Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

SUMBU FILOSOFI HERITAGE TRACK

 



Oleh : Agus Subagya

 

Yogyakarta memiliki kawasan Sumbu Filosofis yang merupakan warisan budaya tak ternilai. Kawasan Sumbu Filosofis bukan hanya menyimpan kisah sejarah, tapi juga filosofi kehidupan yang tinggi. Sangkan Paraning Dumadi, proses kehidupan manusia dari lahir hingga kembali kepada Sang Pencipta. Saat ini pemerintah Daaerah Istimewa Yogyakarta sedang disibukkan dengan upaya menjadikan Sumbu Filosofi Yogyakarta yakni "Sangkan Paraning Dumadi" sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.

 

Kamis 16 Juni 2022 Jam 14.00, saya selaku Bamuskal (BPD) Panggungharjo dari Keterwakilan Wilayah Glugo, yang berbatasan langsung dengan salah satu elemen Sumbu Filosofi Panggung Krapyak, diundang untuk mengikuti Uji Coba Heritage Track Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta tersebut. Dengan mengendarai minibus khusus, yang didesain karoseri secara khusus dari kerangka mobil ELF Long Chasis, berisi 7 penumpang, 1 pemandu, sopir dan kernet di bagian depan.

 



Berangkat dari Kantor Dinas Kebudayaan DIY, ke arah utara menuju Tugu, kemudian berjalan lurus ke selatan hingga ke Museum Sonobudoyo di Alun-Alun Utara. Kemudian belok ke utara lagi sampai titik 0, kemudian belok kiri arah Stasiun Ngabean, belok kiri hingga Pojok Beteng Kulon. Kemudian beok kiri menyusuri Jl Pugeran hingga ke Plengkung Gading, kemudian belok kanan hingga ke Panggung Krapyak.

 

Peserta program Heritage Track diajak berkeliling kawasan Sumbu Filosofis ditemani oleh guide. Sehingga, tidak hanya berkeliling guide juga akan menjelaskan sejarah dan kisah-kisah menarik dari setiap tempat yang dilewati. Jalur sepanjang sumbu filosofi ini disebut dengan rute sangkan paraning dumadi dengan jarak tempuh normal sekitar 1,5 jam.

 

Sepanjang perjalanan, kita bisa mendapatkan penjelasan tentang heritage yang dilewati, tidak hanya terhibur tetapi juga teredukasi. Selain menikmati perjalanan dengan bus yang sangat nyaman ini, juga mengajak dan mengedukasi para wisatawan melalui edukator dengan pembawaan fun dan menarik mengenai tempat bersejarah dan kisah-kisah yang berada di kawasan Sumbu Filosofis Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Terdapat perbedaan antara sumbu imajiner dan sumbu filosofi di Yogyakata. Sumbu imajiner membentang dari Laut Selatan menuju Kraton dan berujung di Gunung Merapi, sedangkan Sumbu Filosofi bermula dari Panggung Krapyak kemudian menuju Kraton, dilanjutkan dari Tugu menuju Kraton. Sumbu Imajiner lebih berkonotasi mitos bahkan mistis, serta berpangkal pada alam (Gunung Merapi dan Laut Selatan). Sedangkan Sumbu Filosofi lebih bernuansa karya, pemikiran dan budaya manusia.

 


Sumbu Filosofi Yogyakarta berupa bangunan dan vegetasi, merupakan warisan Pangeran Mangkubumi, yang mengandung nilai spiritual dan budaya dengan mengusung alkulturasi antara agama Islam dan kearifan Jawa. Konsep sangkan paran, sejatinya merupakan filsafat dasar manusia sebelum ia mengenal segala sesuatu, menjalani hidup, dan saat dia meninggal dunia nanti.

 

Sangkan Paraning Dumadi menjelaskan bahwa kita manusia pada hakikatnya akan berpulang ke rumah sejati. Secara bahasa, sangkan paraning dumadi artinya dari mana manusia berasal dan kemana tujuan akhir dari manusia.

 

Dalam konteks wilayah kekuasaan, keberadaan Kraton Yogyakarta memenuhi unsur "ada, mengada, dan berada" yang bermula dari ide atau gagasan Pangeran Mangkubumi. Pengertian ada merupakan kesadaran ideal awal mula adanya suatu wilayah mandiri. Kraton Yogyakarta lahir dari kesadaran filosofis makrokosmos yakni poros gunung-laut.

 

Gunung Merapi sebagai simbol laki-laki di mana saat memuntahkan material lahar melalui sungai meluncur menuju Laut Selatan sebagai simbol perempuan yang kemudian bergolak melahirkan Kraton Yogyakarta. Filosofi makrokosmos kemudian menjadi pemandu kesadaran mengada dari Kraton Yogyakarta. Kesadaran filosofis Sangkan Paraning Dumadi kemudian dipahami melalui proses peleburan cakrawala (fusion of horizon) Pangeran Mangkubumi dari ajaran Islam dan filsafat Hindu dan paham Jawa, dipakai sebagai landasan filosofis arsitektur Kraton Yogyakarta dan sekitarnya yang kemudian menjadi Kota Yogyakarta.

