Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

KENYANGKAN DULU BARU DIAJAK BERFIKIR


Oleh : Rendy Saputra

Kembali saya maju mundur mau nulis ini. Jam 00.17 WITA. Akhirnya saya mulai menulis. Semoga keheningan malam ini membawa pencerahan.
Saya berhati-hati sekali. Bener-bener hati-hati. Tidak ada satupun status saya sebelum ini tentang Staffsus Presiden yang kontroversial. Yang satu dari fintech, yang nyuratin semua camat. Yang kedua kerjasama platform pelatihan sama pemerintah. 5,6T.
Saya hati-hati, karena brand millenial yang mereka bawa itu jangan sampai akhirnya memojokkan generasi kita, "Tuh kan, yang muda sama aja."
Padahal praktek begitu lebih parah lagi terjadi di penyerapan anggaran belanja negara. Bagi-bagi jatah proyek di Badan Anggaran ke fraksi-fraksi yang ada. Fakta pahit yang sungguh brutal. Bedah aja itu 2000T lebih. Cara negara belanja seperti apa. Akan keliatan lagi parah-parahnya.
Tapi oke lah. Saya ijin berpendapat. Tanpa tendensi apa-apa. Saya sangka baik para stafsus millenial maksud dan tujuannya baik, namun secara ethic mungkin publik gak bisa terima. Nanti kita bahas detail.
*****

Tulisan saya kali ini lebih menyoroti cara negara mensubsidi lapis Pra Kerja. Yang katanya bakal dapat sekian juta rupiah itu. Dan semua berharap.
Benar saja. Diluncurkan programnya. Saya dalam hati sudah seneng, alhamdulillah, ada lapis generasi yang bakal dapat bantuan langsung. Karena saya termasuk mazhab basic income guarantee. Saya seneng kalo segmen masyarakat yang susah disubsidi aja. Cash langsung.
Lalu mulailah diberitahu mekanisme pencairannya. Ternyata di-bundling dengan pelatihan. Gak semuanya cash. Nyesek. Berasa kayak program tepu-tepu. Berasa kayak di PHP. Beneran.
3,55 juta itu. 1 juta bantuan akses program pelatihan online gratis. 2,4 jutanya cash, 600 rb x 4 bulan. Dan insentif 150 rb. Ini juga entah apa semua pengangguran mau daftar, dan apakah sosialisasinya cukup, karena harus verifikasi. Dan 2,4 juta itu entah gimana lagi cara cairnya. Cash beneran atau program lagi. Wallahualam.
Lalu saya baca thread tentang apa pelatihannya. Basisnya online. Video. Pake platform.
Saya pemain edukasi digital juga. Cost nya teramat ringan untuk sekedar take video dari trainer. Lalu direkam. Lalu diakses. Gak live dua arah kan itu pelatihan?
Oke lah ada host, server. Bandwith, ya paling berapa? Tetiba ketemu angka 5,6 T untuk pelatihan online. Dan pelatihannya saya simak judul-judulnya lebih ke internet marketing. Bikin copywriting. Public speaking. Hmmm..
Khawatirnya di youtube mah udah banyak. Atau mending begituan mah gratis aja. Serahkan pada anak2 IMERS, bakal dibuatin yang bagus.
Negara bantu blast email aja, ke link pelatihan gratis para IMERS. Asli pada mau. Dapat database mereka.
Saya faham. Niat pemerintah bagus. Jangan dikasih cash, nanti manja. Jangan dikasih bantuan langsung, gak mendidik.
Hmmm..
Disini letak fundamental yang harus kita bahas.
*****
Di printscreen yang saya sertakan di postingan ini, adalah sesi TEDtalk Rutger Bregman. Topiknya sangar : "Poverty isn't a lack of knowledge, it's a lack of cash".
Saya sarankan nonton tayangan beliau. Di aplikasi TED ada sub indonya. Paksain nonton setelah membaca postingan ini. Di Youtube juga ada.
Baik, kita lanjut.
Inti penyampaian Rutger ini, masyarakat miskin itu selalu bolak balik ambil keputusan hidup yang salah karena memang memory RAM berfikirnya habis sama tekanan hidup.
Ketika orang mau makan susah, mau berteduh gak bisa, besok bingung harus gimana, maka relatif manusia kehilangan ketenangan, stress dan reaktif.
Buktinya, di area pemukiman padat, para rentenir bunga 20% per bulan kebanjiran nasabah. Masyarakat miskin akhirnya ngutang untuk dapat 500rb sd 1 juta buat makan dan lanjutin tempat tinggal, bayar sewa kontrakan.
Ya itu terjadi karena gak bisa mikir lagi mereka. Hantam aja apa yang ada didepan mata. Pokoknya dapat cash. Bisa makan.
Maka teori dari Rutger, masyarakat yang kekurangan harus diberi jaminan penghasilan dasar oleh negara. Agar bisa makan dan berteduh.
Rutger ngejelasin data ilmiah, bahwa pernah dilakukan di Kanada. Lalu distop. Dan di cek saat kebijakan tersebut diterapkan, produktifitas naik, masyarakat bertumbuh. Gak ada tuh istilah jadi males.
Waktu saya ke Perth juga ternyata Austalia juga pake kebijakan yang sama untuk warga negaranya. Khusus citizen, permanent residence gak dapet.
Ketika Anda warga negara Australia, masuk usia produktif, dan gak punya penghasilan, Anda akan dapat settlement fee dari negara. Sekian ribu AUD. Detailnya saya lupa. Monggo kalo ada yang tahu.
Itu mengapa WNI yang melahirkan anak disana, pada saat anaknya usia 17 tahun, anaknya lebih memilih menjadi citizen Aussie. Gak bakalan mau jadi WNI. Gak ada untung-untungnya. He he he.
Lanjut ya...
Konsep ini yang seharusnya kita berani terapkan.
Jadi ngerasa dosa udah sangka buruk sama Pak SBY saat zaman beliau banyak BLT. Bantuan Langsung Tunai. Bagaimana pun itu langkah berani yang patut diapresiasi. Walau gak cukup sih. BLT nya kekecilan.
*****

