Ayah di dalam kamar, beberapa kali batuk². Sementara di ruang tamu, ibu sedang ngobrol dgn anak perempuannya.
"Cinta ayahmu kepadamu luar biasa, tetapi
lebih banyak disimpan dalam hati karena kau perempuan", kata ibu. Aku
mendengarkan ibu dengan heran.
"Ketika kau melanjutkan kuliah ke Jakarta dan
aku bersama ayahmu mengantarmu ke stasiun, kau dan aku saling berpelukan. Ayahmu
hanya memandang. Dia bilang juga ingin memelukmu, tapi sebagai laki² tak lazim
memeluk anak perempuan di depan banyak orang, maka dia hanya menjabat tanganmu,
lalu berdiri sampai kereta itu menghilang", kata ibu.
"Ibu memang sering menelponmu. Tahukah kau,
itu selalu ayahmu yg menyuruh dan mengingatkan.
Mengapa bukan ayahmu sendiri yg menelpon? Dia
bilang, "Suaraku tak selembut suaramu, anak kita harus menerima yg
terbaik".
"Ketika kamu diwisuda, kami duduk di belakang.
Ketika kau ke panggung dan kuncir di togamu dipindahkan rektor, ayahmu mengajak
ibu berdiri agar dapat melihatmu lebih jelas. "Alangkah cantiknya anak
kita ya bu," kata ayahmu sambil menyeka air matanya.
Mendengar cerita ibu di ruang tamu, dadaku sesak,
mungkin karena haru atau rasa bersalah. Jujur saja selama ini kepada ibu aku
lebih dekat dan perhatianku lebih besar. Sekarang tergambar kembali kasih
sayang ayah kepadaku. Aku teringat ketika naik kelas 2 SMP aku minta dibelikan
tas. Ibu bilang ayah belum punya uang. Tetapi sore itu ayah pulang membawa tas
yg kuminta.
Ibu heran. "Tidak jadi ke dokter?" tanya
ibu. "Kapan² saja. Nanti minum jahe hangat, batuk akan hilang
sendiri", kata ayah. Rupanya biaya ke dokter, uangnya untuk membeli tasku,
membeli kegembiraan hatiku, dengan mengorbankan kesehatannya.
"Dulu setelah prosesi akad nikahmu selesai,
ayahmu bergegas masuk kamar. Kau tahu apa yg dilakukan?" tanya ibu. Aku
menggeleng. "Ayahmu sujud syukur sambil berdoa untukmu. Air matanya
membasahi sajadah. Dia mohon agar Allah melimpahkan kebahagiaan dalam hidupmu. Sekiranya
kau dilimpahi kenikmatan, dia mohon tidak membuatmu lupa zikir kepada-Nya. Sekiranya
diberi cobaan, mohon cobaan itu adalah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidupmu”.
“Lama sekali dia sujud sambil terisak. Ibu
mengingatkan banyak tamu menunggu. Dia lalu keluar dengan senyuman tanpa ada
bekas air di pelupuk matanya".
Mendengar semua itu, air mataku tak tertahan lagi,
tumpah membasahi pipi. Dari kamar terdengar ayah batuk lagi. Aku bergegas menemui
ayah sambil membersihkan air mata.
"Kau habis menangis?" ayah menatapku
melihat sisa air di mataku.
"Oh, tidak ayah!" aku tertawa renyah. Ku
pijit betisnya lalu pundaknya.
"Pijitanmu enak sekali seperti ibumu",
katanya sambil tersenyum.
Aku tahu, meski sakit, ayah tetap ingin
menyenangkan hatiku dengan pujian. Itulah pertama kali aku memijit ayah. Aku
melihat betapa gembira wajah ayah. Aku terharu.
"Besok suamiku menyusulku, ambil cuti
seminggu seperti aku. Nanti sore ayah kuantar ke dokter", kataku.
Ayah menolak. "Ini hanya batuk ringan, nanti
akan sembuh sendiri".
"Harus ke dokter, aku pulang memang ingin
membawa ayah ke dokter, mohon jangan tolak keinginanku", kataku berbohong.
Ayah terdiam. Sebenarnya aku pulang hanya ingin
berlibur, bukan ke dokter. Tapi aku berbohong agar ayah mau kubawa ke dokter. Aku
bawa ayah ke dokter spesialis. Ayah protes lagi, dia minta dokter umum yg lebih
murah. Aku hanya tersenyum.
Hasil pemeriksaan ayah harus masuk rumah sakit
hari itu juga. Aku bawa ke rumah sakit terbaik di kotaku. Ibu bertanya setengah
protes. "Dari mana biayanya?".
Aku tersenyum. "Aku yg menanggung seluruhnya
bu. Sejak muda ayah sudah bekerja keras mencari uang untukku. Kini saatnya aku
mencari uang untuk ayah. Aku bisa! Aku bisa bu!".
Kepada dokter aku berbisik; "Tolong lakukan
yg terbaik untuk ayahku dok, jangan pertimbangkan biaya", kataku. Dokter
tersenyum.
Ketika ayah sudah di rumah dan aku pamit pulang,
aku tidak menyalami, tetapi merangkul dengan erat untuk membayar keinginannya di
stasiun dulu. "Seringlah ayah menelponku, jangan hanya ibu", kataku. Ibu
mengedipkan mata sambil tersenyum.
Dalam perjalanan pulang, aku berfikir, berapa
banyak anak yg tidak paham dengan ayahnya sendiri seperti aku. Selama ini aku
tidak paham betapa besar cinta ayah kepadaku.
Hari² berikutnya aku selalu berdoa. Namun kini
dengan perasaan berbeda. Terbayang ketika ayah bersujud pada hari pernikahanku
sampai sajadahnya basah dengan air mata... Betapa besar cinta kasih seorang
ayah. Tidaklah jauh berbeda dgn cinta kasih seorang ibu.
Semoga Allah masih memberikan waktu yg cukup,
untuk aku bisa lbh lama lagi memijit kaki ayah, memeluk dan menumpahkan cintaku
pada Ayah. Spt cintaku pada Ibu....aamiin.
Rabbighfir lii wa li waalidayya warhamhuma kama
rabbayaani shagiira... Ya Allah ampunilah dosaku juga dosa orangtuaku, jagalah
mereka seperti mereka merawatku di waktu kecil... Aamiin.
Sumber : FB Mus Bih
: : : Foto pernikahan kemenakan.
0 Comments:
Posting Komentar