 

Sumbu filosofi Kota Yogyakarta berada dalam kerangka kosmologi sumbu imajiner Gunung Merapi-Kraton-Laut Selatan. Kraton Yogyakarta sebagai cikal bakal Kota Yogyakarta dibangun berdasarkan keselarasan antara makro-kosmos dan mikro-kosmos. Sumbu imajiner Gunung Merapi-Kraton-Laut Selatan menggambarkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan sesama manusia (hablun minannas) serta hubungan manusia dengan alam dengan lima anasir yakni api (dari Gunung Merapi), tanah (dari bumi Ngayogyakarta), air (dari laut Selatan), angin dan eter. Setiap komponen keselarasan tersebut berada dalam satu gambaran sumbu kelanggengan.

 

Sumbu Filosofi terdiri atas dua penggal, pertama berupa sumbu Sangkaning Dumadi atau inna lillahi yang melambangkan perjalanan manusia dari kelahiran hingga berumah tangga, membentang dari Panggung Krapyak menuju Kraton. Penggal kedua adalah sumbu Paraning Dumadi yang membentang dari Tugu Pal Putih menuju Kraton yang melambangkan perjalanan kembalinya manusia kepada Sang Khaliq atau inna ilaihi roji’un.

 


Secara simbolik Panggung Krapyak adalah bagian awal dari tiga titik sumbu filosofi “Sangkan Paraning Dumadi” yakni Panggung Krapyak-Kraton-Tugu Pal Putih. Panggung Krapyak menggambarkan Yoni, alat kemaluan wanita, sedangkan kelamin pria dilambangkan sebagai Tugu Pal Putih. Pertemuan antara Tugu dan Panggung Krapyak menghasikan janin, dan kemudian Tuhan menghembuskan ruh ke dalam janin maka jadilah diri manusia.

 

Konsep filosofis Sangkan Paraning Dumadi termanifestasi dalam arsitektur Kraton Yogyakarta dan sekitarnya yang terdiri atas bangunan, lapangan dan vegetasi melalui nama dan fungsinya. Konsep filosofis tersebut tidak hanya dimengerti dalam ranah kognitif saja namun juga direspi oleh bathin dan mewujud dalam bangun bangunan dan ruang yang bersentuhan langsung dengan manusia (masyarakat). Dengan itu maka proses internalisasi konsep Sangkan Paraning Dumadi menjadi lebih nyata dan melekat oleh karena menyatu dalam prakis kehidupan sehari-hari.

 

Bangunan Panggung Krapyak bentuknya agak unik yaitu bangunan mirip kastil setinggi sepuluh meter, terletak sekitar dua kilometer selatan Kraton. Di antara Panggung Krapyak hingga Kraton terdapat beberapa titik lambang pertumbuhan manusia yang meliputi: Kampung Mijen, Pohon Asem Jawa, Pohon Tanjung, Pelengkung Nirboyo, Alun-alun Kidul, Pohon Kweni, Pohon Pakel, Siti Hinggil Kidul, Regol Kamadhungan, Halaman dan Bangsal Kamadhungan Kidul, Regol Gadhung Mlati, Dapur Gebulen dan Sekullanggen, Halaman dan Bangsal Kamagangan, Regol Kamagangan dan Halaman Kedhaton.

 

Kata mijen pada kampung Mijen, artinya benih yang dikandung dalam rahim seorang ibu, sebagai bukti atas makna simbolik Panggung Krapyak. Sepanjang Kampung Mijen ditanami pohon Asem Jawa dan pohon Tanjung. Pohon Asem Jawa melambangkan anak yang menarik (nengsemake), anak yang senantiasa menyenangkan kedua orang tuanya. Daun asem yang masih muda dinamakan sinom diibaratkan sebagai gadis yang masih muda (anom) membangkitkan rasa suka (kesengsem) bagi lawan jenisnya. Sedangkan pohon Tanjung melambangkan seorang anak atau remaja yang disanjung-sanjung karena berbudi pekerti luhur.

 

Plengkung Nirbaya (Plengkung Gadhing) merupakan plengkung Pungkuran (belakang) dari tata ruang Kraton. Makna filosofis dari Plengkung Nirbaya adalah jenazah Sultan yang meninggal dan melewati plengkung bermakna sudah lepas bebas dari godaan duniawi, menuju Tuhan, sudah nirbaya yakni terlepas dari mara bahaya apapun. Selanjutnya Alun-Alun Kidul (Selatan) dengan lima jalan yang mengitarinya bermakna keberadaan lima panca indra manusia. Di sekitar Alun-Alun Kidul juga ditanami pohon Kweni dan Pakel.

