapat dalam diri kita, yang sebaiknya perlu kita kenali satu demi satu. Firman Allah Qur’an Surah al Fusshilat (41) ayat 52: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Lafazh ayaat (tanda-tanda) pada ayat ini dapat dimaknai sangat luas; dapat dimaknai dengan fenomena, simbol, lambang, huruf-huruf, kata-kata, rambu-rambu, sinyal, frekwensi, isyarat, gerakan-gerakan, gambar-gambar, logo-logo, yel-yel, slogan-slogan, teks-teks, code, perilaku-perilaku, pola, rumusan bahkan karakteristik-karakterisrik dinamis yang melekat pada sesuatu yang dapat didefinisikan, meskipun kemudian berubah bentuk atau berganti wujud. Lalu apa hubungannya dengan judul kita, “menyembah (pada) huruf?” Sudah tentulah ada hubungannya.

Selama ini, kita seringkali memvonis orang-orang di masa lalu yang menyembah patung-patung, sebagai penyembah berhala, sebagai kafir dan musyrik. Padahal, dalam wujud modern dan posmodernnya, wujud berhala-berhala yang kita maksudkan di masa lalu itu, boleh jadi telah berganti wujud menjadi ‘berhala-berhala’ dalam bentuk lain; yang barangkali, atau jangan-jangan, kita pun di masa kini sedang menyembah ‘berhala-berhala bentuk baru itu’; meskipun memang, tidak dalam bentuk patung, batu-batu atau pohon-pohon, dsb.; sehingga boleh jadi, manusia-manusia yang kelak hidup di masa depan, kemudian memvonis kita yang hidup saat ini sebagai manusia yang jahiliyah (bodoh), sama halnya kita membodoh-bodohkan manusia yang hidup di masa lalu.

Hakikat berhala bukan pada wujud simbol atau lambang atau nama, melainkan pada ajaran atau tradisi yang berkembang di balik adanya wujud suatu penandaan itu. Kita pernah mendengar nama-nama Lata, Uzza, Manata, Hubal di zaman Jahiliyah yang disembah orang kafir Quraisy. Itu bukan nama patung, tapi nama-nama manusia terkenal, manusia terkemuka yang dianggap baik, dianggap panutian, yang hidup beberapa generasi sebelum mereka; yang pada masa itu, mereka ingin mengenangnya lewat sarana, berupa tanda-tanda yang dapat dikenali bersama, “Oh, ini tanda, mengenang si Fulan, ajarannya begini, yang ini si Fulan, dia ini begini, yang diajarkannya bla, bla, bla…”.

Apalagi, memang, pada masa itu, perkembangan teknologi dokumentasinya, masih berupa patung-patung, belum ada tukang sablon, belum ada percetakan. Istilah berhala ini pula, banyak juga dikaitkan dengan istilah ajaran atau paham paganism.

Secara seremonial (ritual), pengakuan orang-orang jahiliyah terhadap Allah sebagai Sang Pencipta, juga sama saja dengan penganut dien hanif (Millah Ibrahim), penganut ajaran Nabi-Nabi yang tidak mau menyembah berhala di masa itu, tetapi kehidupan spiritual mereka sudah banyak dipengaruhi mitologi Yunani dan mistisisme Yahudi (Qabbalah). Walaupun mereka sama-sama pergi haji (ziarah) ke Mekkah setiap tahun.

Lha! Jadi, apa bedanya menyembah lambang dengan menyembah ajaran? Jawabnya, tidak ada. Sebab sembah berarti taat. Taat pada yang diajarkan, taat pada yang diwariskan dari generasi ke generasi. Taat berarti patuh, tunduk, tidak nyinyir, tidak ngeyel, tidak mencla-mencle, tidak neko-neko. “Tidak tongkar, tidak gingging,” kata orang Tanjungbalai. Taat dengan ketaataan yang murni, ketaatan yang mu’tabarah, ketaatan yang bersanad dengan silsilah yang terpercaya, sebagaimana bersanadnya hadits-hadist yang dapat dijadikan hujjah; ketaatan yang disertai suhbah (bersahabat, akrab), takzhim (memuliakan), takhdiem (melayani) dengan kehalusan budi serta ketinggian adab; ketaatan yang tidak sebatas seremonial (upacara) dan peringatan; ketaatan yang tidak ditutupi lagi dengan topeng-topeng kemunafikan atau aksesoris-aksesoris yang mempercantik kepalsuan; ketaatan yang dibangun dari silaturahmi, bertemu lutut merendah diri, saling memeriksa batin, saling memperbaiki hati, saling berwasiat pada sabar dan kesejatian. Itulah ketaatan para murabit (yang saling mengikat batin) atau ketaatan para muwahhid (yang saling mempersatukan hati dan jiwa).

