Oleh: Marwan Hadidi, S.Pdi.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du. Berikut ini
syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
“Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan
seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang
siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya,
maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
empat imam Ahli Hadits)
Syarh (Penjelasan)
Imam Bukhari menyebutkan hadits tentang niat ini
di awal kitab shahihnya sebagai mukadimah kitabnya, di sana tersirat bahwa
setiap amal yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia,
tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat. Al Mundzir
menyebutkan dari Ar Rabi’ bin Khutsaim, ia berkata, “Segala sesuatu yang tidak
diniatkan mencari keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla, maka akan sia-sia”.
Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak ada
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak, kaya dan
dalamnya faedah daripada hadits ini”.
Abdurrahman bin Mahdiy berkata, “Kalau seandainya
saya menyusun kitab yang terdiri dari beberapa bab, tentu saya jadikan hadits
Umar bin Al Khattab yang menjelaskan bahwa amal tergantung niat ada dalam
setiap bab”.
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits
tentang niat ini sepertiga Islam. Mengapa demikian? Menurut Imam Baihaqi,
karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota
badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal
tersebut dan yang paling utama.
Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri
di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
·
Pertama, hadits “innamal a’malu binniyat” (Sesungguhnya amal itu tergantung
dengan niat).
·
Kedua, hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa
yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu
tertolak).
·
Ketiga, hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan
yang haram itu jelas).”
Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu
amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang
didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat
penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat
yang paling bawah disebabkan karena niatnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membuatkan perumpamaan terhadap kaidah ini dengan hijrah; yaitu barang
siapa yang berhijrah dari negeri syirik mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada
di atas jalan Allah (fa hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan
memberikan balasan untuknya.
Sebaliknya, barangsiapa yang berhijrah dengan niat
untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala
apa-apa, bahkan jika ke arah maksiat, ia akan mendapatkan dosa.
Niat secara istilah adalah keinginan seseorang
untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan. Oleh karena itu,
tidak dibenarkan melafazkan niat, seperti ketika hendak shalat, hendak wudhu,
hendak mandi, dan sebagainya. Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki
dua makna:
1. Tamyiiz (pembeda), hal ini ada dua macam:
·
Pembeda
antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara shalat fardhu
dengan shalat sunnah, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa wajib dengan
puasa sunnah, dan seterusnya.
·
Pembeda
antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi karena hendak mendinginkan badan
dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk kesembuhan dengan
menahan diri karena puasa.
2. Qasd (meniatkan suatu amal “karena apa?” atau
“karena siapa?”)
Maksudnya apakah suatu amal ditujukan karena
mengharap wajah Allah Ta’ala saja (ikhlas) atau karena lainnya? Atau apakah ia
mengerjakannya karena Allah, dan karena lainnya juga atau tidak?
Hukum niat
Niat adalah syarat sahnya amal. Ibnu Hajar Al
‘Asqalaaniy berkata, “Para fuqaha (ahli fiqh) berselisih apakah niat itu rukun (masuk ke dalam
suatu perbuatan) ataukah hanya syarat (di luar suatu perbuatan)? Yang kuat
adalah bahwa menghadirkan niat di awal suatu perbuatan adalah rukun, sedangkan
istsh-hab hukm/menggandengkan dengan suatu perbuatan (tidak berniat yang lain
atau memutuskannya) adalah syarat.”
Pendapat ulama salaf tentang pentingnya niat
dan pentingnya mempelajari niat
Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat,
karena niat itu lebih sampai daripada amal”.
Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau
seandainya di antara fuqaha (ahli fiqh) ada yang kesibukannya hanya mengajarkan
kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan suatu amal dan hanya duduk
mengajarkan masalah niat saja”.
Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang
mempelajari niat sebagaimana kalian mempelajari amal”. Sebagaimana dikatakan
oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal, oleh
karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu dapat mengungguli orang-orang Khawarij (kelompok yang
keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir pelaku dosa besar) dalam
hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil akan menjadi besar
karena niatnya.
Sehingga dikatakan, “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq
dan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh
Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka karena niatnya”. Ibnu Hazm
mengatakan, “Niat itu rahasia suatu ibadah dan ruhnya”.
Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam “Amal itu tergantung niat?” Maksudnya adalah sahnya suatu amal dan sempurnanya
hanyalah tergantung benarnya niat. Oleh karena itu apabila niat itu benar dan ikhlas
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
maka akan sah pula suatu amal dan akan diterima dengan
izin Allah Ta’ala. Atau bisa juga maksudnya adalah baiknya suatu amal atau
buruknya, diterima atau ditolaknya, mubah atau haramnya tergantung niat.
Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam “Dan seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya?” Maksudnya adalah
seseorang mendapatkan pahala atau siksa terhadap amalnya tergantung niatnya,
apabila niatnya baik maka akan diberi pahala, sebaliknya jika tidak baik maka
akan mendapat siksa.
Beberapa faedah hadits tentang niat
·
Mengikhlaskan
amal karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam
yang menodai keikhlasan adalah cara pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Ta’ala
yang paling baik.
·
Syarat
diterimanya amal ada dua; ikhlas dan mutaaba’atur rasul (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Dalil bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas berdasarkan hadits
di atas, sedangkan dalil bahwa syarat yang kedua adalah harus sesuai sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan
(agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka dia tertolak (tidak
diterima).” (HR. Bukhari-Muslim)
·
Dari hadits
di atas kita ketahui, bahwa agar lurus dan diterimanya suatu amal dibutuhkan
batin dan zhahir yang baik. Batin akan menjadi baik dengan niat yang ikhlas,
dan zhahir akan menjadi baik dengan sesuai contoh atau ada perintah dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
·
Amal yang
kecil bisa menjadi besar karena niat yang benar, dan amal yang besar menjadi
kecil karena niat.
·
Perbuatan
maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi ketaatan meskipun niatnya baik.
Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya bisa membantu
orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia
berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi
ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan
yang mubah bukan yang haram.
·
Amal
dikatakan saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena Allah Subhaanahu
wa Ta’ala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh rahimahullah
ketika menafsirkan ayat berikut,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”(QS. Al Mulk:
2)
Maksudnya yang paling bersih dan paling benar.”
Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan
paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar
maka tidak diterima, dan apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima,
bersih adalah karena Allah, dan benar adalah di atas Sunnah.”
·
Sah atau
tidaknya suatu amal tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau
kurangnya juga tergantung niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah
ketaatan atau sebuah kemaksiatan karena niat.
·
Oleh karena
itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu ibadah karena riya’, maka akan
menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang berjihad dengan niat meninggikan
kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya. Barang siapa berjihad dengan niat
agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia tidak mendapatkan pahala mujahid fii
sabiilillah.
·
Niat
tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah
·
Dalam hadits
ini terdapat bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai mengulangi
wudhu’ atau shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan mengatakan
kepada mereka, ”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’ atau
shalatnya. Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’,
sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
·
Keutamaan hijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya. Hijrah artinya berpindah dari negeri kufur (negeri yang tampak semarak
syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti
azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke negeri Islam,
hukumnya ada dua:
Wajib, yaitu apabila
seseorang tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
Sunnah, yaitu apabila
seseorang bisa menegakkan agamanya.
Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى
تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijrah tidaklah terputus sampai tobat
terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai matahari terbit dari barat.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 7469)
Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam,
yaitu:
·
Berpindah
dari negeri syirk ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah.
·
Berpindah
dari negeri yang berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke Habasyah.
·
Meninggalkan
apa yang dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang muslim (yang paling utama) adalah
seseorang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya,
dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang
Allah.” (HR. Bukhari)
·
Banyaknya
maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang
melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan
shalatnya itu ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan
ketenteraman batin dan dada yang lapang.
·
Niat yang
baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah. Misalnya
ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada
dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain
tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan
dan kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan
menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu agar
bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain mengatakan,
“Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu, perbuatan yang biasa mereka
lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka
sebagai kebiasaan.”
Zaid Asy Syaamiy berkata, “Sesungguhnya saya suka
memiliki niat dalam segalanya meskipun dalam makan dan minum.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang
suka amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan
memberikan pahala kepada seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun
pada saat ia menyuap makanan.”
·
Apabila
seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia
misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid
agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan
terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam
dengan ayat berikut:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا
لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia
dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka
di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal
karena takut riya’
Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan
suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk,
sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya”. Maksudnya adalah
sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula
meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amal karena manusia adalah riya’
pula.”
Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada tujuan duniawi yang hendak
diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan keikhlasan. Misalnya,
·
Ketika
melakukan thaharah (bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga
berniat untuk membersihkan badan.
·
Puasa
disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
·
Menunaikan ibadah haji disamping untuk
beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau
untuk bertamasya.
Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang
benar itu adalah urusan dunia? Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam
hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang
niatnya itu disamping niat
berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan
ghanimah (harta rampasan perang).
Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini (hajji dan
perangnya) sah? Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal ini, mereka
berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ
الضَّالِّين
“Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat”.
Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ
قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ
الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ
الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ
السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا
مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أَنْتُمْ حُجَّاجٌ (احمد)
“Sesungguhnya kami ini orang yang suka
melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?” Ibnu Umar
menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf, kamu
melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun berkata,
“Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan
tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril turun
dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst.” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian adalah hujjaj
(orang-orang yang berhajji).” (HR. Pentahqiq Musnad Ahmad berkata,
“Isnadnya shahih.”)
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang
bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya
hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa.
Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan
sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa ada seorang yang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ
الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ
فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا
مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ
فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ* (ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم
2196(
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin
berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”,
orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan penjelasan
yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang
ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”,
sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga kalinya, namun Beliau
tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu Dawud dan
dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk
mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah?”
Jawab: “Caranya ialah, apabila ia tidak menaruh
perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal
ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila
sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Tidak boleh seseorang meninggalkan suatu amal
karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan, “Meninggalakan suatu amal
karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan
ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan
Fudhail bin ‘Iyadh tersebut, “Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh
lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia
telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan
suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena
manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau
syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’
juga.”
Masalah fiqh yang berkaitan dengan niat
Ishtish-haabun niyyah (menempelnya niat). Apa maksud istish-haabun niyyah?
Jawab: “Ishthish-haab secara bahasa artinya
menemani (mulaazamah), sedangkan menurut fuqaha adalah, “Menempelnya niat dalam
suatu amal dari mulai sampai selesai”. Istish-habun niyyah itu terbagi dua: Ishthish-hab
dzikr dan Ishthish-hab hukm.
Ishthish-hab dzikr misalnya seorang yang
beribadah tetap terus menghadirkan niatnya dari awal ibadahnya hingga selesai. Lalu apakah hal
ini wajib?
Jawab: Tidak, tidak wajib menghadirkan niat dari
awal sampai selesai karena akan membuat kesulitan orang yang beribadah, juga
karena seseorang tidak mampu untuk tidak memikirkan hal lain ketika beribadah. Oleh
karena itu, dianjurkan saja untuk menghadirkan niat dari mulai sampai selesai
namun tidak wajib.
Sedangkan ishthish-hab hukm yaitu seseorang berniat
untuk memasuki suatu amal ibadah dan tidak memutuskannya (membatalkannya) atau
mengerjakan hal yang bertentangan dengan yang diniatkannya, istish-hab hukm ini
adalah syarat sahnya amal.
Oleh karena itu, ia wajib melakukan hal itu dari mulai
sampai selesai (yakni tidak berniat melakukan ibadah yang lain).
Misalnya seseorang ingin shalat, ketika ia
bertakbir dan masuk ke dalam shalat, ia tidak boleh berniat untuk memutuskan
(membatalkan) shalatnya, apabila ia berniat untuk memutuskan shalatnya maka
batallah shalatnya itu. Contoh lain adalah seseorang yang berpuasa niatnya untuk beribadah
kepada Allah Tabaraka wa Ta’aala, lalu ia niatkan untuk memutuskan puasanya,
maka puasanya batal karena putusnya niat (tidak ishthish-hab hukm).
Memutuskan niat
Hukum memutuskan niat dirinci dalam ibadah-ibadah
berikut :
Shalat: Apabila seseorang berniat untuk keluar dari
shalat dengan memutuskan niatnya (seperti dengan berniat melakukan hal yang
lain) maka shalatnya batal sesuai kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh As
Suyuuthiy dan lain-lain.
Puasa: Apabila seseorang berniat keluar dari puasa
maka batallah puasanya menurut pendapat yang rajih dari pendapat Ahli Ilmu dan
pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama karena niat itu syarat dalam puasa
secara keseluruhan. Oleh karena itu, apabila diputuskan di tengah-tengahnya
(dengan berniat buka) sehingga sisa puasanya tidak di atas niat maka maka batal
puasanya itu. Jika batal sebagiannya maka seluruhnya (dari terbit fajar sampai
tenggelam matahari) ikut batal.
Nusuk (ibadah haji atau umrah): Apabila seseorang
berniat keluar dari nusuknya setelah memulai maka ia tidak boleh keluar dari
nusuknya kecuali setelah ditunaikan nusuknya itu atau dengan ber-tahallul
karena ih-shaar (terhalang), inilah yang dipegang jumhur ulama dan sebagai
pendapat yang rajih menurut kebanyakan ahli ilmu, berdasarkan dalil “Wa atimmul
hajja wal ‘umrata lillah” (artinya: sempurnakan haji dan umrah karena Allah).