Begitulah konsep zakat dalam Islam. Output dari Zakat itu adalah memastikan masyarakat gak mampu untuk hidup dalam standard kecukupan dasar. Kebutuhan dasarnya terpenuhi. Maka pola tarikan zakat dalam pemerintahan Islam ya dipaksa. Karena itu hak penerima zakat. Dan penyalurannya rigid ke 8 golongan penerima.
Islam itu pro Basic Income Guarantee.
Ngerti sih, kalo di Indonesia, dikasih cash malah beli rokok, bisa jadi malah judi. Ngerti.
Oke lah, kasih yang lain. Konvert bantuannya ke beras, fasilitas pemukiman gratis sementara, dan bentuk jaminan kebutuhan dasar lainnya.
Intinya harus berani jamin kebutuhan dasar.
Kenapa? Karena dengan terjaminnya kebutuhan dasar, seseoang bisa berfikir tenang dan akhirnya bisa mengambil keputusan yang benar didalam hidupnya. Termasuk belajar dan bertumbuh.
*****
Bahasannya saya dalamin ya: Gerakan Infaq Beras nya Kiyai Luqmanulhakim Ashabul Yamin pernah dikomenin. Kenapa ngasih beras ke pondok-pondok yatim penghafal Al Quran, nanti pondok jadi manja. Kiyainya jadi gak kerja.
Kenyataannya, begitu beras sudah tercukupi, kiyainya tenang, jadi bisa mikir ke nanam lombok, bikin empang, bangun peternakan. Karena beras sudah aman.
Tantangan pondok gratisan itu beras. Beras itu sudah kayak nyawanya santri. Gak ada beras, kiyai pusing 7 keliling. Makanya kami support beras. Hampir 500 ton per bulan. Ke ribuan pondok se Indonesia.
Begitu juga Berkah Box, kenapa kok bantuanya bagi-bagi nasi box. Ngasih makan. Apa gak manja nantinya? Malah malas kerja?
Konsep kami, kenyangkan dulu. Baru ajak bicara. Perutnya dijamin dulu, baru bicara pelatihan, baru bicara pertumbuhan karakter.
Ini orang miskin akut dikasih pelatihan bikin roti. Dikasih oven sama terigu. Ya habis lah. Terigunya dimakan, ovennya dijual. Mana bisa segmen miskin akut harus nunggu putaran cash dari jualan roti. Lagian jualnya gimana juga, gak ada outletnya.
Masyarakat miskin akut dikasih modal ternak sapi. Itu sapi cashflow setahun sekali pas qurban. Ya dijual lah si anakan sapinya ke tetangga yang lain. Gagal pemberdayaan. Mereka setiap hari butuh makan.
Mau ngasih pelatihan karakter ke orang yang lagi lapar. Gimana mau masuk kedalam hati dan kepala? Kenyangkan dulu perutnya, baru ajak belajar. InsyaAllah nyambung.
Belajarlah dari NU. Organisasi besar negeri ini. Setiap pengajian ada nasi berkat, kenduri, makan-makan. Itu SOP ulama: kenyangkan dulu ummat, baru ajak ngobrol.
Hari ini kita harus sadar, akses pendidikan gak fair ke semua lapis anak bangsa. Akses informasi juga demikian. Akses nutrisi bergizi apalagi.
Maka janganlah kita berteori : "salah sendiri miskin, males sih, gak tekun sih, bodoh sih, pengangguran sih."
Gini aja, coba aja tukar tempat, Anda sama segmen miskin itu.
Sorry ya... Mungkin gak semua.
Kita yang hari ini bisa ngenyam pendidikan tinggi, bisa berpenghasilan, itu kenapa?
Relatif lahir dari keluarga cukup bahkan kaya.
Relatif hidup dalam cukup bahkan lebih.
Relatif kita taqdirnya hidup di lingkungan yang mendukung.
Maka janganlah terlalu liberal melihat persaingan hidup, bahwa yang miskin biarlah miskin. Itu konsekuensi. Yang kaya ya memang wajar berhasil karena berkarya.
Ck ck ck... Pemikiran ini yang jadi biang runtuhnya kehidupan manusia.
*****