Kesimpulannya, beribadah membutuhkan sarana. Tetapi, sarana bukan Sembahan. Aktifitas ‘menyembah’ adalah seluruh bagian dari hidup, semua perbuatan manusia sepanjang hidupnya. Ibadah bukan hanya soal nilai, tapi juga soal keterhubungan (connecting) kesadaran dan hidupnya hati, sehingga terjadi komunikasi tanpa henti antara yang dicipta dengan Sang Pemilik Kesadaran Yang Menciptakan Tanda-Tanda; antara yang membaca huruf-huruf (sebagai sarana) dengan Yang Maha Menunjuki.

Sebagai contoh, saat adanya penderitaan atau musibah, kita tidak perlu terjebak dalam kesedihan atau ketakutan, sebab penderitaan dan musibah adalah sarana yang dikirimkan oleh as Shobur (Yang Maha Pemberi Kesabaran) agar kita bersabar, sehingga Allah bersama kita dan bersholawat (terhubung) kepada kita serta menyayangi kita dengan rahmat Nya.

Contohnya lagi, ketika adanya nikmat dan kemudahan, kita tidak perlu terjebak dalam kegembiraan atau merasa nyaman yang berlebihan hingga lupa diri, sebab nikmat-nikmat itu hanya semata-mata tanda keberadaan as Syakur (Yang Maha Menerima Syukur) yang sedang mengirimkan keadaan itu agar kita bersyukur kepada NYA dan berterima kasih kepada sesama manusia yang menjadi perantaranya, asbabnya.

Iblis yang terlaknat adalah salah satu contoh makhluk yang terjebak pada huruf (simbol atau lambang), saat ia terperangkap pada sarana, yakni ia menjadikan asal penciptaan dirinya sebagai alasan menolak sujud kepada Adam. Alasannya, ia dicipta dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Lalu ia enggan. Ia tak mau taat ketika ia diperintah untuk sujud. Padahal, tujuannya bukan soal “sujud kepada siapa,” melainkan Siapa Yang Memerintahkannya untuk sujud. Tanah dan api hanya sarana, bukan yang layak untuk disujudi, di balik sarana itu ada perintah dari yang menciptakan sarana.

Begitulah. Ibarat sebuah penelitian, kita seringkali terjebak pada mengkritik metodologi, padahal kita terkadang kurang memahami atau sama sekali tidak paham kerangka teoritis-filosofisnya. Kita seringkali terjebak memikirkan instrumen, sarana atau alat (qawaid), padahal kita sama sekali tidak mempertimbangkan maqashid (overall goal)nya. Kita sering kali terjebak pada rumus (misalnya, substitusi atau eliminasi), padahal kita tidak melihat persamaan-persamaan logisnya.

Jelaslah, ibadah adalah semua aktifitas dalam menjalani hidup; ibadah adalah tujuan penciptaan, yakni untuk mengenal Perbendaharaan Tersembunyi Yang Maha Pencipta, lalu menyembah Nya. Jelaslah pula, makna menyembah itu bukan sebagai pelayan atau hamba pada sarana, tapi kita melayani dan menghambakan diri dengan menggunakan ‘sarana-sarana’ untuk mendekatkan kita kepada Yang Mengirimkan Sarana, baik sarana itu berupa mudharat (bahaya) mau pun manfaat. Sebab sejatinya, kita sadar Dia lah an Nafi (Maha Pemberi Manfaat)’, Dia pulalah ad-Dharr (Maha Pemberi Bahaya). Manfaat dan bahaya pun termasuk sarana menyembah Nya.

Semoga kita tidak termasuk di antara orang-orang yang masih terjebak, berkutat, atau terperangkap pada menyembah huruf (symbol, lambang, tanda, teks, dsb; yang semuanya hanya sarana, bukan Tujuan). Semoga kita dimudahkan keluar dari berbagai hijab (pembatas, penutup) yang menghalangi kita dari membaca pengertian (teks kitab al Qur’an), sehingga sampailah kita pada pengetahuan dan makna, lantas menyampaikan kita pada pengajaran (‘ibrah), lalu sampailah kita kepada lautan ilmu dan hikmah; sehingga kita dimudahkan mengenali yang dicipta untuk mengenali Yang Disembah (Ilah/Ma’bud/ Eli), Dzat Yang Maha Awal dan Akhir, Perbendaharaan Yang Tersembunyi yang telah menciptakan makhluk sebagai sarana untuk memperkenalkan Diri Nya. Sarana-sarana yang menjadi tanda-tanda di balik Ketersembunyian Nya, wajah Awal dan Akhir Nya itu terbentang di berbagai penjuru di alam semesta dan di dalam lapisan-lapisan spirit kita. Wallahu ‘a’lam.

Copas : FB Abah Jufri

0 Comments:

Posting Komentar