Oleh : Herry Mardian
WAKTU sekolah menengah, saya sering penasaran. Kenapa Allah sampai
memiliki tiga nama yang terkait sifat kepengampunan dan kepemaafan-Nya? Ada
Al-Ghaffar (14. الغفار),
ada Al-Ghafur (34. الغفور),
ada Al-‘Afuw (82. العفو).
Apa bedanya? Kalau kita minta ampun, nama mana yang kita panggil? Dan orang
heran kenapa saya mikirin itu.
Banyak teori yang menjelaskannya, biasanya dari sisi makna kata.
Tapi sejauh itu pun saya tetap belum berhasil membedakan secara rasa dan secara
nyata, apa beda ketiga asma-Nya itu. Setelah berpuluh tahun kemudian baru tertangkap
ada beda ‘rasa’-nya antara ketiga asma itu.
Al-Ghaffar, adalah sifat kepengampunan-Nya secara umum. Ia juga
lebih terkait ke sisi kuantitas kepengampunan-Nya. Akar kata gh - f - r, yang
biasanya terkait dengan makna menutup-nutupi, menyembunyikan, melindungi.
Misalkan, di sebuah kompleks, Pak H dikenal
dengan sifatnya yang tidak pendendam, tidak mudah sakit hati, tidak suka
melihat kesalahan orang lain dan tidak suka mengungkit-ungkit kesalahan orang
maupun membicarakannya. Ia cenderung akan lebih fokus pada aspek positif seseorang daripada
aspek negatifnya.
Nah, sifatnya ini membuat orang merasa tenang dan dan aman
berinteraksi dengannya. Orang tidak merasa takut berlebihan untuk berbuat dan
berbicara dalam berinteraksi dengan Pak H, karena kalau pun kita tidak sengaja
keliru kata atau sikap, Pak H tidak akan mempermasalahkannya.
Kalau pun dulu kita pernah melakukan
kekeliruan, kita yakin seandainya nanti kita sedikit bermasalah dengan Pak H
dan membuatnya tidak suka, Pak H tidak akan mengungkit-ungkit kesalahan kita
yang dulu itu untuk memojokkan kita, “Anda itu dulu kan begini dan begitu ke
saya.” Tidak, Pak H bukan orang yang begitu.
Mau berapa kali pun kita nggak sengaja berbuat
kesalahan kepadanya, yakin kita bahwa dia lagi-lagi pasti akan tidak
mempermasalahkannya.
Nah, sifat pak H di tataran ini kira-kira seperti asma Al-Ghaffar
pada Allah ta’ala. Ini asma yang berlaku secara umum. Itu Al-Ghaffar. Sifat
kepengampunannya yang umum. Dia Maha Pengampun, tapi itu baru tentang Diri-Nya,
yang belum secara langsung terkait dengan pihak lain.
: : :
Lalu, suatu hari saya sedang naik motor dengan sangat tergesa-gesa ke rumah sakit -- ada keluarga dekat yang gawat. Kita sedang terburu-buru, tapi mobil di depan kita ini jalannya lambat. Mau disalip nggak bisa.
Saking keselnya, saya klakson-klakson terus. Begitu ada kesempatan,
saya salip, jajarkan motor kita dengan jendela pengemudi, sambil menampar
spionnya saya teriak ke pengemudi, “Bego, lu!”
Setelah terlajur memaki, saya terperanjat. Baru saat itu sadar
bahwa pengemudi mobilnya adalah Pak H. Saya melihatnya, dan dia melihat saya. Namun,
saya sadar bahwa saya sedang mengenakan helm: mungkin dia tidak mengenali saya.
Jadi, saya kebut saja motor dan kabur, berharap semoga Pak H tidak mengenali
saya.
Nah, sebenarnya Pak H mengenali saya. Kita bisa bayangkan bagaimana
perasaannya. Dan, saya kabur pula. Namun, Pak H memilih untuk berpura-pura tidak
tahu tentang
kejadian itu. Di komplek, ia tetap ramah pada saya, bahkan menyapa duluan,
mengajak bicara, mengundang makan di rumah, seperti tidak pernah ada apa-apa.
Sikapnya itu bahkan sampai membuat saya yakin, bahwa jangan-jangan Pak H memang
tidak tau bahwa sayalah yang menggebrak mobilnya dan memakinya.
Walaupun sebenarnya Pak H tahu -- dan hatinya tergores, namun ia
memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Ia menutup persoalan itu, dan tetap
menghargai saya sebagaimana seharusnya. Dia malah menjaga perasaan saya agar
saya tidak salah tingkah atau malu ketika berinteraksi dengannya.
Nah. Ini kira-kira asma Al-Ghafur pada Allah Ta‘ala. Sifatnya lebih
khusus dari Al-Ghaffar. Ini terkait dengan kepengampunan dengan adanya suatu
interaksi.
