Penulis : Nana Padmosaputro
Pada hari Selasa, 28 Maret 2016, hampir 9 tahun
yang lalu.... ada temanku, seorang guru, bertanya padaku:
“Na... kamu kan mendalami ilmu psikologi, critical
thinking dan edukasi.... kira-kira, gimanaaaaa ya, menyiapkan generasi
mendatang..?”
Aku bertanya balik, “Lha apa yang diperlukan oleh
anak-anak di masa depan?”
“Apa ya Na...?”
“Menghafal ilmu pengetahuan? Buat apa ngafalin?
Google sudah ada, wikipedia juga. Search engine lain juga bermunculan.
Kalau mau tahu sesuatu, tinggal comot buku atau tinggal click internet. Ya
kan?”
“Lha iya ya. Apalagi ilmu pengetahuan juga terus
berkembang ya. Banyak temuan baru, sehingga ilmu lama jadi obsolate
(obsolate artinya ‘basi’ atau sudah tidak terpakai lagi karena terbukti oleh
kebenaran pengetahuan lain) ya, udah nggak berlaku lagi ya..?” jawabnya.
“Nah itulah, kan?”
“Lha njuk piye? Mosok anak-anak nggak perlu
sekolah karena semua informasi dan ilmu sudah ada di internet?” dia
menggaruk-garuk kepalanya.
Aku ketawa. Ingat nasibku sendiri. “Kukasih tahu
ya, aku ini sebenernya kewalahan lho dengan arus informasi seperti sekarang.
Rasanya seperti kena banjir bandang.”
“Lha nopo kok kaya kena banjir bandang?”
“Lha ya bayangin aja, setiap hari kita dikepung
dengan berita. Aku harus TERUS-TERUSAN menganalisa data dan informasi. Lalu
memilah-milahnya: mana yang benar dan mana yang hoax... belum lagi mencermati
mana tulisan yang satir. Beberapa kali aku upload berita dan foto hoax. Padahal
sudah kupilih sumbernya. Masih aja kecolongan.”
“Lha terus?”
“Ya artinya, masalah generasi mendatang bukanlah
KEKURANGAN ILMU.... tapi apakah MAMPU BERPIKIR untuk mengolah atau memproses
semua informasi yang ada.....”
Lalu aku meneruskan. Artinya, sekolah-sekolah
harus MEROMBAK KURIKULUMNYA. Harus mulai mengajarkan THINKING SKILL ke anak
didik untuk memproses banyaknya info dan pengetahuan tersebut.”
Aku lalu bercerita........
*****
Beberapa tahun lalu, ketika anakku masih kelas 3
atau 4 SD, seorang ahli pendidikan dari Cambridge datang ke sekolah anakku.
Bikin seminar singkat buat para orang tua murid. Dia cuma mengajukan 3
pertanyaan yang bikin kami mikir njungkir-njempalik ketika itu:
1. Sambil mengacungkan HPnya ke atas, dia tanya,
"Dua puluh tahun lalu.... adakah yang bisa membayangkan bahwa telepon akan
seperti sekarang ini? Bisa memotret, mencatat resep, berkirim surat dan
dokumen, berkirim foto? Bisa menampilkan peta dan rute jalanan, bahkan bisa
merekam kegiatan fisik anda sudah berjalan kaki sejauh berapa kilometer dan
sudah membakar berapa kalori? Sebuah telepon yang bisa dipakai membuat
presentasi dan mengirimkannya ke benua lain?"
Saat itu... ruang auditorium bergemuruh dengan
suara-suara ortu saling diskusi. Iya ya..? Dulu kan telpon cuma bisa buat
bicara aja ya? Iya ya..? Dulu bisa SMSan aja udah berasa canggih ya..? Lalu
profesor dari Cambridge itu bertanya lagi:
2. “Sekarang, bisakah kita membayangkan... alat
ini akan bisa apa saja dalam 10 th ke depan? Atau 20 th ke depan?”
Ruang auditorium jadi senyap... Sehening kuburan
di malam jumat kliwon. Entah apa yang ada di kepala ortu lain; tapi aku
berpikir jangan-jangan, 20 tahun lagi alat telpon sudah bisa jadi moda
transport ke dimensi lain. Sang profesor bertanya lagi:
3. “Jika kita bahkan tidak bisa membayangkan 25 th
lagi kemajuan akan seperti apa... lalu bagaimana kita sebagai orang tua dan
guru, bisa memberikan BEKAL kepada generasi muda? Bekal yang mana yang harus
diberikan???”
