The Idiot's Guide to Danantara
Oleh : Farid Gaban
Anda tidak idiot.
Sayalah yang idiot. Sebagai warga yang idiot, saya mencoba memahami apa itu
Danantara, badan baru pemerintah yang oleh Presiden Prabowo Subianto disebut
sebagai "kunci kemakmuran masa depan" negeri ini.
Sebagai idiot, saya
menelusuri bahan-bahan untuk memahami "mahluk apa gerangan Danantara
ini" dan apakah klaim Presiden Prabowo itu sahih atau cuma omon-omon. Saya
ingin berbagi dengan Anda keidiotan saya, dan bagi Anda yang merasa tidak idiot
bisa meluruskan serta mengoreksi pemahaman saya ini:
GEGAP GEMPITA
DANANTARA
Presiden Prabowo
meluncurkan Danantara pada 24 Februari kemarin. “Seluruh rakyat Indonesia bisa
bangga," kata Presiden Prabowo, "bahwa hari ini kita bisa meluncurkan
Danantara, salah satu sovereign wealth funds (SWF) terbesar di
dunia."
Total aset yang akan
dikelola Danantara senilai USD 900 miliar, atau Rp 15.000 triliun. Angka itu
tidak jatuh dari langit. Itu adalah total kekayaan seluruh BUMN di Indonesia,
baik dalam bentuk saham maupun aset fisik lahan dan bangunan.
Itu bukan kekayaan
baru. Yang membedakan adalah pengelolaannya. Jika dulu dikelola secara
terpisah-pisah, kekayaan total itu kini dikelola secara terpusat lewat satu
badan. Danantara dibentuk sebagai sebuah superholding, perusahaan induk yang
membawahi semua BUMN yang bergabung jadi satu itu.
Ini seperti seorang
ayah yang menyatukan semua kekayaan anak-anaknya untuk bisa dikelola secara
bersama dan di bawah satu manajemen. Sang ayah lah yang akan menentukan mau
diapakan kekayaan itu: dijaminkan ke bank untuk mendapat kredit/utang; atau
dijual demi mendapat uang tunai, yang kemudian bisa dibelanjakan untuk
keperluan-keperluan prioritas yang bisa menopang dan menjamin kesejahteraan
keluarga secara jangka panjang.
Ketika disatukan,
pemerintah berharap, kekayaan itu bisa punya leverage (daya ungkit)
lebih besar. Kekayaan kecil-kecil yang terserak hanya bisa mendapat
kredit/utang yang kecil. Tapi, jika disatukan, pinjaman utang yang didapat bisa
sangat banyak. Setidaknya, begitulah teorinya.
Jika dulu laba BUMN
disetor langsung kepada negara, laba itu kini akan masuk ke Danantara, yang
kemudian diputar atau diinvestasikan ke sektor-sektor yang menguntungkan
sehingga mendatangkan kekayaan lebih banyak lagi. Begitulah harapannya.
Danantara dimungkinkan membeli perusahaan-perusahaan swasta, domestik maupun
asing, untuk mendatangkan laba.
Lewat penggabungan
BUMN, pengambilan keputusan Danantara untuk menjaminkan atau menjual aset,
serta keputusan memilih perusahaan/proyek mana yang akan dibiayai, juga bisa
dilakukan lebih cepat, sigap dan ringkas.
Lewat UU BUMN yang
sudah diperbaharui, pengambilan keputusan Danantara akan melibatkan segelintir
direksi yang bertanggungjawab langsung kepada presiden. Tidak perlu melibatkan
banyak kepala dan tak banyak diskusi. Danantara mengadopsi tradisi lazim dalam
dunia militer yang cenderung otoriter dan diktatorial.
Presiden Prabowo
berharap Danantara bisa menyaingi SWF (sovereign wealth funds) yang sudah ada,
seperti Temasek milik Singapura atau Khazanah milik Malaysia. Presiden Prabowo
mengandaikan dirinya menjadi seperti Lee Kuan Yew atau Mahathir Mohammad, ayah
yang serba tahu ("father knows best"), atau diktator yang baik
hati ("benevolent dictator"), yang dengan kekuasaan
terpusatnya membawa kemajuan negeri. Warga negara tak perlu banyak tanya,
tahunya beres. Setidaknya begitu harapannya.
