Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia)
Pada hari Senin (21/11/2022), KH Aceng Zakaria dipanggil Allah SWT
dalam usia 74 tahun. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah sahabat dari organisasi
Persatuan Islam (Persis) sudah mengabarkan, bahwa beliau sedang sakit berat.
Ternyata, Allah SWT menyayangi dan memanggil beliau. Semoga Allah menempatkan
beliau di tempat yang mulia.
Pada 29 Januari 2022, beliau bersama istrinya, berkunjung ke
Pesantren At-Taqwa Depok. Kami sempat berbincang-bincang sebentar, sebelum
beliau melanjutkan aktivitasnya, mengisi pengajian dan mengunjungi Ust Amin
Jamaluddin yang kini juga sudah dipanggil oleh Allah SWT.
Sosok Kyai Aceng Zakaria adalah seorang ulama pejuang yang
istiqamah sampai akhir hayatnya. Bahkan, hebatnya, dua bulan lalu, dalam
Muktamar Persis XVI di Bandung, KH Aceng Zakaria memutuskan untuk tidak
bersedia dipilih lagi. Beliau sudah menyiapkan penerusnya, yaitu Dr. Jeje
Zainuddin.
Kyai Aceng Zakaria bisa dikatakan salah satu ulama hebat di Indonesia. Syukurlah, sebelum beliau wafat, tahun 2021 lalu,
sudah terbit biografi beliau, berjudul: “KH Aceng Zakaria Ulama Persatuan
Islam,” karya Pepen Irpan Fauzan, dkk. (Bandung: Staipi Garut Press, 2021).
Pada hari Ahad (4/4/2021), saya sempat diminta membedah buku
tersebut. Salah satu kehebatan beliau, di usianya yang ke-73 tahun itu, ia
telah menulis 103 judul buku. KH Aceng Zakaria lahir di Garut Jawa Barat pada
11 Oktober 1948. Ayahnya, Kyai Ahmad Kurhi, seorang ulama dari garis keturunan
ulama terkenal di Garut, KH A. Shidiq, yang dikenal dengan sebutan Mama
Sukarasa.
Kyai Aceng bukan saja dikenal sebagai aktivis organisasi, tetapi
juga seorang ulama, pemimpin pesantren, pejuang dan sekaligus penulis produktif.
Saya mengenalnya sejak puluhan tahun lalu. Ia seorang Kyai yang ramah. Beberapa
kali saya menikmati jamuan makan khas di atas kolam rumahnya yang asri di Kota
Garut.
Dibanding banyak ulama lain, tentu saja keunikan Kyai Aceng Zakaria
adalah ketekunan dan kreativitasnya dalam menulis. Tidak mudah menulis 100
lebih judul buku di tengah berbagai kesibukan perjuangan sebagai muballigh dan
pimpinan Persis.
Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di Timur Tengah,
Kyai Aceng memiliki penguasaan Bahasa Arab yang mumpuni. Dari 103 judul
bukunya, 33 judul ditulis dalam Bahasa Arab. Beberapa diantara bukunya termasuk
kategori best seller, seperti: al-Hidayah fi Masaaili Fiqhiyyah
al-Muta’aridhah, al-Muyassar fi Ilmi al-Nahwi, dan al-Kaafi fi
Ilmi al-Sharfi.
Kyai Aceng Zakaria tidak memiliki gelar akademik apa pun. Secara
formal, ia merupakan lulusan Madrasah Mu’allimin Persis Pejagalan Bandung.
Tetapi, dialah yang mendirikan Perguruan Tinggi Persis di Kota Garut, yaitu
Sekolah Tinggi Agama Islam Persis Garut.
Model Ideal
Menyimak kiprah dan karya ilmiahnya, Kyai Aceng Zakaria bisa
disebut seorang ulama produk pendidikan lokal tetapi berkualitas internasional.
Buku ini memberikan informasi tentang proses pendidikan ideal yang dijalani
Kyai Aceng Zakaria. Model ideal itu adalah: “TOP” (Tanamkan adab sebelum ilmu;
Oetamakan Ilmu-ilmu fardhu ain; dan Pilih Ilmu Fardhu Kifayah yang tepat).
Sejak masa kanak-kanak, Kyai Aceng dididik
dengan adab yang tinggi oleh ayahnya, KH Ahmad Kurhi yang juga dipanggil Abah
Engku. Sang ayah dikenal sangat menekankan ketekunan dan kekhusyukan
beribadah. Bahkan, Abah Engku dikenal luas sebagai ulama tasawwuf. Ia sering
mengajarkan ilmu tasawwuf bersumber dari kitab Hikam, karya Ibnu Atha’illah.
Hidup di lingkungan pesantren, disamping
sekolah rakyat, Aceng kecil pun mengaji kitab-kitab kuning yang popular di
kalangan pesantren, seperti Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, al-Ajrumiyyah,
Tijan al-Darariy, Imrithy, dan lain-lain. Di
kemudian hari, Kyai Aceng mengaku telah mengkhatamkan kitab Ihya’ Ulumiddin
karya Imam al-Ghazali. Disamping itu, Aceng muda pun aktif dalam Organisasi PII
(Pelajar Islam Indonesia).