Aku merasa seperti ulu hatiku ditonjok preman
pelabuhan. Aduh...!!!! Bener...!!!! Lha wong SEKEDAR MEMBAYANGKAN masa depan
saja, kita ini nggak mampu kok, terus gimana mau ngasih bekal ke anak-anak
untuk menghadapi masa depan mereka????
*****
Temanku, guru itu, berseru,
“Modiarrrrr...!” “ROMBAK ULANG SEMUA MATA
PELAJARAN, dong Na...?” Sambungnya dengan nada seru.
Betul. Sejak itu, sekolah anakku merombak sistem
belajarnya:
70% waktu dipakai untuk belajar berpikir.
30% nya untuk mendalami materi.
Sebuah mata pelajaran baru diciptakan, namanya:
1. INQUIRY LEARNING
Di pelajaran ini, anak-anak diajarkan:
—> CARA BERTANYA. Kenapa? Karena, dengan skill
bertanya yang baik, seseorang akan mendapatkan banyak jawaban. Ingat para
investigator...? Mereka tidak akan banyak mendapatkan informasi kalau nggak
pintar bertanya.
Kita nggak perlu bekerja sebagai peneliti, polisi,
penyidik dll untuk BELAJAR BERTANYA. Rakyat jelata pun tidak akan mudah tertipu
hoax dan DFK (Disinformasi, Fitnah dan Kebencian) kalau mampu mengajukan
pertanyaan kritis seperti ini:
- siapa/media apa yang bilang?
- seperti apa integritas dan track recordnya?
- apa latar belakang keilmuannya?
- tokoh/orang yang dibahas itu, punya track record
apa?
- apakah informasi ini ‘nyambung’ dengan track
record tsb?
- dia/media itu ada di kubu siapa? (Bisa dicek
dengan: apakah beritanya berimbang ketika meliput atau membahas kedua kubu?), Dst.
CARA BERTANYA ini juga sangat berguna bagi
pedagang UMKM:
- apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat di
sekitarku?
- bagaimana menyediakan (menjual) itu?
- harga pasarannya berapa?
- kelemahan apa yang ada di pedagang lain, yang
mampu kuatasi?
- bagaimana psikologi pasar?
- trend-nya ke mana?
- standar kualitas mereka seperti apa?
- daya belinya gimana? dll
—> MENCARI JAWABAN SECARA MANDIRI. Berapa banyak
orang yang punya gadget..? Hampir semua orang punya kan...? Mulai dari anak SD,
ibu rumah tangga, tukang jual bakso, sampai direktur. Tapi berapa banyak yang
mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan konstruktif mereka, lewat
internet...? Lalu memilah-milah mana informasi yang valid dan yang tidak valid?
—> Jika anak dan siswa dibiasakan untuk
mengajukan pertanyaan konstruktif dan kemampuan mencari jawaban secara mandiri…
maka THINKING SKILLS (kemampuan berpikir kritis dan konstruktif) akan terbangun.
Berikutnya,
2. Pelajaran Matematika juga dirombak. Memakai metode baru di mana rumus tidak lagi harus baku, tapi guru
memberikan kebebasan bagi murid untuk mencari jawaban dengan aneka cara,
proses, dan jalan. Bahkan, guru matematika melarangku memasukkan anakku ke les
matematika yang bersifat drilling. Kenapa..? Karena yang dituju saat ini adalah
: terbangunnya LOGIKA MATEMATIKA pada anak didik. Bukan cepet-cepetan
memberikan jawaban, sebagai hasil dari drilling.
Lalu anak didik mulai diajak melakukan :
3. Experimental Science
Pelajaran ini, tidak dilakukan secara ‘teoritis’
di kelas. Namun sekolah itu mengadakan acara ‘science fair’ yang terbuka untuk
umum. Anak-anak berkelompok membuat eksperimen, seperti membangun gunung
setinggi 30 cm dan ada letusan lava yang bisa keluar beneran. Ada juga yang
membuat perangkat untuk menjelaskan erosi.
Setiap kelompok, mengisi 1 booth di pameran itu.
Ortu dan masyarakat bisa datang, lalu bertanya di setiap booth. Anak-anak akan
menjelaskan.