Prabowo dan Hashim
Djojohadikusumo mengklaim bahwa gagasan dasar Danantara berasal dari ayahanda
mereka, ekonom Orde Baru Soemitro Djojohadikusumo. Pada 1997, Soemitro
mengusulkan pembentukan badan pengelola investasi. Modal dana untuk badan itu,
kata dia, "berasal dari penyisihan 1-5% laba BUMN yang dikumpulkan dan
dipusatkan sebagai dana investasi." Keuntungan dari investasi kemudian
dipakai untuk "membina koperasi dan usaha kecil." Danantara berbeda
secara mendasar dari gagasan awal Soemitro itu.
Tapi, apa sebenarnya
persamaan dan perbedaan Danantara dari Temasek, Khazanah atau SWF lain yang
sudah ada di dunia?
SOVEREIGN WEALTH
FUNDS (SWF)
SWF sering disebut
dana abadi bagi sebuah negara. Dana itu bersumber dari kelebihan uang (excess)
yang kemudian diputar atau diinvestasikan, sehingga menghasilkan laba
terus-menerus tanpa menggerus modal awalnya. Laba tersebut kemudian digunakan
untuk membangun proyek-proyek negara yang tidak mungkin dilakukan perusahaan
swasta karena punya orientasi kemaslahatan jangka panjang (bukan profit jangka
pendek).
Perbedaan utama satu
SWF dari SWF lain adalah dari mana modal awalnya dan bagaimana dana itu
diinvestasikan. Sebagian besar (70%) SWF di dunia memperoleh modal awal dari
penjualan sumber daya alam non-terbarukan (industri ekstraktif). Model ini
misalnya dimanfaatkan secara cerdik oleh Norwegia. Negeri itu menyisihkan hasil
penjualan minyak dan gas untuk menjadi modal awal The Government Pension Fund
Global (GPFG), salah satu SWF terbesar dan paling menguntungkan di dunia.
SWF milik Norwegia itu
memanfaatkan dana hasil penjualan minyak itu untuk berinvestasi dalam beragam
perusahaan/proyek yang menguntungkan, terutama di luar negeri. Dengan cara itu,
Norwegia memperluas dan menganekaragamkan sumber-sumber pemasukan negara
sehingga tak hanya tergantung dari minyak. Norwegia sadar bahwa disamping
minyak akan habis, harganya juga berfluktuasi yang bisa mengganggu
penyelenggaraan ekonomi negara.
The Alaska Permanent Fund
(APFC), SWF milik Negara Bagian Alaska di Amerika Serikat, juga menerapkan
konsep serupa Norwegia. Alaska kaya akan minyak dan gas. Negara-negara
petro-dollar di Timur Tengah juga mengambil jalan yang sama: memakai surplus
penjualan minyak untuk memodali SWF seperti Mubadala (Uni Emirat Arab) dan The
Public Investment Fund (Saudi Arabia).
China mengambil jalan
lain dari negara-negara itu. China tidak punya sumber daya alam melimpah, tapi
memiliki industri manufaktur yang kuat sehingga barang-barang buatan China
sangat kompetitif dan murah. Dengan itu, China mempunyai surplus dagang yang
besar dengan hampir semua negara di dunia. China memanfaatkan antara lain
surplus dagang itu sebagai modal awal untuk China Investment Corporations
(CIC), yang juga merupakan salah satu SWF terbesar di dunia.
Temasek dan Khazanah
memakai cara lain lagi, cara yang sepertinya ditiru Indonesia. Modal awal
Temasek dari dana segar yang disuntikkan pemerintah dan aset publik (BUMN) yang
diserahkan oleh negara kepadanya. Malaysia menyatukan BUMN dan kemudian menerbitkan
surat utang untuk menjadi modal awal Khazanah. Baik Temasek maupun Khazanah
belakangan memperoleh modal baru antara lain dengan menjual aset-aset BUMN
lewat privatisasi dan divestasi.
Indonesia, seperti
yang berulang kali ditekankan oleh Presiden Prabowo, adalah negeri yang
kaya-raya akan sumber daya alam: minyak, gas, sawit, batu bara, emas dan nikel,
untuk menyebut sebagian saja. Tapi, bukannya mengikuti jejak Norwegia,
misalnya, Indonesia mengambil jalan yang kurang-lebih sama dengan Temasek dan
Khazanah. Pemerintahan Prabowo menyuntik dana segar (hasil menyunat APBN) untuk
memodali Danantara, dan menyerahkan seluruh aset BUMN kepadanya.