Tau gak Amerika hari ini kerepotan sama covid. Dari sahabat di US WA ke saya, terjadi sangat parah di daerah black people. Daerah slum. Daerah minus di amerika.
Konsep liberal Amerika jelas. Miskin ya miskin lah. Nasib setiap warga diserahkan pada mekanisme alam saja. Negara gak intervensi sama sekali.
Begitu ada wabah, meledak masalah. Bagaimana pun satu negara ini ekosistem terkait. Kalo yang miskin anda gak proteksi dengan kecukupan, ujungnya bisa balik merusak.
Kita di Indonesia mungkin sebagian mikir yang sama. "Udahlah, ngapain ngurusin orang miskin, yang penting nyelamatin diri sendiri, bisa idup, miskin ya miskin aja."
Oke... Kalo cuek begini... Suatu saat kemiskinan ini mencekik, kriminalitas naik, kemalingan dimana-mana, siapa yang rugi?
Suatu saat kesulitan sudah mendalam, akhirnya terjadi penjarahan dan chaos, siapa yang rugi? Yang Kaya pun susah mau keluar rumah, logistik terganggu, mau di rumah pun deg deg an. Yang rugi kita semua, karena kita berada dalam satu ekosistem yang saling kait mengait.
So kawan-kawan, bismillah... Tolong kembali peduli sama sekitarnya.
Oke lah negara gak bisa jamin basic need faqir miskin, setidaknya kita secara swadaya, ngejaga orang-orang terdekat kita untuk tetap bisa makan. Siapa tahu... Dengan melakukan tugas apa yang seharusnya dilakukan oleh negara, Allah azza wa jalla menyerahkan pengelolaan negara ini kepada kita.
**********