Allah tahu semua dosa-dosa kita, kekurang ajaran kita, bagaimana kita ‘menyakiti’ perasaan-Nya. Dia mengingat
semua itu. Namun, Dia memilih untuk menutup-nutupi dosa-dosa kita itu. Untuk
tidak mengungkit-ungkitnya. Ini bisa di dunia, bisa di akhirat. Allah Al-Ghafur
mengetahui dan mengingat semua dosa kita, namun Dia memilih untuk tidak
mempermasalahkannya lagi, baik di dunia maupun di padang Mahsyar kelak.
Atau, Dia memperlihatkan semua dosa kita di
hadapan semua manusia kelak, namun Dia memilih untuk tidak mengadili dosa-dosa
kita, walaupun dosa kita ada bergunung-gunung.
Dengan kata lain, Dia memilih untuk mengampuni kita. Dosa-dosa kita
ada, tapi Dia memilih untuk tidak akan mempermasalahkannya. Inilah pengertian asma Al-Ghafur. Ini lebih terkait dengan kualitas
kepengampunannya, dan kepada siapa Dia memberikan pengampunan.
: : :
Nah, sekarang, Pak H punya anak-anak yang sangat dicintainya. Kadang anaknya ini membuat kekeliruan. Memecahkan piring, merusak TV, dan lain sebagainya. Atau sekali waktu anaknya ini kelepasan ‘memarahi’ ayahnya. Ngambek, minta uang jajan tidak dikasih, atau apalah.
Bertahun-tahun kemudian, anak-anaknya ini datang pada ayahnya dan
meminta maaf atas kesalahan mereka dulu, yang ‘ini’ dan yang ‘itu’. Pak H malah
bingung, kesalahan yang mana? Apa yang perlu dimaafkan? Pak H bahkan tidak
mengingatnya lagi kesalahan yang mana, dan kapan. Toh, apa pun kesalahan
mereka, mereka adalah anak-anaknya yang sangat dicintainya.
Nah. Untuk orang-orang tercinta, kita bukan mengampuni, tapi
memaafkan. Kita tidak akan mengingat-ingat kekeliruan mereka. Kita tidak akan
sakit hati ketika anak kita memecahkan piring, merusak TV, mengungkit-ungkit
bahwa mereka pernah menyakiti hati kita kapan dan di mana. Kita bahkan lupa
kapan kejadiannya.
Kesalahan-kesalahan mereka lebur saja, hilang dalam waktu dan
ingatan kita. Pokoknya kita mencintai mereka, titik. Kesalahan mereka
benar-benar tidak ada jejaknya di ingatan kita. Nah, ini adalah asma Al-‘Afuw
pada Allah. Kata a – f – w terkait dengan makna ‘hilang bekasnya, menghapus
jejak, lebur tanpa bekas.’ Ini asma untuk kalangan khusus, untuk kalangan yang
Dia cintai.
Di padang Mahsyar kelak, dosa-dosa kita bahkan dianggap tidak ada.
Lenyap. Bukan saja Dia tidak mempermasalahkannya, namun seluruhnya telah
dihapus oleh-Nya. Itu al-‘Afuw.
: : :
Ringkasnya, kita dikenal dengan sifat tidak suka mempersoalkan
kesalahan yang mungkin akan orang lakukan pada kita. Itu asma ‘Al-Ghaffar’ pada
Allah. Kemudian, bagi orang-orang yang pernah melakukan kesalahan pada kita
(dan sangat mungkin akan melakukan kesalahan lagi) kita tidak akan
mempersoalkannya. Apalagi untuk mengungkit-ungkitnya untuk mendesak dan
membuktikan kekeliruannya, ‘kamu memang begini dan begitu dari dulu.’
Atau, misalnya bagi yang pernah mencuri di rumah kita atau orang
yang pernah memaki kita, kita memilih untuk tidak mempersoalkannya. Mungkin
kita sakit hati, tapi kita memilih untuk tetap bersikap baik pada orang-orang
itu dan menutup persoalan itu. Ini mirip asma ‘Al-Ghafur’ pada Allah.
Terakhir, bagi anak-anak kita, pasangan kita, ibu kita, kita bahkan
tidak mengingat sama sekali apa kesalahan-kesalahan mereka. Bagi kita,
kesalahan-kesalahan mereka tidak pernah ada. Kekeliruan yang mereka lakukan
tidak penting sama sekali. Cinta kita pada mereka jauh lebih besar dari
kesalahan sepele yang pernah mereka lakukan. Itu asma ‘Al-‘Afuw’ pada Allah.
Kita ingin disikapi-Nya dengan asma yang mana, tentu terkait dengan
asma-Nya yang mana yang selalu kita usahakan untuk kita pakai dan kita gunakan terhadap
orang lain. Semoga bermanfaat untuk mengenal-Nya sejengkal lebih jauh, dan
untuk memanggil-Nya dengan nama yang lebih tepat ketika berdoa.
0 Comments:
Posting Komentar