By : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono
Mungkin ada yang heran bertanya, kenapa saya begitu keras
terhadap perilaku lesbianism,
gay, bisexual and transexualism (LGBT). Saya
seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun ruang toleransi bagi
pengidapnya.
Mungkin saya perlu klarifikasi bahwa saya tidak sedang
bicara tentang pelaku, orang dan oknum. Terhadap
oknum, orang dan pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang,
berempati, merangkul dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara
tentang sebuah perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang sebuah gaya hidup menyimpang
yang menjangkiti sekelompok orang. Karena
saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN !!!
Ya, saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN: ORGANIZED
CRIME yang secara sistematis dan massif sedang menularkan sebuah penyakit !!! Sekali lagi, bagi saya ini bukan
semata perilaku partikular, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata
sebuah gaya hidup, tapi sebuah harakah: MOVEMENT !!!
Terlalu paranoid kah
kesimpulan ini ??? Saya telah mengumpulkan begitu banyak kesaksian di kampus-kampus
tentang mahasiswa-mahasiswa normal kita yang dipenetrasi secara massif agar
terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya. Perilaku mereka sangat persis seperti sebuah sekte, kultus atau
gerakan-gerakan eksklusif lainnya: fanatik, eksklusif, penetratif dan
indoktrinatif. Ya, ini telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.
Kenapa mereka perlu menjadi sebuah gerakan? Karena target
mereka tak main-main: mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara
legal. Dan untuk itu mereka
membutuhkan beberapa prasyarat:
Pertama, jumlah mereka harus signifikan secara statistik,
sehingga layak untuk mengubah asumsi, taksonomi dan kategorisasi.
Kedua, keberadaan mereka telah memenuhi persyaratan
populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas.
Ketiga, perilaku mereka telah diterima secara normatif
menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO.
Untuk memenuhi ketiga hal ini, maka organisasi ini harus
mampu menularkan penyimpangannya secara eksponensial kepada lingkungannya. Mereka
telah mempelajari hal itu dari keberhasilan “perjuangan” saudara-saudara mereka
di Amerika Serikat. Mereka sadar,
pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat
mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan. Mereka
sadar, tanpa penularan mereka akan punah !!!
Kenapa harus menyasar mahasiswa? Sebenarnya yang ingin
mereka sasar ada dua : Pertama, mahasiswa; dan yang kedua, institusi akademik. Mereka
menyasar mahasiswa, karena mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan
kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat kost. Sedangkan institusi
akademik perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah
atas “kenormalan” mereka.
Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM
dan institusi internasional. Per 1 Januari 2015, tercatat ada 17 negara yang
undang-undangnya telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Dan akan menyusul belasan negara lain. Trend dukungan atas perkawinan sesama
jenis terus bertambah.
Silahkan tanya ke politisi negeri ini, apakah mereka akan
melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia? Sekarang sih saya yakin
jawabannya: TIDAK. Tapi 20-30 tahun
lagi, tergantung situasinya. Jika itu
membuat mereka terpilih, akan banyak politisi yang bersedia menyetujuinya. Saya
tidak berlebihan. Itu rasional sekali. Silahkan
cek di negara-negara lain.
Tahun 1950, tidak ada satupun negara yang melegalkan
perkawinan ini, tapi dunia berubah sangat cepat, kelompok pendukung kebebasan
semakin besar, kelompok yang tidak peduli, “I don’t care” semakin banyak, sistem demokrasi
mempercepat legalisasi perkawinan sesama jenis. Syah. Atas nama kebebasan.
Semua agama melarang perkawinan sesama jenis. Tapi demokrasi tidak mengenal kitab suci. Kalian tahu, bahkan homo kelas berat,
masih santai pergi ke tempat-tempat ibadah... Mereka hanya mengenal suara terbanyak.
Saya kasih contoh Brazil, Mei 2011 mereka melegalkan
perkawinan sesama jenis. Apakah orang
Brazil tidak beragama? 90% penduduk
mereka beragama, lantas apakah tidak ada disana yang keberatan dengan
legalisasi ini? Jawabannya sederhana:
mayoritas tutup mata. “I don’t care”.
Urus saja (urusan) masing-masing. Saya tidak mau recok. kamu jangan rese. Yang sesama cowok mau ciuman di tempat
umum pun, bodo amat. Toh, mereka tidak mengganggu saya.
Dulu, Brazil itu sangat religius. Lantas kenapa sekarang
jadi berubah sekali? Bagaimana
mungkin politisi mereka meloloskan UU itu? Apakah rakyatnya tidak keberatan? Itulah
kemenangan besar paham kebebasan. Mereka masuk lewat tontonan, bacaan,
menumpang lewat kehidupan glamor para pesohor. Masyarakat dibiasakan melihat
sesuatu yang sebenarnya mengikis kehadiran agama. Awalnya jengah, lama-lama
terbiasa, untuk kemudian apa salahnya?
Di sisi lain, eksistensi agama dipertanyakan. Tuh lihat, toh
yang beragama juga bejat, tuh lihat, mereka juga menjijikkan... perkataan yang menyesatkan. Fobia agama dibentuk secara sistematis, dimulai dari pemeluknya
sendiri, untuk kemudian, orang-orang dalam posisi gamang, mulai mengangguk,
benar juga. Orang-orang jadi malas
mendengarkan nasehat agama, buat apa? Urus sajalah urusan masing-masing...😰
Rumus ini berlaku sama di seluruh dunia. Apapun agamanya. Bahkan termasuk dalam kasus, tidak ada
agama di suatu tempat, hanya ada nilai-nilai luhur yang pasti juga akan melarang pernikahan sesama jenis. Fasenya sama
persis. Strateginya juga sama. Dekatkan
mereka dengan materialisme dunia, jauhkan mereka dari agama, jauhkan dr
nilai-nilai luhur. Gunakan teknologi
untuk mempercepat prosesnya. Internet misalnya, itu efektif sekali menyebarkan
berita, propaganda, dan sebagainya.
Apakah Indonesia juga akan begitu? Silahkan tunggu 20-30
tahun lagi. Jika tidak ada yang
membangun benteng-benteng pemahaman bagi generasi berikutnya, tidak ada yang
membangun pertahanan tangguh, malah sibuk saling sikut berkuasa, sibuk berebut
urusan dunia, sibuk dengan urusan duniawinya, 20-30 tahun lagi, kita akan
menyaksikan pasangan cowok bermesraan di tempat-tempat umum. Tetangga
sebelah rumah kita adalah pasangan sesama jenis, dan mereka dilindungi oleh UU,
karena sudah dilegalkan.
Ketika masa itu tiba, kalian bisa kembali mengeduk catatan
ini. Pedulilah, hidup ini bukan cuma urusan pribadi masing-masing. Hidup ini tentang saling
menjaga,saling menasehati,saling meluruskan. Pedulilah, kawan, ikut menyebarkan
pemahaman baik, lindungi keluarga, teman, remaja, dan semua orang yang bisa
kita beritahu agar menjauhi perilaku melanggar aturan agama, nilai-nilai
kesusilaan.
0 Comments:
Posting Komentar