Oleh : Yani Nur Syamsu
Saya yakin benar nama asli beliau adalah
Isma’il, tetapi semua orang Kalipahit, desa kami yang berada di pelosok
tenggara kabupaten Banyuwangi, memanggilnya mbah yai Mangil. Yang
paling menarik dari lelaki bertubuh mungil itu adalah wajahnya. Sejak saya
masih Madarasah Ibtidaiyah sampai berumur 50 tahun sekarang ini, raut muka
bersih, cerah, dan bercahaya itu tidak banyak berubah.
Mestinya saya yang paling yakin akan karomah pria sepuh itu. Tetapi
tidak. Menurut saya, Kyai Haji Ishaq, pengasuh pondok pesantren “An-Nur”,
satu-satunya adik kandung mbah yai,
menduduki level keulamaan jauh lebih tinggi. Mbah Mangil hanya
memiliki langgar kecil dan saya tahu persis dia tidak pernah Jum’atan. Banyak yang
bilang, mbah yai biasa sembahyang Jum’at di Makkah. Saya tentu saja tidak percaya
dengan desas-desus itu. Bagaimana mungkin beribadah Jum’at di Makkah wong mbah Mangil belum pernah menunaikan ibadah haji ?!
Akhir tahun 1984, seorang teman kuliah ikut berlibur ke Banyuwangi.
Jum’at siang itu kami tengah berboncengan sepeda onthel ketika tiba-tiba mbah Mangil berdiri
di tengah jalan merentang tangan, menghadang. Jangan-jangan kami disuruh
mengisi kulah musholanya ?! Takut ketinggalan Jum’at sayapun menghindar, memacu
sepeda lebih laju menuju masjid.
Selain pada peristiwa pencegatan itu, sampai sekitar satu tahun
yang lalu, saya tidak pernah bertatap wajah langsung dengan mbah yai Mangil. Waktu
di MI, sesekali saya melihatnya dari jauh. Namun demikian, perjalanan hidup
saya nyaris selalu bersinggungan dengannya. Bapak saya adalah teman sekamar
beliau, tatkala sama-sama
nyantri di sebuah
Pondok Pesantren besar di mBerasan, sekitar 40 kilometer dari Kalipahit.
Suatu kali bapak memboncengkan mbah Mangil, mereka
akan kembali ke pesantren usai libur lebaran. Sekitar 5 kilometer sebelum
sampai, tiba-tiba hujan turun sangat deras. “Pripun, Gus, kita terus saja atau ngeyup ?!” tanya bapak
keras-keras sambil terus mengayuh pedal sepeda,”Terus saja kang Jalil, nanggung!” sahut yang dibonceng, juga dengan berteriak.
Sesampainya di pondok, bapak yang menggigil kedinginan karena
sekujur tubuhnya basah kuyup sangat terkejut. Gus Isma'il melenggang santai
dihadapannya, tidak setetespun air menempel di baju putih dan sarung warna biru
itu. Sejak saat itu bapak berkeyakinan bahwa karibnya sejak anak-anak itu
adalah seorang wali. Dan sampai akhir hayatnya bapak selalu mengikuti apapun dawuh mbah yai.
Sejak di Madarasah Ibtidaiyah, setiap kali ujian semester, saya dan
adik-adik harus minum air putih dingin yang semalam sudah disuwuk mbah yai. Saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, selama MI
nilai rapor kami tidak pernah keluar dari 3 terbaik.
Ketika saya lulus MI, sebetulnya bapak,
seperti bapak-bapak lainnya di Kalipahit, menghendaki saya mondok di pesantren,
tetapi mbah yai Mangil melarang. Beliau malah
menyarankan agar saya dimasukkan di SMP Muhammadiyah yang ada di tetangga
kecamatan. Bapak tidak habis pikir, mbah yai, dia sendiri dan hampir semua orang Kalipahit adalah
anggota aktif organisasi Nahdlatul Ulama.
Di SMP, ritual minum air putih berlanjut dan selama tiga tahun
berturut-turut gelar juara umum tidak pernah lepas dari tangan saya. Pak Haji
Drs.Toharuddin, kepala Sekolah SMP Muhammadiyah secara khusus menemui bapak,
menyarankan agar saya melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah II Yogyakarta.
“Tidak usah khawatir dengan masalah dana pak Jalil, ananda bisa tinggal di
rumah kepala Sekolah SMA Muha, beliau adalah kakak kandung saya sendiri,” ujar
pak Toha, mungkin karena melihat keraguan dan kebingungan di wajah bapak.
Bapak hanyalah seorang petani kecil, membiayai sekolah sampai ke
kota pelajar adalah sesuatu yang muskil. Bapak pun segera menghadap mbah yai Mangil,
ternyata beliau sangat mendukung dan sangat bergembira mendengar kabar itu.