Langkah Presiden
Prabowo ini bahkan berbeda mendasar dari gagasan Prof. Soemitro
Djojohadikusumo. Bukannya menyisihkan sebagian laba BUMN, Prabowo menyerahkan
sekaligus semua BUMN kepada Danantara. Berbeda pula tujuannya: bukan untuk
memperkuat usaha kecil dan koperasi, tapi membiayai mega-proyek.
KETERBATASAN
INDONESIA
Meski mencoba meniru
Temasek dan Khazanah, Indonesia sebenarnya tidak memiliki kemewahan seperti
Singapura maupun Malaysia. Pemerintah Indonesia tak bisa seleluasa Singapura
dalam menyuntik dana segar untuk memberi modal awal ke Danantara. Selama ini,
APBN terus-menerus defisit. Artinya negara sendiri kekurangan uang. Indonesia
hanya bisa melakukannya dengan mengorbankan pos anggaran lain.
Meski diglorifikasi
sebagai efisiensi, dana segar untuk Danantara (Rp 300 triliun) sebenarnya
diambil dari penyunatan terhadap pos anggaran penting lain seperti subsidi
pendidikan atau kesehatan. Pemerintahan Prabowo tidak menyunat anggaran
kementerian pertahanan untuk beli senjata, tidak menyunat porsi pembayaran
cicilan utang (yang tahun ini sekitar Rp 800 triliun) dan tidak pula menyunat
gaji serta anggaran fasilitas mewah untuk pejabat.
Indonesia juga tidak
seleluasa Malaysia dalam menerbitkan surat utang. Utang Danantara pada dasarnya
adalah utang negara juga. Dan Indonesia sudah punya utang menggunung, yang
terutama melonjak drastis pada masa Pemerintahan Jokowi. Lebih dari itu,
Indonesia juga harus menyisihkan dana lebih banyak untuk membayar utang
dibanding Malaysia.
Imbal hasil (yield)
surat utang Indonesia paling tinggi di Asean. Artinya, Indonesia harus
menjanjikan bunga lebih besar dari negara lain, untuk setiap dolar yang
dipinjam. Yield surat utang negara Indonesia kini sekitar 7%, sementara negara
lain lebih rendah: Malaysia 3,87%, Singapura dan Vietnam masing-masing 3%,
serta Thailand 2,24%. Imbal hasil yang tinggi mencerminkan risiko yang lebih
besar, termasuk risiko stabilitas ekonomi dan politik Indonesia.
Danantara tidak punya
kemewahan sebesar Temasek atau Khazanah untuk menyediakan modal dasar. Tapi,
itu baru sebagian soal. Soal lain adalah bagaimana modal awal itu dipakai untuk
menggandakan laba di masa depan, secara terus-menerus dan berkelanjutan,
sehingga menjadi "dana abadi".
DARI SEPAKBOLA
HINGGA ALIBABA
SWF Norwegia, The
Pensiun Fund Global, memanfaatkan modalnya untuk membeli saham-saham perusahaan
blue-chip di bursa-bursa dunia. Hampir semua portfolio investasi SWF Norwegia
itu ada di luar negeri. Norwegia kini memiliki 1,5% saham dari
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham dunia. Nampaknya kecil,
tapi itu mewakili kepemilikan saham di sekitar 9.000 perusahaan terbaik di
dunia. Dengan cara itu, Norwegia sebenarnya juga memanfaatkan bakat usaha
terbaik dari seluruh dunia untuk mendatangkan laba terus-menerus, yang
memungkinkan Norwegia menjadi salah satu welfare state paling mewah di
dunia.
Kuncinya adalah
diversifikasi: memutar uang SWF di sektor yang beragam di seluruh dunia,
khususnya di negeri ekonomi maju, sehingga aman dan mendatangkan keuntungan
yang stabil.
Cara Norwegia itu
belakangan diikuti oleh SWF dari Timur Tengah. SWF dari Arab Saudi, misalnya,
membeli perusahaan real-estate di Inggris. Atau membeli saham klub sepakbola
seperti Newcastle United. Emirat juga menguasai saham Manchester City Group dan
Qatar membeli Paris Saint Germain, serta menjadi sponsor klub terkenal seperti
Arsenal dan Barcelona. Jeddah (Arab Saudi) juga belum lama ini menggelar
pertandingan final supercopa Spanyol antara Barcelona vs Real Madrid.
