Syekh Said al-Kamali, seorang ulama
muda dari Maroko, menuturkan sebuah kisah nyata. Ada seorang gadis kecil yang
setiap hari disuruh ayahnya untuk pergi ke kuttab (semacam Taman
Pendidikan Al-Quran) guna menghafal al-Quran. Seperti kebanyakan anak-anak
seusianya, ia merasa kesal dan mendongkol menuruti perintah sang ayah. Apalagi
ia melihat sebagian teman-teman seumurnya bisa bermain dengan bebas tanpa beban
seperti dirinya.
Sang ayah menangkap kekesalan itu dari sikap puterinya. Tapi ia
tetap pada pendiriannya, menyuruh puterinya setiap hari pergi ke kuttab. Sempat
terbersit rasa iba. Ingin membiarkan puteri tersayangnya menikmati masa
kecilnya seperti teman-temannya. Tapi ia sudah punya rencana dan mimpi besar
untuk sang puteri. Ibarat minum obat, biarlah sekarang terasa pahit dan getir,
semoga besok terasa manis dan sehat.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun.
Sang puteri sekarang sudah menjadi seorang dosen di salah satu universitas
unggulan. Karir akademisnya semakin naik dan sangat menjanjikan. Ia bahkan
mampu bersaing dengan dosen-dosen yang lebih senior.
Suatu hari sang ayah yang sudah tua bertanya kepada puterinya
tercinta. “Nak, apakah kamu dulu menyesal ayah suruh pergi ke kuttab, memakai
jilbab, selektif dalam bergaul, ini boleh ini tidak boleh?”
Dengan mata berkaca-kaca, sang puteri berkata, “Sama sekali tidak,
ayah. Justeru aku sangat bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada ayah.
Kalau dulu ayah tidak menyuruhku pergi ke kuttab sehingga aku bisa hafal
al-Quran dalam usia relatif muda, menjaga pergaulan dengan baik, patuh pada
aturan yang ayah buat, dan seterusnya, bisa jadi saat ini aku tidak seberhasil
ini. Banyak temanku yang dulu menghabiskan waktu untuk bermain dan
berhura-hura, sekarang nasib mereka sangat memprihatinkan. Ada yang jadi
pengangguran, ada yang dapat pekerjaan ‘seadanya’, ada yang gagal dalam
kehidupan rumah tangga dan lain-lain.”
Sang puteri mengecup kening ayahnya dan berkata, “Terimakasih atas
obat yang pahit dulu ayah. Sekarang aku bisa merasakan manis dan sehatnya.”
Masa depan seorang anak sangat ditentukan oleh bagaimana didikan
yang ditanamkan kepadanya hari ini. Kita setuju tidak ada pemaksaan dalam
masalah berpakaian. Tapi apakah itu artinya kita membiarkan mereka berpakaian
apa saja sesuai kemauan mereka? Apa gunanya pendidikan kalau begitu? Dimana
fungsinya seorang pendidik kalau pada akhirnya semua diserahkan pada kemauan
peserta didik?
Kalau seorang anak enggan minum obat karena pahit, apakah seorang
orang tua kita akan mengatakan, “Ya sudah, kalau begitu tidak usah diminum,
yang penting kamu senang…”.
Yang dilakukan oleh banyak lembaga pendidikan terhadap peserta
didiknya, pada hakikatnya, adalah PEMBIASAAN, bukan PEMAKSAAN. Kalau pun
ada sangsi, itu hanyalah sebagai instrumen penguat dan penegas agar PEMBIASAAN
itu menjadi KEBIASAAN.
Coba tanya pada orang-orang dewasa saat ini. Adakah mereka menyesal
ketika dulu disuruh oleh orang tua mereka untuk shalat, berpuasa, menutup
aurat, dan menjalankan perintah agama lainnya? Kalau disuruh pilih, apakah
mereka dulu memilih untuk diberi aturan oleh guru dan orang tua mereka atau
dibiarkan memilih sendiri apa yang mereka mau? Saya kira, sebagian besar orang
dewasa saat ini sangat bersyukur ditempa dan dididik oleh orang tua dan guru
mereka dulu, meski dengan cara yang keras atau bahkan sangat keras.
Wallahu'alam.
Copas: FB Hamdi Ahsan
0 Comments:
Posting Komentar