Penulis: Iswara N Raditya
Gagasan
tentang zelfbestuur (pemerintahan sendiri) bagi rakyat Indonesia sudah
dicetuskan H.O.S. Tjokroaminoto sejak tiga dekade sebelum kemerdekaan RI. Diatas
podium Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 17-24 Juni 1916, Hadji Oemar Said
(H.O.S.) Tjokroaminoto berorasi dengan nada tinggi. Pemimpin Besar Sarekat
Islam ini berseru tentang ide kemerdekaan bagi bangsa Hindia (Indonesia).
Gagasan itu disebutnya dengan istilah zelfbestuur atau pemerintahan
sendiri.
“Orang
semakin lama semakin merasakan, baik di Nederland maupun di Hindia, bahwa zelfbestuur
sungguh diperlukan,” lantang Tjokroaminoto dihadapan ratusan peserta kongres
yang datang dari seluruh penjuru negeri.
“Orang
semakin lama semakin merasakan,” lanjutnya dengan berapi-api, “bahwa tidak
pantas lagi Hindia diperintah oleh negeri Belanda, bagaikan seorang tuan tanah
yang menguasai tanah-tanahnya!”
Tjokroaminoto
adalah orang Indonesia pertama yang dengan berani mencetuskan ide kemerdekaan,
atau setidaknya memunculkan wacana agar bahwa rakyat Indonesia sudah seharusnya
memiliki pemerintahan sendiri, tidak lagi menjadi jajahan Belanda atau
bangsa-bangsa asing lainnya.
Guru
Bapak Bangsa
Andai
Indonesia merdeka pada dekade abad ke-20 itu, bukan mustahil Tjokroaminoto
bakal menempati posisi sebagai presiden. Ia adalah orang pribumi paling
berpengaruh dan disegani. Menurut Bernard Siagian (ed.) dalam “100 Tokoh yang
Mengubah Indonesia” (2009), pemerintah kolonial Hindia Belanda bahkan
menjulukinya De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota”
(hlm. 75).
Tjokroaminoto
merupakan pemimpin tertinggi Sarekat Islam, perhimpunan rakyat paling kuat
sekaligus mewakili kepentingan kaum Muslimin di Hindia Belanda. Kardiyat
Wiharyanto dalam buku “Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara” (1996)
mencatat, jumlah anggota SI pada 1919 menembus angka 2,5 juta orang atau yang
paling besar saat itu (hlm. 26).
Kendati
memakai label “Islam”, keanggotaan SI tidak hanya terbatas untuk kalangan
santri. Segala unsur ada disitu, termasuk mereka yang tergolong abangan, bahkan
orang-orang yang cenderung memilih jalan kiri. Lahirnya Partai Komunis
Indonesia (PKI) juga berawal dari Sarekat Islam.
Tjokroaminoto
memimpin SI sejak 1913 setelah mengambilalih tampuk kuasa dari kubu Hadji
Samanhoedi di Solo. Disebutkan Pramoedya Ananta Toer dalam “Sang Pemula”
(2003), SI sudah dibentuk pada 1909 di Bogor dengan nama Sarekat Dagang Islam
(SDI) oleh Tirto Adhi Soerjo (hlm. 152).
Setelah
berhasil mengambilalih kepemimpinan pusat SI atau Centraal Sarekat Islam (CSI)
dari Samanhoedi, Tjokroaminoto memindahkan kantor pusatnya ke Surabaya.
Kemudian ia pindahkan lagi ke Yogyakarta dan berafiliasi dengan Muhammadiyah
pimpinan K.H. Ahmad Dahlan.
Pada
perkembangannya, Tjokroaminoto menjadi sosok paling berpengaruh di kancah
pergerakan nasional. Ia menjadi pemimpin besar SI hingga akhir hayatnya pada
1934. Di tahun 1929, SI berubah jadi partai politik bernama Partai Sarekat
Islam Indonesia.
Tjokroaminoto
masuk sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia) yang diresmikan
pemerintah kolonial sejak 1916. Meskipun menjadi anggota parlemen bentukan
kolonial, namun Tjokroaminoto kerap bersuara keras demi memperjuangkan
kepentingan rakyat bumiputera.
Di bawah
naungan Tjokroaminoto, SI menghimpun tokoh-tokoh penting pergerakan nasional.
Ada Agus Salim, Abdoel Moeis, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara),
Soerjopranoto, hingga Semaoen dan Alimin. Tjokroaminoto juga menjadi bapak
sekaligus mentor bagi tokoh-tokoh yang kelak amat berpengaruh dalam riwayat
berdirinya RI. Sukarno adalah salah satu murid kesayangan Tjokroaminoto dan
pernah tinggal di kediamannya semasa muda. Begitu pula dengan Maridjan
Kartosoewirdjo, Muso, dan lain-lain.
