Oleh : KH. Ma’ruf Khozin
Uraian materi Fikih Reproduksi (Kehamilan dan
Kelahiran) saya sampaikan selama 1 jam. Dilanjutkan dengan tanya jawab. Dari 6
Bunda-bunda Az-Zahra yang bertanya di luar dugaan saya ada yang bertanya
tentang egg freezing (sel telur yang dibekukan). Alhamdulillah
sebelumnya saya sudah pernah berdiskusi dengan para dokter spesialis kandungan
tentang sel telur wanita yang diambil sebelum menikah lalu dibekukan dan
dipakai setelah menikah.
Penjelasannya agak panjang dan ini bukan persoalan
yang simpel untuk dijawab. Proses terjadinya pembuahan, menjadi embrio hingga
melahirkan tanpa bersetubuh sudah dibahas dampak hukumnya oleh ulama Klasik.
Proses ini disebut istidkhal atau memasukkan sperma ke dalam miss V.
قَالَ فِي الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا :
إنَّ اسْتِدْخَالَ الْمَنِيِّ تَثْبُتُ بِهِ الْمُصَاهَرَةُ وَالنَّسَبُ
وَالْعِدَّةُ دُونَ الْإِحْصَانِ وَالتَّحْلِيلِ وَتَقْرِيرِ الْمَهْرِ
وَوُجُوبِهِ فِي الْمُفَوَّضَةِ وَثُبُوتِ الرَّجْعَةِ وَالْغُسْلِ وَالْمَهْرِ ا
هـ
“An-Nawawi berkata dalam kitab Raudhah bahwa
memasukkan sperma (tanpa bersenggama) menetapkan hukum mahram mertua, nasab dan
iddah. Tidak berdampak pada hukum zina muhshan, hukum muhallil, menetapkan
maskawin dan kewajiban maskawin bagi wanita yang dipasrahkan, ketetapan rujuk,
mandi besar dan maskawin”, Al-Qaliyubi, 4/294.
Dalam fikih Syafii ada istilah sperma yang muhtaram
(mulia), karena dari kondisi sperma yang mulia ini berdampak pada status anak
yang memiliki nasab dengan orang tua. Berbeda bila sperma dikeluarkan diluar
kondisi muhtaram, maka sperma tidak berdampak pada nasab yang sah antara
ayah dan anak, meskipun seandainya dilalukan tes DNA akan menunjukkan sebagai ayah
bilogis. Tetapi karena dilakukan di luar nikah yang sah maka sperma tersebut
tidak berstatus muhtaram (mulia). Demikian pula sperma yang keluar
dengan cara onani melalui tangan sendiri.
Sel telur pada wanita sama seperti sperma pada
laki-laki. Dalam Mazhab Syafii jika sperma dikeluarkan dan akan menjadi embrio
setelah dipertemukan dengan sel telur syaratnya adalah dalam status penikahan
dan status suami-istri yang sah. Syekh Khatib Asy-Syarbini (w, 977 H)
menjelaskan:
وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْمَنِيُّ
مُحْتَرَمًا حَالَ الْإِنْزَالِ وَحَالَ الْإِدْخَالِ ، حَكَى الْمَاوَرْدِيُّ
عَنْ الْأَصْحَابِ أَنَّ شَرْطَ وُجُوبِ الْعِدَّةِ بِالِاسْتِدْخَالِ أَنْ
يُوجَدَ الْإِنْزَالُ وَالِاسْتِدْخَالُ مَعًا فِي الزَّوْجِيَّةِ
“Diwajibkan keadaan sperma harus kondisi mulia
(bukan hasil zina dan onani sendiri) saat inzal dan memasukkan sperma ke ovum.
Al-Mawardi menyampaikan dari ulama Syafiiyah bahwa syarat iddah dengan
memasukkan sperma adalah keberadaan sperma saat diambil dan dimasukkan dalam
kondisi status suami-istri”, Mughni Al-Muhtaj, 4/247.
Uraian di atas disandarkan pada dalil yang
memiliki beberapa jalur riwayat:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ
أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِى رَحْمٍ لَايَحِلُّ لَهُ
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik
(menyekutukan Allah ) disisi Allah dari pada maninya seorang laki-laki yang
ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya.” HR. Ibnu Abid-dunya
dari Hasyim bin Malik al-Tha’i.
Dari rangkuman dalil dan pendapat para ulama,
intinya, mengambil sel telur saat perawan dan dipakai setelah menikah dengan
mempertemukan dengan sperma suami adalah tidak diperbolehkan. Lagian apa
enaknya mempertemukan sperma dan sel telur tanpa bersentuhan?
0 Comments:
Posting Komentar