Sosok yang kita bicarakan ini adalah
ulama generasi tabi’ut tabi’in yang begitu banyak dinukil
nasehat-nasehat indah nan menggugah darinya. Hampir bisa dipastikan, jika kita
membaca kumpulan nasehat dari para ulama, selalu ada “quote” terselip yang
merupakan untaian nasehatnya. Karena itulah kemudian ulama ini digelari:
لقمان هذه الأمة
“Lukmanul Hakimnya umat ini...”[1]
Beliau adalah Abu Abdurrahman Hatim
ibn Alwan bin Yusuf rahimahullah, namun lebih dikenal dengan sebutan imam Hatim
al A’sham yang artinya Hatim si tuli.
Mengapa beliau sampai dilabeli
dengan sebutan tuli? Apakah memang pendengaran beliau terganggu sehingga
dijuluki seperti itu? Kan tidak sopan menyebut orang tuli meskipun ia tuli
beneran apalagi seorang ulama?
Tidak, julukan itu tidak ada
kaitannya dengan fungsi pendengaran beliau. Sang
imam memiliki pendengaran yang normal bahkan cenderung tajam, adapun julukan
tuli ini ada kisah yang melatar belakangi.
Dikisahkan bahwa pernah ada seorang
wanita datang kepada beliau untuk bertanya tentang sebuah hukum. Namun pada
saat wanita tersebut tengah mengutarakan pertanyaan kepada imam Hatim, entah
karena sedang tidak enak perut, tiba-tiba ia kentut.
Bisa kita bayangkan bagaimana rasa
malu yang begitu hebat membebani wanita ini. Seketika ia terdiam tidak bisa
meneruskan kata-katanya. Sejenak suasana hening. Tiba-tiba imam Hatim berkata,
“Bicaralah aku tidak mendengar ucapanmu.”
Wanita ini berbicara dengan nada
gamang karena beban malu yang ia tanggung. Namun baru beberapa kalimat, imam
Hatim kembali menyela, “Angkat suaramu
aku tidak bisa mendengar ucapanmu.”
Dan uniknya, ketika wanita ini mulai
mengeraskan suara. Tak lama imam Hatim menyela untuk menambah lagi volume
suaranya. Ini terjadi berkali-kali, hingga wanita tersebut mengira bahwa imam
Hatim ini terganggu pendengarannya.
Perasaannya pun berangsur-angsur
membaik dan ia bersyukur karena imam Hatim ternyata tidak mendengar suara saat
ia buang angin. Terbukti suara yang lebih keras saja, ia masih meminta untuk
dikeraskan lagi.
Singkat cerita, setelah lewat cara
berbicara yang setengah teriak-teriak, akhirnya wanita tersebut bisa keluar
dari rumah imam Hatim dengan membawa jawaban fatwa atas persoalannya. Wanita
ini dengan pedenya pergi dan mengira bahwa bunyi kentutnya memang tidak
didengar oleh imam Hatim.
Padahal tentu saja imam Hatim
mendengarnya. Bahkan bisa jadi juga mencium baunya. Tapi beliau memilih
berlagak tuli demi untuk tidak membuat malu seorang wanita tersebut.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa
hampir lima belas tahun lamanya beliau menutup rapat-rapat masalah itu
hingga wanita itu meninggal.[2]
Subhanallah. Bandingkan dengan perilaku kita, yang kadang gemar
mengendus-endus aib seorang muslim yang tersembunyi lalu menyebarkannya dengan
perasaan bangga. Innalillah...
Disebutkan bahwa imam Ahmad bin
Hanbal termasuk yang sangat mengagumi imam Hatim al Asham. Suatu hari datang
kepada sang imam lalu bertanya, "Ajarkan
kepadaku, bagaimana caranya anda terbebas dari manusia?”
Imam Hatim menjawab,
أن تعطيهم مالك، ولا تأخذ من مالهم، وتقضي حقوقهم،
ولا تستقضي أحدا حقك، وتحتمل مكروههم، ولا تكرههم على شيء، وليتك تسلم
“Caranya berikanlah mereka harta milikmu, dan jangan sekali-kali
mengharap harta mereka. Tunaikanlah hak-hak mereka, dan jangan engkau menuntut
hakmu dari mereka.
Hadapi gangguan
mereka dengan sabar, sebaliknya jangan pernah menyakiti mereka. Setelahnya baru
engkau dapat berharap bisa selamat dari manusia.”[3]
Diantara nasehat emas beliau adalah:
أربعة لا يعرف قدرها إلا أربعة: قدر الشباب لا
يعرفه إلا الشيوخ، وقدر العافية لا يعرفه إلا أهل البلاء، وقدر الصحة لا يعرفه إلا
المرضى، وقدر الحياة لا يعرفه إلا الموتى
“Ada empat hal yang tidak
diketahui hakikat besarnya nilainya kecuali oleh empat pihak: Masa muda, tidak
diketahui nilainya kecuali oleh orang yang sudah tua. Keselamatan, tidak
diketahui nilainya kecuali oleh orang yang tertimpa musibah. Kesehatan, tidak
diketahui nilainya kecuali oleh orang yang sedang sakit. Kehidupan, tidak
diketahui nilainya kecuali orang yang sudah mati.”[4]
مصيبة الدين أعظم من مصيبة الدنيا ولقد ماتت لي
ابنة فعزاني أكثر من عشرة آلاف وفاتتني صلاة الجماعة فلم يعزني أحد
“Musibah yang menimpa agama itu
lebih besar dari pada musibah yang menimpa dunia seseorang. Ketika aku
kehilangan putriku, yang menta’ziahiku lebih dari 10.000 orang, namun anehnya
ketika aku kehilangan jama’ah shalat shubuh tidak ada satupun yang
menta’ziahiku.”[5]
تعاهد نفسك في ثلاث مواضع، إذا عملت فاذكر نظر الله
تعالى عليك، وإذا تكلمت فانظر سمع الله منك، وإذا سكت فانظر علم الله فيك
“Komitmenlah kepada dirimu dalam
tiga keadaan: Jika engkau berbuat sesuatu, ingatlah bahwa Allah melihatmu. Jika
engkau berbicara Allah mendengarmu. Dan ketika engkau diam Allah mengetahui apa
yang ada pada dirimu.”[6]
Beliau juga berkata,
“Siapa yang mengambil rezeki yang halal dari dunia, maka Allah akan menghisabnya.
Dan siapa yang mengambil rezeki yang haram maka Allah akan mengadzabnya. Dunia
ini halalnya hisab (perhitungan) , haramnya adzab (Siksa)”.
[1] Wafayatul A’yan (2/28)
[2] Siyar A’lam Nubala (11/486- 487)
[3] Tarikh al Baghdadi (9/149)
[4] Tanbighul Ghafilin hal. 39
[5] Mufid al Ulul hal.390
[6] Hilyatul Auliya (8/75)
Sumber : FB Hamdi Akhsan
0 Comments:
Posting Komentar