Mohon maaf jika saya membombardir dinding Anda dengan tulisan tentang Kartu Prakerja dan itu mengganggu kenyamanan Anda. Maaf sekali lagi. Namun, saya hanya ingin menyampaikan pandangan saya menyangkut sesuatu hal yang penting dan menyangkut hajat masyarakat.
Malam ini bisa jadi upaya terakhir. Soalnya pemerintah bergeming. Program Prakerja tetap jalan dengan format yang tidak berubah seperti saya jelaskan pada status sebelumnya. Pendaftaran Gelombang I telah ditutup. Hasil seleksi diumumkan hari ini. Invoice akan segera meluncur. Artinya, waktu pencairan uang semakin dekat. Menko Perekonomian, kemarin, mengklaim, secara statistik, antusiasme masyarakat terhadap program Kartu Prakerja sangat besar. Hingga Kamis (16/4), 5.923.350 sudah mendaftar.
‘Antusias’ artinya bergairah, bersemangat. Sekarang situasi sedang sulit. Ada orang tua (kita anggap pemerintah adalah orang tua yang melindungi kita) menawarkan program yang nilai manfaatnya Rp3,5 juta/orang untuk 5,6 juta penerima. Secara manusiawi, tentu kita tersenyum lebar. Jangankan disuruh mendaftar, diminta mengecat langit pun orang antusias saat ini. Terbayang ada dana yang bisa dipakai untuk menyambung hidup. Apalagi bagi yang terkena PHK. Tapi, fakta harus disampaikan, meskipun perih. Antusiasme bisa turun bebas menjadi kekecewaan. Kecewa kadang dibawa hingga kubur. Banyak contohnya di Diary Misteri Sara.
Kartu Prakerja sudah kita dengar jauh hari sebelum korona datang. Sejak kampanye pilpres, sudah ada. Artinya, ini program yang bukan ‘khusus’ disiapkan untuk mengantisipasi korona. Di sini kita bicara tentang iktikad kebijakan. Sejauh mana suatu kebijakan diniatkan untuk menguntungkan sebanyak-banyaknya kepentingan masyarakat. Saya kutip wawancara Katadata dengan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari. Oh iya, Mbak Denni ini juga menjabat sebagai Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP).
“Insentif pasca-pelatihan yang awalnya kami desain nilainya cukup kecil, sekarang menjadi besar.”
Artinya adalah memang sejak awal alokasi dana terbesar adalah untuk pelatihan. Siapa pelaksananya? Platform digital dan lembaga pelatihan. Apakah dengan demikian masyarakat harus berterima kasih karena korona sehingga alokasinya menjadi dibalik? Miris ya.
Jika sudah direncanakan sejak sebelum ada korona, seharusnya pengadaannya juga dilakukan mengikuti aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Misal melalui tender dan sejenisnya. Apalagi nilai proyek ini besar: Rp20 triliun. Tapi korona datang (contohnya saya di Jakarta ‘diisolasi’ sejak 16 Maret 2020). Keluar Perppu 1/2020 tanggal 31 Maret 2020. Apakah dengan adanya Perppu itu situasi menjadi darurat dan karena kedaruratan itu diperbolehkan untuk tidak menggunakan aturan pengadaan barang dan jasa seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan?
Sekilas terdengar masuk akal untuk mengatakan, “Boleh. Karena darurat. Ada Perppu-nya.” Tapi tunggu sejenak. Ada dua peraturan yang nyelonong mendahului Perppu itu: Peraturan Menko Perekonomian 3/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja yang terbit 27 Maret 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan 25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja yang ditetapkan 24 Maret 2020. Artinya apa? Semua sudah ‘rapi disusun’ sebelum darurat korona.
Apa yang sudah ‘rapi disusun’ itu? Salah satunya dan yang paling penting adalah sudah dipilih 8 platform digital (Tokopedia, Skill Academy by Ruangguru, Maubelajarapa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Sisnaker) dan 198 lembaga pelatihan yang akan terlibat dalam program Prakerja. Jika biaya pelatihan per orang dialokasikan Rp1 juta dan terdapat 5,6 juta penerima berarti total biaya pelatihan adalah Rp5,6 triliun, yang jika dibagi 8 platform digital maka setiap platform akan mendapat Rp700 miliar, yang kemudian dibagi lagi kepada 198 lembaga pelatihan itu. Bagaimana cara baginya? Saya kutip wawancara CNBC dengan Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky, sebagai berikut:
“Rp1 juta untuk bantuan pelatihan dari pemerintah ke lembaga pelatihan. Nah, tapi lembaga pelatihan ini menawarkan jasanya via 8 platform digital. Antara mereka, kalau ada persetujuan KOMERSIL, itu antara mereka, bukan kami. Jadi apakah fee atau apa, kami tidak bayar fee. Kami hanya bayarkan bantuan pelatihan kepada si peserta. Kalau lembaga pelatihan kemudian bayar KOMISI ke marketplace, itu di luar kami.”
Yah, bolehlah kita bersyukur bisa ikut/sempat dengar ada pembicaraan gurih tentang KOMISI. Persoalan kecipratan atau tidak, urusan lain. Prinsip kita sebagai kroco mumet adalah partnership: kita berpartner, mereka yang sip!