4. Riset dan presentasi
Penjelasan mengenai ini, sudah kutulis di nomor 3.
Setidaknya, itu yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Tetapi di kelas
dan di laboratorium, kebiasaan presentasi sudah lama dilakukan, kata anakku.
Pantesan, kupikir. Anak SD kok lancar banget kalau ditanya. Bukan jawab ‘Nggak
tahu…’ lalu cengengesan.
5. Membaca 1 buku setiap hari. (Iya, setiap hari!)
Di sekolah anakku, kewajiban membaca ini
'dipaksakan' dari kelas 1 SD sampai kelas 4 SD. Tiap hari harus mengisi reading
log/daftar bacaan yang sudah selesai dibaca, dan ortu harus ikut membaca lantas
memberikan tanda tangan sebagai tanda komitmen.
Ortu harus bertanya ke anaknya: apa yg kamu
tangkap dari bacaan ini?
Lantas ortu dan anak membangun diskusi terkait
bacaan. Di sinilah kemampuan LITERASI dibangun.
Besoknya anak disuruh cerita di kelas, tentang isi
bacaannya. Lama-lama kebiasaan membaca terbentuk. Dan akhirnya menjadi
kecintaan membaca.
Guru-guru di sekolah itu juga dituntut untuk
menyemaikan thinking skills, salah satunya dengan cara membiasakan
diskusi 2 arah untuk membangun keterampilan berpikir.
Topik geografi dan sejarah, tetap diajarkan,
tetapi HANYA SEBAGAI MATERI BAHASAN (alias dipakai sebagai bahan diskusi) untuk
mengembangkan KETERAMPILAN BERPIKIR yang tertuang di nomor 1, 3, dan 4 di atas.
Topik politik (apa ya namanya? PPKN?), agama, dan dinamika
sosial juga diajarkan (dengan cacatan: bukan sebagai bahan hafalan, tetapi
sebagai latihan berpikir kritis dan mengembangkan nurani).
Semua pembelajaran Thinking Skills ini berlaku
untuk SD dan SMP. Thinking skills digarap dengan sangat fokus di masa-masa ini.
Setelah ‘processor’ di kepalanya jadi, anak-anak akan siap memproses apa saja.
Akan mampu memikirkan dan merenungkan apa saja. Mereka akan siap menghadapi
zaman, yang kita (para guru dan ortu) tidak mampu membayangkan....
********
Dulu, tahun 1970an, kakekku pernah berpesan: banyaklah
belajar. Jadilah GUDANG ilmu. Tapi, di tahun 2019 ini aku akan menyampaikan
pesan ayahku (yang pernah disampaikannya ke anakku): Kamu banyaklah berpikir.
Jadilah PABRIK ilmu. Menciptakan ilmu dan temuan baru. Bukan cuma jadi gudang
penyimpan atau penghafal ilmu.
Ya bener kan? Urusan menghafal itu biar dilakukan
oleh google, AI dan semua kecerdasan buatan yang akan datang. Tugas manusia
adalah: BERPIKIR, BERKREASI, MELAKUKAN TEROBOSAN.
Jadi, kalau kita ingin anak-anak dan siswa-siswi
kita mampu menghadapi masa depan, kita sudah tahu kan apa TUGAS KITA SEMUA
sebagai ortu dan pendidik? MEMBANGUN THINKING SKILLS!!!!!!!!!
Kisah ini, adalah kisah yang SUDAH TERJADI di
tahun 2016. Artinya, ada 4 kebiasaan yaitu:
1. membaca,
2. mengajukan pertanyaan konstruktif,
3. mencari jawabannya sendiri dan
4. berpikir kritis,
sudah dipraktekkan selama 9 tahun.
Apakah negeri ini terlambat jika pada tahun 2025
baru akan memulainya? Aku nggak bisa menyediakan jawabannya. Karena ‘urusan
negara’ itu ada di luar kekuasaan kita.
Jadi??? Mengapa kita nggak mulai saja dari diri
kita sendiri, dari anak-anak kita sendiri? Karena memulai kebiasaan baik
sekarang, itu selalu lebih baik dari pada memulainya nanti-nanti. Apalagi kalau
tidak dimulai sama sekali.
DIDIK ANAK-ANAK KITA yuk. Anak-anak kita kan
tanggung jawab kita… Well, selamat berakhir pekan, selamat merenung…
0 Comments:
Posting Komentar