Itu semua bagian dari
langkah diversifikasi ekonomi, agar mereka tak tergantung hanya pada minyak
yang akhirnya akan habis juga. Temasek Singapura juga punya sebagian besar
portofolio investasi (64%) di negeri-negeri ekonomi maju, termasuk Amerika
Serikat. Portofolio investasi Khaznah Malaysia masih sekitar 53% di dalam
negeri, termasuk dalam saham-saham BUMN-nya. Tapi, tahun lalu mulai agresif
mendanai proyek investasi di luar negeri dan membeli saham perusahaan asing
seperti Alibaba. Tujuannya? "Untuk mengurangi risiko ketergantungan pada
ekonomi dalam negeri" dengan mengikuti jejak Singapura dan Norwegia.
Indonesia tidak punya
kemewahan seperti itu. Alih-alih menanamkan modal di luar negeri, Indonesia
sendiri masih membutuhkan banyak investasi untuk menumbuhkan ekonomi dan
membuka lapangan kerja di dalam negeri. Apa kata orang jika uang Danantara
dipakai untuk membiayai perusahaan asing sementara kita masih dihantui
pengangguran dan kemiskinan kronis?
Terlebih lagi,
Presiden Prabowo sendiri bersumpah akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%
antara lain lewat pembangunan mega-proyek hilirisasi. Pemerintah berambisi
membiayai sendiri sejumlah megraproyek itu dengan modal awal Danantara.
"Kami tidak akan mengemis investasi asing," kata Presiden Prabowo.
"Kita harus menjadi negeri mandiri."
Pernyataan gagah
seperti itu tidak bertahan lama. Lewat Danantara, tak hanya Indonesia akan
makin banyak menumpuk utang, tapi juga menjadi sasaran investasi asing yang
menjadikan Indonesia sekadar pasar. Qatar, misalnya, dalam waktu dekat akan
investasi untuk membangun dan menjual 1 juta apartemen/rumah di Indonesia.
Dubai akan mengucurkan investasi senilai Rp 160 triliun ke Indonesia, lewat
kerjasama (joint-venture) dengan Danantara. Alih-alih berinvestasi ke luar
negeri, Indonesia justru menjadi sasaran investasi makin empuk bagi SWF-SWF
asing.
LAYAKKAH OPTIMISTIS
PADA DANANTARA?
Di samping pertanyaan
tentang sumber dana dan bagaimana dana itu diinvestasikan, optimisme kita
kepada Danantara akan tergantung pada seberapa percaya kita kepada segelintir
direksi Danantara dan pada Presiden Prabowo seorang. Juga tergantung pada
tekadnya untuk serius membangun kepercayaan (public trust), dengan
menghabisi praktik korupsi serta konflik kepentingan di kalangan
aktor-aktornya. Layakkah Presiden Prabowo menjadi "diktator yang baik
hati"?
Penerbitan surat utang
(obligasi) oleh BUMN, penjualan saham/aset dan pembentukan proyek joint-venture
BUMN dengan investor asing bukan hal yang baru di Indonesia. Bedanya, lewat
Danantara, semua itu kini bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih mudah,
melalui pengambilan keputusan yang tersentral di bawah presiden dan orang-orang
terdekatnya.
Korupsi luas di tubuh
BUMN selama ini membuat kita layak ragu, bahwa Danantara tidak mengalami nasib
serupa, menjadi ajang pesta para maling. Pengalaman pengelolaan "dana
abadi" model Danantara ini juga pernah memicu skandal kolusi dan korupsi
kolosal, seperti yang terjadi pada Dana Taspen, Asabri dan Jiwasraya.
Makin tersentral
keputusan, makin rawan manipulasi. Dan makin rapuh. Indonesia sedang menjudikan
hidup-matinya pada hidup-mati Presiden Prabowo, serta kesehatan fisik dan
kewarasan pikirannya. Semoga Presiden Prabowo dikaruniai umur panjang. Tapi,
bagaimana jika Allah menghendaki lain?
Danantara sebagai
gagasan sovereign wealth funds (SWF) tidak serta-merta buruk, dan sudah
banyak diterapkan di banyak negara. Tapi, ada contoh baik, dan ada pula contoh
buruk. Khazanah Malaysia termasuk kategori baik. Namun, Malaysia juga punya SWF
lain, 1Malaysia Development Berhad (1MDB), yang gagal. 1MDB bahkan menyeret
nama Perdana Menteri Najib Razak dalam sebuah skandal korupsi terburuk
sepanjang sejarah negeri itu. Kegagalan 1MDB terletak pada ketergantungannya
terhadap utang serta pada tata kelola buruk, yang tidak transparan dan tidak
akuntabel.