Ide
Pemerintahan Sendiri
Berkata-kata
soal kemerdekaan pada masa kolonial pertaruhannya terlalu besar. Bisa-bisa
ditangkap lalu dipenjara dengan tuduhan subversif. Istilah Indonesia belum
berani dimunculkan, yang ada adalah Hindia Belanda. Tjokroaminoto lebih sering
menyebutnya dengan istilah Hindia saja atau Hindia Timur.
Meskipun
berisiko tinggi, Tjokroaminoto ternyata punya nyali. Ia melantangkan bahwa zelfbestuur
menjadi salah satu tujuan Sarekat Islam dalam kongres tahun 1916 itu.
"Kemerdekaan anak negeri dan kemerdekaan Hindia adalah tujuan dari
perjuangan Sarekat Islam!" seru Tjokroaminoto.
Dengan
lebih keras lagi, ayah Siti Oetari - istri pertama Sukarno - ini mengecam
praktik kolonialisme dan imperialisme. Tjokroaminoto tidak sudi negeri
kelahirannya selalu dijadikan ajang eksploitasi oleh bangsa asing.
“Tidaklah
pada tempatnya menganggap Hindia sebagai seekor sapi perahan yang hanya diberi
makan demi susunya,” tukas Tjokroaminoto, dikutip dari “Cahaya di Kegelapan:
Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam Pertumbuhannya dalam
Dokumen Asli” (1981) suntingan Pitut Soeharto dan Zainoel Ihsan (hlm. 230).
“Tidaklah
pantas menganggap negeri ini sebagai tempat kemana orang berdatangan hanya
untuk memperoleh keuntungan,” imbuhnya. “Dan sekarang,” sambung Tjokroaminoto,
“sudah tidak pada tempatnya lagi, bahwa penduduknya, terutama anak negerinya
sendiri, tidak mempunyai hak turut berbicara dalam soal-soal pemerintahan, yang
mengatur nasib mereka!”
Tjokroaminoto
bahkan sudah memikirkan soal persatuan dan kesatuan jika nantinya bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam perbedaan ini mencapai kemerdekaan. “Bilamana
kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya, artinya bila tanah air
kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh
lapisan masyarakat semuanya akan menuju kearah dan bersama-sama memelihara
kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa maupun
agama.”
“Seandainya
kepentingan yang kita perjuangkan bersama itu sampai terancam oleh sesuatu
pengaruh atau bahaya dari luar, maka kita akan berdiri serempak untuk berjuang
menghalau bahaya yang mengancam kita,” lanjut Tjokroaminoto seperti dinukil
Ridwan Saidi dalam “Islam dan Nasionalisme Indonesia” (1995: 112).
Penantian
Tiga Dekade
Tidak
terjadi apa-apa terhadap Tjokroaminoto setelah seruan yang sebenarnya
membahayakan itu. Pemerintah kolonial tampaknya telah memperhitungkan dampaknya
jika Tjokroaminoto diusik. Ia adalah tokoh pribumi paling berpengaruh yang bisa
saja menggerakkan rakyat untuk melakukan perlawanan. Pemerintah kolonial
memilih bersikap lunak terhadap Tjokroaminoto dan SI, merangkulnya untuk masuk
ke jajaran anggota dewan atau Volksraad, meskipun di forum-forum parlemen tetap
saja Tjokroaminoto bersuara lantang.
Namun,
seruan zelfbestuur yang diteriakkan Tjokroaminoto tidak pernah terwujud
hingga ia menutup mata untuk selama-lamanya pada 1934. SI awalnya disibukkan
oleh kisruh internal, yang kemudian melahirkan sempalan kiri bernama PKI.
Selanjutnya, SI malah ikut larut dalam hingar-bingar politik kolonial.
Nyaris
tiga dekade berselang sejak Tjokroaminoto pertama kali melantangkan wacana zelfbestuur,
atau 11 tahun setelah wafatnya, Sukarno - murid dan menantu kebanggaannya itu -
menyatakan proklamasi kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia pada 17 Agustus
1945.
Sukarno,
juga Mohammad Hatta, boleh-boleh saja menyandang gelar sebagai proklamator.
Tapi Tjokroaminoto adalah penggagas ide awal kemerdekaan Indonesia kendati ia
tidak sempat merasakan kehidupan di masa-masa berdaulat.
Baca juga
artikel terkait HARI KEMERDEKAAN atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id
- Humaniora)
0 Comments:
Posting Komentar