 

Secara keseluruhan Alun-Alun Kidul merupakan simbol tumbuhnya gairah seksual. Pohon pakel menandakan anak yang memasuki usia akil balig yang kemudian dikhitan, sementara pohon Kweni melambangkan pemuda yang wani (berani). Pohon Pakel hanya bisa dimakan kalau sudah matang dan kalau masih mentah sangat bergetah. Ini melambangkan seorang yang dewasa perlu mempunyai pertimbangan yang matang dalam hidupnya.

 

Pada intinya, keseluruhan titik-titik “Sangkaning Dumadi” mengandung makna perjalanan dari jabang bayi tumbuh menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa, menikah dan berkeluarga, di mana masing-masing tahap mengandung perilaku yang baik.

 


Kemudian penggal Paraning Dumadi yang disimbulkan mulai Tugu Pal Putih menuju Kraton, mengandung pengertian perjalanan manusia setelah mencapai kedewasaan, berumah tangga kemudian menjadi orang tua, secara pelan tapi pasti mengalami penuaan dan akhirnya meninggal dunia. Adapun titik-titik diantara kedua tempat tersebut juga mengandung pelajaran yang meliputi: Jalan Margautama, Jalan Malioboro, Kepatihan, Pasar Beringharjo, Jalan Panguraan, Gapura Gladag, Gapura Panguraan, Bangsal Panguraan, Alun-alun Utara, Pohon Beringin, Pagelaran.

 

Jalan Marga Utama membujur dari Tugu ke teteg Kereta Api. Margautama berarti jalan keutamaan yang mengandung makna manusia perlu memahami nilai keutamaan dalam hidupnya dan berupaya sebisa mungkin melaksanakannya. Jalan Malioboro bermula dari teteg kereta api hingga perempatan toko Terang Bulan, bermakna manusia pada dasarnya merupakan Wali yang mengembara, mengikuti jalan kearifan Wali, yakni menerangi kehidupan.

 

Kemudian adanya Kepatihan dan Pasar Beringharjo mencerminkan godaan manusia akan kekuasaan dan harta benda. Gapura Pangurakan simbolisasi bahwa pada tahap ini manusia harus dapat melepaskan tabiat buruknya untuk kemudian menemukan kemuliaan.

 

Urutan Sumbu Filosofi selanjutnya adalah Alun-alun Utara, Pagelaran, Siti Hinggil, Kemandhungan, Sri manganti dan akhirnya bermuara di Kraton sebagai simbol wilayah skaral dan alam keabadian, Innailahi wa innailaihi rojiun.

 

Jumlah empat Pojok Beteng Kraton Yogyakarta merupakan perwujudan empat dasar perjuangan Mangkubumi dalam menggerakkan semangat rakyat melawan Kompeni yakni Sawiji, Greget, Sengguh dan Ora Mingkuh.

 


Kraton Yogyakarta terdiri atas banyak komponen-komponen fisik yang merupakan manifestasi pemikiran filosofis, sakral bahkan mistis. Sebagai contoh dalam bangunan Sitihinggil terdapat beberapa tingkat kesakralan antara Bangsal Sitihinggil, Bangsal Manguntur Takil dan Bangsal Witana. Tratag Sitihinggil yang yang ada pada bagian paling tepi keskralannya paling rendah, sedangkan Bangsal Witana yang letaknya di tengah memiliki kesakralan paling tinggi.

 

Adanya tingkat-tingkat kesakralan juga terdapat pada komponen lain di Kraton seperti Bangsal Pagelaran, Bangsan Pancaniti dan Bangsal Kencana. Kesakralan suatu ruang atau bangunan ditentukan oleh hubungannya dengan proses ritual dan intensitas keberadaan Sultan di tempat tersebut.

 

Panggung Krapyak yang eksistensinya sebagai kelengkapan kota sejak mula masih eksis dan terawat dengan baik. Kompleks Kraton relatif tidak mengalami perubahan dari aspek fungsi dan penataan elemen-elemen di dalamnya tetap terjaga sebagaimana keberadaan di awalnya. Secara prinsip antara Panggung Krapyak dan Kraton yang merupakan simbol Sangkaning Dumadi masih konsisten terjaga dari saat dibangun hingga kini.

 

Begitu pula jalan lurus dari Tugu ke Kraton sebagai manifestasi Paraning Dumadi tetap eksis dan menjadi poros utama Kota Yogyakarta. Jalan Margautama, Jalan Malioaboro dan Jalan Margamulya serta Jalan Pangurakan praktis tidak berubah kecuali lebar dan kehalusannya.

 


Secara umum, perjalanan wisata Sumbu Filosofi Heritage ini sudah lengkap. Sebagai koreksi dan tambahan, masih ada kekurangan informasi dari pemandu yang belum mengeksplore dan mengungkapkan "Kawasan Panggung Krapyak" secara lengkap, yaitu:

1. Benteng Keliling Panggung Krapyak

2. Kolam Umbul Krapyak

3. Legenda Segaran Krapyak.

 

Semoga untuk selanjutnya akan dibenahi dan ditambahkan, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian wisata Heritage Sumbu Filosofi.

 

0 Comments:

Posting Komentar