Asy Sya’biy dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud
‘sempurnakanlah’ adalah sempurnakanlah haji dan umrah setelah memulai masuk ke
dalamnya (ihram), karena siapa saja yang sudah berihram untuk nusuk (naik haji
atau umrah) ia wajib meneruskan dan tidak boleh dibatalkan.”
Qalbun niyyah (mengubah niat dari ibadah yang
satu ke ibadah yang lain)
Kapankah seseorang boleh qalbun niyyah?
Jawab: Seseorang boleh qalbun niyyah karena ada
maslahat syar’i. Misalnya;
Dalam shalat: Seseorang bertakbir
dalam shalat fardhu dengan perkiraan bahwa waktunya sudah masuk, lalu ternyata
belum masuk, maka ia boleh mengubah niatnya dari shalat fardhu ke shalat
sunnah.
Seseorang bertakbir untuk shalat sendiri, kemudian
ada shalat jamaah yang ditegakkan, maka menurut pendapat yang shahih dari
pendapat ahli ilmu adalah ia mengubah niat shalat fardhu sendiri menjadi shalat
sunnah, lalu ia menyempurnakan shalat sunnahnya itu, kemudian ikut shalat
berjamaah.
Dalam haji: Seseorang berihram (berniat) haji ifrad (haji
saja) atau qiran (menggabung antara hajji dengan umrah) namun tidak membawa
hadyu (binatang sembelihan), iapun kemudian mengubah niatnya ke hajji tamattu’
maka ini boleh bahkan mustahab (dianjurkan), karena tamattu’ (mendahulukan
umrah baru haji) lebih utama daripada hajji qiran.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan niat menjadi
imam dan makmum
Hukum niat menjadi imam: Pendapat yang rajih dan shahih dari pendapat Ahli Ilmu adalah bahwa
niat menjadi imam itu bukanlah syarat sah shalat, baik shalat fardhu maupun
sunnah. Misalnya seorang shalat zhuhur sendiri lalu datang orang lain ikut
shalat bersamanya sebagai ma’mum maka shalatnya insya Allah adalah sah.
Contoh yang lain adalah seorang shalat sunnah lalu ada orang
lain yang ikut shalat bersamanya, maka boleh bagi orang lain untuk berma’mum
kepadanya dan ikut shalat bersamanya meskipun ia berniat di awal shalatnya
sendiri.
Hukum niat menjadi makmum: Lalu apa hukum
berniat menjadi ma’mum?
Jawab: Imam madzhab yang empat sepakat bahwa bagi
seseorang kalau hendak berma’mum harus berniat sebelum memasuki shalat.
Mengapa ma’mum harus berniat berma’mum sebelum
memasuki shalat bersama imam?
Jawabnya, “Karena berniat untuk mengikuti adalah
perbuatan lebih dari niat shalat sendiri, perbuatan lebih itu adalah mutaaba’ah
(mengikuti imam), juga karena ma’mum tidak melakukan perbuatan shalat kecuali
setelah dipimpin imam, oleh karenanya butuh berniat”.
Bermakmum pada orang yang shalat sunnah: Apa hukum orang yang
melakukan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang melakukan shalat sunnah?
Jawab: Hukumnya adalah boleh, sebagaimana Mu’adz
bin Jabal setelah shalat Isya di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu ia shalat lagi mengimami kaumnya (sebagaimana dalam riwayat Muslim),
shalat yang kedua yang dilakukan Mu’adz adalah sunnah sedangkan kaumnya
melakukan shalat fardhu di belakangnya.
Bermakmum pada orang yang shalat fardhu
Apabila seorang shalat fardhu bermakmum kepada
orang yang shalat fardhu, maka makmum yang shalat fardhu di belakangnya ada
tiga keadaan :
1.
Zhahir dan
bathin keduanya (imam dan makmum) sama.
2.
Zhahir
keduanya sama (seperti gerakannya) sedangkan batin keduanya berbeda.
3.
Zhahir dan
batinnya berbeda.
Zhahir disini maksudnya adalah hai-ah/sifat
(praktik atau gerakan shalat), sedangkan batin maksudnya adalah niatnya.
·
Contoh no. 1
adalah imam shalat ‘Ashar dan makmum juga shalat ‘Ashar maka keduanya; zhahir
dan bathinnya sama.
·
Contoh no. 2
adalah imam shalat ‘Ashar sedangkan makmum shalat Zhuhur, ini maksud zhahirnya
sama namun batin (niatnya) berbeda.