Tapi, bahkan jika
Danantara sukses dan menguntungkan, masih ada pertanyaan besar: apakah itu
benar-benar membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia? Presiden
Prabowo sudah menunjukkan tekadnya untuk melanjutkan program
"hilirisasi" Jokowi. Satuan Tugas Percepatan Hilirasi, yang dipimpin
oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, mengatakan Danantara akan membiayai proyek
hilirisasi senilai Rp 10.000 triliun sampai 2040. "Sekitar 90% di
antaranya akan digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan," kata
Bahlil.
KUTUKAN HILIRISASI
Itu dana yang kolosal.
Hilirisasi adalah istilah populer Pemerintahan Jokowi. Ide dasarnya bagus,
yakni membangun industri pengolahan sumber daya alam agar memberikan nilai
tambah lebih besar. Tapi, dalam praktek, ada banyak kelemahan. Hilirisasi nikel
tidak memberi pemasukan signifikan dan tidak meningkatkan kapasitas industri.
Indonesia justru mengalami de-industrialisasi beberapa tahun ini, sementara
dampak lingkungan dan sosialnya sangat menyedihkan.
Di tangan direksi
Danantara yang erat berlatarbelakang bisnis pertambangan, sebagian besar dana
kolosal itu besar kemungkinan akan mengalir ke sektor yang cenderung hanya
menguntungkan segelintir orang, dan sebaliknya justru memarjinalkan sektor lain
seperti pertanian, kelautan dan kehutanan.
Jika pernyataan
Menteri Bahlil benar, bahwa 90% dana akan dipakai untuk sektor pertambangan,
maka Indonesia juga sedang menjudikan nasibnya pada satu sektor saja. Jika
sektor itu kolaps atau merugi, runtuh pula negara.
Danantara bukan
panesea. Bukan obat untuk semua masalah. Bahkan mungkin bukan obat sama sekali,
melainkan racun, apalagi jika tata kelolanya buruk. Danantara menuntut
stabilitas ekonomi dan politik. Dan seperti sudah terjadi pada era Orde Baru,
stabilitas politik sering harus dibayar dengan pemberangusan demokrasi maupun
hak asasi manusia.
Watak utama Danantara
juga mencerminkan cara berpikir sentralistik dan hirarkis (bahkan militeristik),
yang memperkecil inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara
luas serta memperkecil peluang mereka untuk ikut menikmati kesejahteraan secara
adil dan merata.**
DAFTAR PUSTAKA
Presiden Prabowo
Luncurkan Danantara, Wujud Komitmen Pengelolaan Investasi Berkelanjutan
https://www.setneg.go.id/.../presiden_prabowo_luncurkan...
Prabowo: Ada 15
Megaproyek Tanpa Investasi LN, Peluncuran Danantara Bulan Ini
https://news.detik.com/.../prabowo-ada-15-megaproyek...
Terkuak, Danantara Ide
Prof Soemitro untuk Kelola BUMN dan 'Melawan' Konglomerat
https://ekonomi.republika.co.id/.../terkuak-danantara-ide...
World’s largest
sovereign wealth fund reports record $222 billion annual profit on tech rally
https://www.cnbc.com/.../worlds-largest-sovereign-wealth...
Temasek
https://www.temasek.com.sg/en/index
Khazanah Nasional
Berhad
Khazanah among world’s
best-performing sovereign wealth funds in 2024
https://theedgemalaysia.com/node/743911
Malaysia's Khazanah
aims to quadruple overseas investment to spread risk
https://www.reuters.com/.../malaysias-khazanah-aims-to.../
1MDB scandal
explained: a tale of Malaysia's missing billions
https://www.theguardian.com/.../1mdb-scandal-explained-a...
Imbal Hasil Obligasi
RI Tertinggi di Asia, Jadi Incaran Asing
https://www.bloombergtechnoz.com/.../imbal-hasil-obligasi...
Danantara Bakal Danai
Proyek Hilirisasi, Bank Mandiri Ikut Serta
https://www.cnbcindonesia.com/.../danantara-bakal-danai...
Merusak Lingkungan,
Hilirisasi Industri Nikel Perlu Dievaluasi
https://www.kompas.id/.../merusak-lingkungan-hilirisasi...
Hilirisasi Nikel,
Siapa yang Untung dan Siapa yang 'Buntung'?
https://www.voaindonesia.com/.../hilirisasi.../7445312.html
A US sovereign wealth
fund? A confused solution to an undefined problem
https://www.piie.com/.../us-sovereign-wealth-fund...
0 Comments:
Posting Komentar