Blog ini berisi tulisan orang lain. Sengaja saya kumpulkan disini agar bisa dibaca lagi di lain waktu, oleh saya dan oleh kita semua.
WHAT'S NEW?
Loading...

KEBAHAGIAAN SEORANG AYAH



"Ris, Bapak sakit, harus dirujuk ke Jakarta," suara Bang Dika diujung telepon.

 

Aku terdiam sejenak, akhir-akhir ini Bapak memang sakit-sakitan. Di kampung kami belum ada dokter ahli jantung yang bisa menangani beliau, jadi jika perlu perawatan lanjut harus dirujuk ke kota Jakarta.

 

"Ris... kok diam? Kamu nda keberatan toh? Bapak tinggal di rumahmu dulu yah, abang cuma bisa nganter terus balik lagi ke kampung," jelas Bang Dika.

 

"Iya Bang... ga' papa, ini kan Bapakku juga," jawabku cepat. Takutnya Bang Dika berpikir macam - macam.

 

"Ya udah, besok kami berangkat, ga' usah dijemput, abang bawa mobil, tadi teman kasih pinjam untuk sehari."

 

"Iya Bang."

 

Kuletakkan kembali HP ke atas meja. Kulirik Mas Feri yang dari tadi ikut mendengar percakapanku. Wajahnya terlihat resah. Kuhampiri dan duduk di dekatnya.

 

"Bapak mau kesini? Sama siapa ?" tanyanya cepat.

 

"Iya Mas, besok Bapak diantar Bang Dika kesini, dirujuk berobat ke dokter ahli jantung, di kampung belum ada dokter ahli."

 

"Bapak rencana berapa lama disini?"

 

"Belum tahu Mas, setelah pengobatannya selesai, nanti dijemput lagi sama Bang Dika."

 

Kulihat wajah suamiku sedikit cemas. Aku tahu keadaan ekonomi kami kurang baik akhir-akhir ini. Mas Feri dirumahkan oleh perusahaan tempatnya kerja tanpa gaji sama sekali. Untuk kebutuhan sehari-hari Mas Feri nyambi ngojek, kadang juga bantu temannya di bengkel.

 

"Mas keberatan Bapak tinggal disini?" tanyaku pelan, takut menyinggung perasaannya.

 

"Bukan gitu Ris, Mas cuma bingung gimana memenuhi kebutuhan kita semua, sementara Bapak kan sakit, kita butuh biaya lebih," keluhnya sambil sesekali mengusap wajah.

 

"Besok aku mau jual kalung ke pasar Mas, lumayan bisa nambah-nambah untuk kebutuhan hari-hari dan obat Bapak nantinya. Bapak kan punya asuransi kesehatan jadi biaya berobat tak masalah," kugenggam tangan Mas Feri, bukan untuk menguatkan, tapi lebih kepada meminjam sedikit kekuatan padanya.

 

"Yuk tidur, besok harus bangun lebih awal kan?" katanya sambil menarik tanganku ke kamar kami. Anak kami Ismail yang berusia 5 tahun sudah tidur sejak tadi.

 

 

"Kami sudah dekat Ris!" kata Bang Dika diseberang telepon.

 

Cepat-cepat kubereskan kamar untuk Bapak tempati nanti. Seprey semua sudah kuganti. Makanan juga sudah siap, pagi-pagi Mas Feri sudah berangkat ngojek. Ismail duduk di teras tak sabar menunggu kakeknya datang.

 

Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Ismail terdengar tertawa riang. Bapak sudah sampai rupanya.

 

Bergegas kudekati mobil dan membantu beliau keluar. Senyum Bapak merekah saat melihatku dan Ismail. Kupeluk tubuh ringkihnya. Beliau balas memelukku, aku tahu Bapak rindu padaku, sudah 4 tahun belakangan aku jarang menengoknya ke kampung.