Lantas, mengapa semua program itu seperti bisa berjalan mulus? Karena ada dasar hukumnya. Saya rinci berdasarkan aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menko Perekonomian di atas:
Kubur mimpi Anda untuk pegang uang tunai dari Kartu Prakerja. Yang Anda terima adalah dalam bentuk SALDO NONTUNAI pada platform digital (Gopay, OVO dkk). Tidak dapat diubah dalam bentuk uang tunai. Jika Anda mengikuti pelatihan dan ternyata biayanya lebih besar dari Rp1 juta (misal Anda ternyata kecanduan pelatihan) bisa dilakukan penambahan saldo yang berasal dari DANA PRIBADI, pemerintah daerah, manajemen pelaksana prakerja (dengan syarat ambil pelatihan lagi dengan keahlian khusus), dan donatur (perseorangan, badan usaha, lembaga sosial).
Pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBN ini tanpa tender. Dasarnya hanya PERJANJIAN KERJA SAMA antara Manajemen Pelaksana dengan platform digital. Catat, Manajemen Pelaksana itu statusnya hanya UNIT (PMK 25/2020). Suatu unit bisa mengeluarkan dana APBN triliunan. Hanya ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana dan penanggung jawab platform digital. Perjanjian kerja sama itu jangka waktunya paling lama 2 tahun dan dapat dilakukan perpanjangan. Bisa lihat salinan perjanjian kerja samanya? Susah. Cuma pihak-pihak itu yang pegang.
Platform digital itu menyalurkan pembayaran biaya pelatihan kepada Lembaga Pelatihan. Ini yang sedap: Platform digital diperbolehkan MENGAMBIL KOMISI JASA yang wajar dari lembaga pelatihan yang melakukan kerja sama. Itu syarat sebuah lembaga pelatihan bisa ditetapkan sebagai lembaga pelatihan program kartu prakerja. Besaran KOMISI JASA diatur dalam Perjanjian Kerja Sama antara platform digital dan lembaga pelatihan dan disetujui manajemen pelaksana. Bisa lihat perjanjiannya? Sulit. Cuma pihak-pihak itu yang pegang.
Dana Kartu Prakerja itu bukan cuma biaya pelatihan dan insentif. Ada juga pos biaya operasional pendukung Program Kartu Prakerja. Ada rekening induk untuk menampung dana kartu prakerja (di bank umum yang ditunjuk) dan rekening virtual untuk menampung dana penerima kartu prakerja (di platform digital). Nanti dilakukan pemindahbukuan dana biaya pelatihan dari rekening virtual ke REKENING PLATFORM DIGITAL. Selamat, dananya sudah numpang lewat. Tapi kan Anda bisa nonton video pelatihan.
Jika pada poin sebelumnya Anda dapat nonton video pelatihan, sekarang Anda isi survei evaluasi dulu baru duit bisa cair. Namanya dana insentif pengisian survei evaluasi (jadi Anda memberikan rating begitulah kepada platform digital). Tapi numpang lewat juga karena langsung dibayarkan/pindah buku dari rekening virtual atas nama Anda di platform digital ke rekening platform digital.
Dana berikutnya adalah insentif biaya mencari kerja dicairkan dengan mekanisme overbooking. Bahasanya tinggi, tapi intinya numpang lewat juga, karena dibayarkan ke platform digital juga yang kemudian meneruskan ke lembaga pelatihan.
Dana insentif yang Rp600 ribu/bulan selama 4 bulan (dibayarkan bulanan bukan semua di depan) diparkir di e-wallet. Providernya sudah ada: Gopay, LinkAja, OVO, dsb. Syarat dapat dana insentif ini adalah harus ikut pelatihan. Anda daftar terus sengaja tidak ikut pelatihan, tahun depan dicoret sebagai penerima. Duitnya mau dipakai apa saja, terserah: bayar parkir, naik ojek, pesan makanan, belanja online, pijat, potong rambut...
Pendeknya begini: kita daftar, kita seleksi, kita terpilih, kita nonton video pelatihan, kita isi survei/kasih rating, kita dapat Rp600 ribu/bulan di saldo Gopay/OVO dll. Jadi total kita dapat Rp2,4 juta (4 bulan), mereka Rp1 juta (kita tutup mata lah bagi-baginya bagaimana). Terlihat ‘wajar’ ya sekilas. Tapi kita Rp14,2 triliun untuk 5,6 juta orang; mereka Rp5,6 triliun untuk 8 platform digital dan 198 lembaga pelatihan.
Rp14,2 triliun adalah (insentif pasca-pelatihan Rp2,4 juta selama 4 bulan x 5,6 juta penerima) + (insentif evaluasi dan survei Rp150 ribu x 5,6 juta orang). Rp5,6 triliun adalah biaya pelatihan Rp1 juta x 5,6 juta orang.
RALAT: masukan dari pemirsa yang setelah saya cek dan ricek, benar adanya: 1) Insentif pasca-pelatihan Rp600 ribu ditransfer ke saldo e-wallet (Gopay, OVO, dsb) setelah selesai pelatihan dan memberikan rating untuk platform digital; 2) Insentif Rp150 ribu ditransfer ke saldo e-wallet juga dalam 3 tahap yaitu bulan kesatu, bulan ketiga, bulan keenam @Rp50 ribu. Syaratnya memberikan masukan dan evaluasi dengan menjawab beberapa pertanyaan tentang keseluruhan program Prakerja. Hitungan di paragraf atas saya ubah.
Pilihannya cuma dua: 1) Ikut/tidak ikut; 2) Batalkan Peraturan Menterinya supaya kartu dikocok ulang dulu, program di-pending, urusan Rp6,4 triliun dibereskan dulu.
Demokrasi 4.0 memang canggih. Bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar pelatihan online.

0 Comments:

Posting Komentar