·
Contoh no. 3
imam shalat ‘Isya sedangkan makmum shalat Maghrib, inilah yang dimaksud berbeda
zhahir dan bathin.
Contoh no. 1 sudah sama-sama kita ketahui hukumnya
dengan jelas, lalu bagaimana dengan no. 2 dan 3?
Jawab: No. 2 dan 3 ini ada ikhtilaf di kalangan
para ulama, yang shahih dan rajih di antara pendapat itu adalah untuk no. 2 itu
boleh dilakukan meskipun imam dan makmum berbeda batinnya (niatnya) berdasarkan
hadits yang lalu. Adapun no. 3 tidak boleh dilakukan karena imam itu dijadikan
untuk diikuti.
Namun Syaikh Ibnu Baz dalam masalah ini
berpendapat ketika ia ditanya sebagai berikut:
“Terkadang ketika menjama’ antara Maghrib dan
‘Isya karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu imam
melakukan shalat ‘Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk
ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib,
lalu apa sikap yang harus mereka lakukan?”
Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat
ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahud dan doa lalu melakukan
salam bersama imam. Kemudian mereka melakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk
mencapai keutamaan jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu
wajib…dst.”.
Shalat sunnah dengan niat lebih dari satu
Shalat sunnah dengan niat lebih dari satu hukumnya
boleh. Misalnya seseorang shalat sunnah dengan niat shalat sunnah wudhu’,
shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunnah rawatib Zhuhur, maka tidak mengapa,
namun lebih utama dipisah.
Adapun untuk shalat fardhu, maka tidak bisa sambil
berniat shalat sunnah. Mukim bermakmum di belakang musafir.
Shalat orang yang mukim di belakang musafir,
apa hukumnya?
Jawab: “Para fuqaha sepakat bolehnya orang yang
mukim berma’mum kepada yang musafir sebagaimana dalam hadits bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bila datang ke Makkah, Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat dengan orang-orang sebanyak 2 rak’at (diqashar), setelah
selesai Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا
صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ * (مالك(
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat
kalian karena kami orang yang sedang safar.” (HR. Malik)
Catatan: Seorang musafir jika sebagai imam mengimami
orang-orang yang mukim hendaknya setelah shalat memberitahukan kepada ma’mumnya
agar menyempurnakan shalatnya.
Musafir bermakmum di belakang mukim
Apa hukum shalat orang musafir di belakang orang
yang mukim?
Jawab, “Para fuqaha sepakat bolehnya musafir
bermakmum kepada yang mukim, caranya si musafir ikut shalat 4 rakaat dengan
yang mukim, karena makmum diperintahkan mengikuti imam.”
Hal ini sebagaimana dalam riwayat Ahmad bahwa Ibnu
Abbas pernah ditanya oleh Musa bin Salamah,
إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا
أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ
تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ(احمد(
“Kami jika bersama kamu melakukan shalat empat
rakaat dan apabila kami pulang ke rumah, kami melakukan dua rakaat?” Ibnu Abbas
berkata, “Itu adalah Sunnah Abil Qaasim (sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam).” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45
Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul
Islam Li abhatsil Qur’an was Sunnah)
Syarhul Arba’in An Nawawiyyah (Sulaiman bin
Muhammad Al Luhaimid)
Mabahits Fin Niyyah (Shalih bin Muhammad Al
Ulyawi)
Catatan Kaki:
[1] Rukun artinya bagian dari suatu perbuatan dan jika
tidak dikerjakan maka tidak sah perbuatan itu, sedangkan syarat bukan bagian
dari suatu perbuatan. Kedua-duanya (rukun dan syarat) adalah penentu
sah-tidaknya suatu perbuatan.
[2] Misalnya seseorang hendak shalat, ketika ia
bertakbir dan masuk ke dalam shalat ia tidak boleh berniat untuk memutuskan
shalatnya, kalau berniat begitu maka batal shalatnya.
[3] Ikhlas artinya beramal karena mengharap keridhaan
Allah dan pahala-Nya.
[4] Pembahasan ini banyak merujuk kepada kutaib
“Mabaahits fin niyyah” oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Al ‘Ulyawiy.
[5] QS. Al Baqarah : 196
[6] Fatawa muhimmah tata’allaq bish shalaah hal. 96.
[7] Mungkin Syaikh Ibnu Baz meng-qiyas-kan dengan
shalat khauf –wallahu a’lam-
Penulis: Ustadz Marwan Hadidi S.Pdi.
Sumber: https://muslim.or.id/21418-hadits-tentang-niat.html
0 Comments:
Posting Komentar