 

"Udah Ris... bawa Bapak masuk, diluar sini banyak angin, nanti Bapak masuk angin lho," ucap Bang Dika sambil membimbing tangan Bapak masuk ke rumah.

 

"Abang langsung pulang ya Ris... mobilnya harus abang kembalikan hari ini juga," kata Bang Dika sambil membaringkan Bapak ke kasur. Pelan ia mengatur bantal agar pas sesuai yang Bapak inginkan.

 

"Abang nitip Bapak ya," pelan suara Bang Dika kemudian meraih tangan Bapak dan menciumnya.

 

"Dika pulang dulu ya Pak.... nanti Dika jemput lagi kesini," suara Abang terdengar bergetar.

 

"Ris.... salam buat Feri !" serunya kemudian mencium kepala Ismail dan segera berlalu.

 

Tak lama terdengar suara mobil yang semakin menjauh. Aku mendekati Bapak. Wajahnya pucat, matanya terlihat sayu. Ada air mata yang sedari tadi kutahan saat melihatnya lemah seperti ini. Tubuh ringkih yang dulu begitu kokoh dan berjuang keras menyekolahkan kami dan merawat kami seorang diri. Ibu kami sudah meninggal saat aku berumur 1 tahun.

 

Kuraih pelan tangan keriputnya dan kucium dalam-dalam. Meresapi seberapa tangguh tangan ini yang selalu bisa menopang tubuh anak-anaknya agar bisa kuat meski ia pun sebenarnya tak sekuat itu. Bapak membuka mata pelan. Ia meraih tanganku untuk duduk disampingnya.

 

"Apa Bapak tak merepotkan kalian Nak ?" ucapnya pelan.

 

"Sama sekali nggak Pak," aku menggeleng cepat.

 

"Bapak jangan mikir aneh-aneh. Kasih Risma kesempatan merawat Bapak sampai sembuh," sekuat tenaga kutahan air mata agar tak jatuh didepannya.

 

Bapak tersenyum lemah, kemudian matanya mencari-cari Ismail. "Ismail mana Ris? Bapak kangen lho, panggil kesini!"

 

"Ismail sini..... kakek manggil nih," sedikit berteriak kupanggil Ismail.

 

Ismail mendekat. "Temani kakek yah, ibu mau nyiapin makan siang".

 

"Oke bu...." ujarnya sambil tersenyum manis. Bapak juga tersenyum lebar melihat tingkah cucunya.

 

Hari-hari kulalui dengan sibuk. Mengantar Bapak berobat ke Rumah sakit yang kadang antriannya berjam-jam. Walau terlihat lelah tapi Bapak tak pernah mengeluh. Mungkin juga karena tak ingin menyusahkanku. Uang yang kupunya semakin menipis sementara kebutuhan kami bertambah. Mas Feri kadang pulang larut, katanya cari kerja tambahan buat menutupi kebutuhan sehari-hari kami.

 

Meski lelah, Mas Feri masih sempat sekedar membawakan makanan kesukaan Bapak. Rasa lelah kami terobati saat melihat wajah sumringah beliau melihat kue kesukaannya didepan mata. Bapak berangsur sehat. Hari ini sengaja kumasakkan soto daging kesukaannya. Tak apalah meski besok harus berpikir keras mau masak apa lagi buat beliau.

 

"Masakanmu makin enak Ris, persis masakan ibumu," pujinya sambil terus mengunyah.

 

"Bapak bisa aja mujinya, makan yang banyak biar Bapak cepat sehat," kataku dengan sedikit tersenyum melihatnya begitu lahap.

 

"Bapak sudah sehat kok Nak.... gak terasa ya Bapak sudah ngerepotin kamu selama 3 bulan ini," terangnya dengan mata redup.

 

"Bapak jangan ngomong gitu, ini sudah kewajiban Risma," jawabku cepat kemudian menyodorkan segelas teh hangat.

 

Bapak sejak dulu suka minum teh hangat sebagai penutup setelah makan nasi.