Jadi, sejak dini, Aceng telah dididik dengan adab dan ibadah yang
ketat, serta memiliki pengalaman organisasi. Artinya, ia dibiasakan menjalani
proses intelektualisme dan aktivisme secara seimbang.
Setelah menjalani proses pendidikan adab, ibadah, dan ilmu yang
baik di lingkungan keluarganya, Aceng muda kemudian dikirim orang tuanya ke
Pesantren Persis Pajagalan Bandung. Sejumlah ulama memang mendidik anak-anaknya
dengan adab dan ibadah selama di rumah. Setelah adab dan ibadahnya baik, mereka
mengirim anak-anaknya ke ulama-ulama lain untuk mempelajari berbagai bidang
ilmu secara mendalam.
Kyai Aceng Zakaria pun menjalani proses semacam ini. Ayahnya
mengirim Aceng kepada guru yang hebat di Pesantren Pajagalan, yaitu KH E. Abdurrahman, salah satu murid
utama tokoh Persis, A. Hassan. Pesantren Pajagalan sendiri didirikan oleh A.
Hassan pada tahun 1936. Tujuan Pesantren ini adalah: “mencetak kader-kader
mubaligh Persis”.
Di Pesantren Pajagalan inilah Aceng muda dididik oleh KH E.
Abdurrahman dengan disiplin adab dan keilmuan yang intensif. Waktu itu, jumlah
murid di kelas Aceng Zakaria ada 5 orang. Satu diantaranya perempuan. Jumlah
kelas kecil ini memungkinkan proses pendidikan berlangsung lebih efektif,
khususnya dalam penanaman nilai-nilai adab.
Metode pembelajarannya bukan hanya dalam bentuk klasikal, tetapi
juga kajian kitab secara sorogan. Banyak kitab yang dikaji. Yang utama adalah
Tafsir Ibn Katsir. Model kajian seperti ini memungkinkan murid memiliki wawasan
luas dalam keilmuan sekaligus melatih memahami teks secara detail.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di
Madrasah Muallimin, Aceng Zakaria menuruti nasehat gurunya, untuk tetap di Bandung,
dan menjadi guru di almamaternya itu. Tahun 1971, ia
mulai dipercaya mengajar tingkat Ibtidaiyyah dan kemudian tingkat Tsanawiyah.
Berikutnya, Kyai Aceng juga mengajar di program Tamhidul Muballighin.
Kyai Aceng juga memiliki keahlian jual beli dan servis jam.
Peran seorang KH E. Abdurrahman sangat penting dalam Pendidikan
Kyai Aceng Zakaria. Gurunya itu memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap
konsep pendidikannya. Ia melarang santrinya ikut Ujian Persamaan atau Kuliah di
Perguruan Tinggi. Kyai Abdurrahman khawatir murid-muridnya nanti tidak mau
menjadi mubaligh yang turun ke kampung-kampung mendakwahkan ajaran Islam.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim
disebutkan, bahwa kunci sukses pendidikan ada pada tiga pihak: yaitu murid,
orang tua, dan guru. Proses Pendidikan Kyai Aceng menunjukkan tingginya kualitas pada
ketiga pihak itu. Ia bukan hanya mengambil ilmu dari guru-gurunya, terutama KH
E. Abdurrahman. Tapi, ia juga berhasil mengambil adab mereka. Jiwa guru dan
jiwa pejuang ia warisi dari orang tua dan gurunya.
Sukses Pendidikan Kyai Aceng Zakaria pun tak lepas dari dua hal
penting untuk meraih ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’), yaitu: Niat dan
adab thalabul ilmi. Larangan gurunya untuk ikut Ujian Persamaan atau untuk
melanjutkan Kuliah di Perguruan Tinggi, lebih dimaksudkan untuk menjaga niat
ikhlas dalam mencari ilmu. Jangan sampai salah niat dalam mencari ilmu: untuk
mengejar harta benda dan kedudukan dunia.
Konsep Pendidikan Ulama KH E. Abdurrahman
telah ditulis oleh Dr. Dwi Budiman, rektor Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad
Natsir, dalam disertasi doktornya di Program Doktor Pendidikan Agama Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Buku biografi KH Aceng Zakaria itu menguatkan bukti, bahwa umat
Islam Indonesia sebenarnya memiliki model pendidikan ideal. Model inilah yang
telah melahirkan ulama dan tokoh-tokoh besar, seperti Buya Hamka, Mohammad
Natsir, KH Wahid Hasyim, dan juga KH Aceng Zakaria.
Kita doakan semoga KH Aceng Zakaria diterima segala amal ibadahnya,
diampuni segala kesalahannya, dan semoga organisasi Persis mampu merumuskan dan
melaksanakan model Pendidikan yang dapat melahirkan semakin banyak ulama-ulama hebat seperti KH Aceng Zakaria.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’fu’anhu. (Depok, 22 November 2022).
0 Comments:
Posting Komentar