Oleh : Agus Raharjo
Anak pertama tentu saja kakak dari sang janin, yaitu ketuban atau
kawah. Ketika seorang ibu melahirkan, yang pertama kali keluar adalah ketuban,
karenanya disebut saudara tua. Dia berfungsi sebagai penjaga bandan sang bayi di dalam rahim.
Saudara kandung yang lebih muda adalah ari-ari, tembuni atau
plasenta. Pembungkus janin di dalam rahim di dalam perut ibu yang menyampaikan
ke tujuan. Begitu bayi lahir maka ari-ari itu ikut keluar. Ia mengantarkan
sampai ke tujuan, yaitu lahir dengan selamat disertai pengorbanan dirinya.
Darah adalah saudara dari sang janin. Tanpa ada darah, janin bukan
saja tidak tumbuh, tetapi juga akan mengalami keguguran.
Saudara yang ke empat adalah pusar atau orang Jawa biasa
menyebutnya puser atau wudel. Dalam bahasa Jawa kuno, istilah untuk pusar
adalah nabi. Yang dimaksudkan dengan pusar, tentu saja tali pusar, sedangkan
pusar sendiri sebenarnya adalah bekas menempelnya tali pusar pada perut bayi
dalam rahim dan ari-ari. Ia sebagi alat untuk menyalurkan makanan dari ibu ke bayi dalam kandungan. Dengan tali pusar itu bayi
mendapatkan pasokan makanan dari induknya. Pusar berfungsi untuk memenuhi
permintaan sang jabang bayi.
Umumnya orang menganggap bahwa ketuban, ari-ari, darah, dan tali
pusar itu hanya wahana atau alat yang diperlukan untuk pertumbuhan jabang bayi
di dalam perut. Begitu bayi dilahirkan, maka semuanya itu tidak berfungsi lagi.
Tidak ada lagi sangkut pautnya dengan kehidupan. Yang demikian ini merupakan
pandangan materialistik. Pandangan serba duniawi.
Lain halnya dengan pandangan Jawa. Pandangan yang diterima oleh
orang Jawa. Maksud saya, orang Jawa yang mengerti pandangan Jawa, meski
beragama apapun tetap mempercayai bahwa dalam hidup di dunia ini, saudara empat
itu tetap menjaga. Baik masih di kandungan maupun di alam nyata.
Yang kembali ke anasir-anasir bumi, air, udara, dan api hanyalah
keempat jasadnya. Begitu bayi
lahir, jasad saudara empat itu kembali keasalnya. Air ketuban dan darah
dibersihkan, begitu bayi dilahirkan. Ari-ari dan potongan tali pusar dipendam.
Jasad yang terlahir hidup adalah bayinya, sedangkan secara metafisik saudara empat kita itu
tetap menjaga kita hingga kita mati.
Bahwa pandangan Jawa tersebut diatas ada di dalam Al-Qur’an, alias
ada di dalam Islam. Hanya kita yang beragama Islam kurang memperhatikan
ayat-ayat yang bernuansa metafisik. Kita lebih mudah terjebak ayat-ayat yang
bersifat lahiriah.
إِن
كُلُّ نَفۡسٖ لَّمَّا عَلَيۡهَا حَافِظٞ ٤
“Sesungguhnya setiap orang ada penjaganya” (QS. At-Thariq
(86): 4).
وَهُوَ ٱلۡقَاهِرُ فَوۡقَ
عِبَادِهِۦۖ وَيُرۡسِلُ عَلَيۡكُمۡ حَفَظَةً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ
تَوَفَّتۡهُ رُسُلُنَا وَهُمۡ لَا يُفَرِّطُونَ ٦١
“Dan Tuhan itu mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua
hamba-hamba-Nya. Dan di kirim-Nya malaikat penjaga untukmu. Sehingga apabila
sampai batas usia kematian kepada salah seorang di antaramu diwafatkanlah dia
oleh malaikat-malaikat Kami, sedang mereka tidak pernah melalaikan kewajibannya”
(QS. Al-An’aam (6): 61).
Dari kedua ayat tersebut itu sangat jelas sekali. Ternyata dalam
model kehidupan di alam ini, Tuhan meberikan penjaga-penjaga kepada setiap diri
manusia. Meskipun sudah disebutkan di awal ayat bahwa Tuhan itu Mahakuasa atas
segala hamba-Nya, tetapi ada mekanisme alam yang telah ditetapkan-Nya. Tuhan
tidak bertindak secara langsung. Ada beberapa penjaga yang dikirimkan kepada
setiap orang. Bukan satu penjaga buat satu orang, melainkan beberapa penjaga.
Penjaga-penjaga ini tidak terihat oleh mata jasmani. Karena mereka
berupa roh. Menurut konsep
Jawa, penjaga-penjaga itu ya saudara gaib kita sendiri. Bukan orang lain. Tetapi bagi konsep budaya Timur Tengah, penjaga itu adalah
malaikat. Dari sudut pandang hakikat, penjaga itu disebut sebagai saudara gaib
kita sendiri atau malaikat sama saja. Yang membedakan cuma istilah, cuma kata. Tetapi implikasinya yang berbeda. Akibatnya
pengaruhnya kepada kejiwaan yang berbeda.
Konsep yang melatarbelakangi lahirnya istilah
“sedulur papat kalima pancer” (konsep Jawa) dan “malaikat” (konsep Timur
Tengah) yang berbeda, yang membuat berbeda pengaruhnya pada kejiwaan. Dengan
konsep penjaga itu sebagai malaikat maka setiap orang merasa diawasi. Memang
dalam keadaan tertentu, sistem kepercayaan tentang adanya pengawasan malaikat
ini membuat orang bertingkah laku yang baik. Takut berbuat jahat karena ada
yang mengawasinya. Perbuatan baiknya itu bukan lahir dari nuraninya, melainkan
karena takut kepada pengawas.
Dengan kepercayaan ini yang dibangun itu mental “krupuk” sehingga
dari kecil diri kita ini sudah ditakut-takuti para orang tua, ustadz, atau para
sepuh. Kita ditakut-takuti ada malaikat yang selalu siap mencatat perilaku
kita.
Sistem keyakinan adanya saudara empat yang memberikan perlindungan
dalam hidup ini, membuat setiap orang merasa aman hidupnya. Secara psikologis,
menciptakan perasaan tenteram. Perbuatan baik, lahir sebagai harmonisasi dengan
saudara-saudaranya, baik yang nyata maupun yang gaib. Bila seseorang menyadari
bahwa selama dalam kandungan saudara empatnya itu menjaga dirinya, niscaya ia
tidak akan bertingkah aneh-aneh. Tidak berbuat macam-macam yang melanggar etika
kehidupan dan kesusilaan.
Dengan sistem ini pendidikan lebih bisa diarahkan untuk menciptakan
manusia yang menjaga lingkungan hidupnya. Tak perlu ada teror pada anak-anak kecil,
tetapi mereka diberi tahu bahwa saudara-saudaranya yang tidak kelihatan itu
tidak akan menjaganya jika tidak berbuat baik.
Di Jawa yang termasuk dalam yang gaib itu ya saudara empat kita di
alam nyata ini. dari awal orang Jawa telah dididik untuk dalam hal mengimanai
adanya empat saudara gaib yang senantiasa menjaga dirinnya, tentu saja bila
orangnya baik!
0 Comments:
Posting Komentar