 

"Bapak tadi malam sudah nelpon Abangmu Nak.... besok Abangmu jemput Bapak pulang. Bapak sudah rindu rumah."

 

"Lho kok gak bilang Risma? kan bisa diantar Mas Feri saja Pak!"protesku.

 

"Tak apa lah Nak.... Feri itu setiap hari kerja, Bapak gak mau ngerepotin makin banyak lagi."

 

Tak kujawab lagi, takut malah menyinggung perasaan Bapak. Malam ini kukemasi barang-barang dan obat yang harus rutin beliau minum. Esoknya pagi-pagi sekali Bang Dika tiba dari kampung. Setelah sarapan bersama, Bang Dika bilang harus secepatnya berangkat karena mobil yang ia pinjam harus dikembalikan segera.

 

Aku memeluk erat tubuh Bapak. Tubuhnya sudah terlihat lebih segar, juga terlihat lebih bugar. Bapak memeluk kami satu per satu. Lama mencium Ismail yang tak rela melepas kakeknya. Kemudian melangkah menuju mobil.

 

Sekuat tenaga kutahan buliran bening agar tak luruh. Bapak melambaikan tangan hingga hilang dari pandangan kami. Kutarik tangan Ismail dan menariknya pelan masuk ke rumah. Ismail masih belum rela melepas kakeknya. Wajahnya sedari tadi ditekuk. Biarlah....ia hanya butuh waktu, setelah itu pasti riang kembali.

 

Kubereskan kamar dan beberapa baju dan selimut yang ditempati Bapak selama 3 bulan lebih ini. Saat merapikan meja, mataku tertumbuk pada amplop putih panjang dan sedikit tebal. Bergegas kubuka, isinya sepucuk surat dan uang merah seikat. Kuhitung jumlahnya 10jt..!

 

Aku tercengang, kaget dan haru bercampur baur. Air mataku luruh tak tertahan, meski gemetar, cepat kubuka surat itu.

 

"Untuk anakku Risma.

 

Terima kasih sudah merawat Bapak selama 3 bulan ini. Bapak tahu keadaan ekonomi kalian sedang sulit, tapi kalian tak pernah menampakkanya. Sering Bapak melihatmu kebingungan saat mau menebus obat, dan kemudian Feri datang membawa uang tambahan demi bisa menebus obat Bapak. Bapak juga tahu untuk makanan sehari-hari kau banyak berutang di warung dekat rumahmu, hanya demi menjaga asupan gizi sesuai anjuran dokter.

 

Kadang kau termenung di dapur tapi tiba-tiba tersenyum lebar saat tahu Bapak memergokimu. Bapak sungguh beruntung punya anak sepertimu. Bapak tak butuh apa-apa lagi. Punya anak sepertimu dan menantu seperti Feri sudah lebih dari apapun juga. Bapak bahagia Nak. Dan kamu juga harus lebih bahagia.

 

Bapak ada sedikit uang, tak banyak. Pakailah untuk melunasi utangmu di warung dan utangmu pada orang yang kau pinjam untuk menebus obat Bapak. Semoga Allah melindungi kalian selalu Nak.

 

Dari Bapakmu".

 

Dan air mataku mengalir tak bisa kubendung lagi. Aku terduduk memeluk surat Bapak didadaku. Bagaimana bisa kubalas semua pengorbananmu Bapak? Meski bakti ini seumur hiduppun tak bisa mengganti semua lelah, keringat, dan air matamu yang membesarkan dan merawat kami dari kecil.

 

Aku tergugu. Dan rasa haru bercampur rindu itu membuncah hebat. Kugenggam erat surat itu, kuletakkan di kotak khusus. Kelak kuharap Ismail bisa membacanya dan bisa memahami bahwa cinta orang tua pada anaknya tak pernah habis meski waktu bergeser jauh dan usia mengikis raga.

Selamat berbakti pada orang tua kita di rumah......

 

Copas : FB Hamdi Akhsan

 

0 Comments:

Posting Komentar