Tahun 1981, saya berangkat ke Yogyakarta. Sesuai petunjuk pak Toha,
saya njujug dan tinggal di rumah pak Haji Drs. Miftahuddin, kakak sulungnya. Sejak itu, baik di sekolah maupun di
rumah, saya bergaul dengan orang-orang Muhammadiyah, namun kebiasaan minum air
putih sebelum ujian masih berlanjut. Bapak secara rutin mengirimnya dari
Banyuwangi. Dan meskipun di kelas I saya tidak masuk sepuluh besar, namun
ketika naik ke kelas III saya juara I di kelas III IPA 5 dan bertengger di
kursi juara umum III.
Di kelas III saya menyadari betul bahwa jika tidak diterima di
perguruan tinggi negeri, maka saya tidak bisa meraih cita-cita, menjadi seorang
insinyur. Oleh karenanya saya kian rajin belajar, makin rajin salat tahajud dan
puasa sunnah. Kalau biasanya saya puasa Senin-Kamis maka sejak duduk di kelas
III saya rajin puasa nabi Daud.
Sayapun mengikuti Sipenmaru pada tahun 1984, tentu saja tetap
dengan minum air kiriman dari Banyuwangi. Alhamdulillah, saya diterima di Fakultas
Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada.
Begitulah, selama sekolah di Yogya saya hanya sesekali saja pulang
ke Kalipahit. Tiap kali pulang, saya selalu mendengar cerita tentang karomah
dan keistimewaan mbah Mangil . Saya tidak tahu mengapa tidak pernah sekalipun diajak
bapak menghadap mbah yai. Yang
jelas semakin banyak saja tamu yang datang untuk menemui beliau. Mereka berasal
dari seluruh penjuru Jawa Timur bahkan tidak jarang tamu-tamu itu berasal dari luar Jawa.
Ada pedagang yang ingin laris dagangannya, ada orang yang mau mantu
dan menanyakan hari baik, dan yang paling sering adalah orang-orang yang sedang
mengincar kursi legislatif di semua tingkatan. Sering juga para calon lurah,
camat, bupati atau gubernur. Kalau tidak salah, bahkan para capres sesekali
juga mengirim seseorang untuk menghadap.
Tidak semua tamu bisa berjumpa dengan mbah yai. Yang ditemuipun kadang-kadang malah dikerjain,seperti disuruh membersihkan pelataran rumahnya yang
sangat luas itu, menimba air sumur untuk mengisi bak mandi atau membersihkan
kamar mandi mushola. Dengar-dengar, mbah yai tahu dengan
tepat berapa rupiah uang yang ada di dompet para tamunya.
Ada juga sebuah kejadian. Suatu sore mbah yai memanggil
seorang tetangganya. Kemudian dia menyuruh orang itu untuk membeli pralon rusak
yang penuh tanah kering. “Berapa mbah yai?” tanya yang dipanggil,”Satu juta, kontan!” sahut mbah
yai enteng.
Orang itupun kelimpungan, dia tengah punya hutang 10 juta untuk
biaya operasi istrinya yang baru saja melahirkan. Tetapi untuk menolak juga
tidak berani,”Enggih mbah yai, saya tak pulang dulu ngambil uangnya,”.
Akhirnya dia mengumpulkan uang dengan meminjam kerabat dan tetangga-tetangga.
Kemudian langsung menyerahkan uang itu kepada mbah yai yang segera
mengangsurkan pralon yang dipegangnya,”Kamu bawa pulang lho, awas jangan dibuang !”
Bapak muda itu pulang dengan langkah gontai. Sesampai di rumah dia
tidak langsung masuk. Didalam sedang penuh ibu-ibu yang lagi njagong bayi. Dia duduk
di balai-balai di
emper rumah, thenger-thenger sambil
mengetuk-ngetukan pralon rusak sepanjang sekitar 1 meter itu. Diantara gumpalan
tanah yang rontok, dia melihat sesuatu yang terbungkus plastik. Dengan hati
berdebar dia bongkar bungkusan, ternyata berisi seikat lembaran-lembaran uang
rupiah berwarna merah menyala yang masih baru, laki-laki itu langsung
tersungkur bersujud syukur. Setelah dihitung uang itu berjumlah tepat 11 juta
rupiah.
Memasuki kuliah, saya mohon izin kepada pak Miftah untuk kost di
Bulaksumur. Saya tidak ingin mempunyai hutang budi terlalu banyak kepada
keluarga beliau. Meskipun dengan berat hati pak Miftah mengizinkan, dengan
pesan saya harus terus menjaga tali silaturahmi.
Bapak hanya bisa mengirim wesel empat bulan sekali, yakni pada saat
panen padi. Untungnya begitu menjadi mahasiswa saya bisa mencari tambahan
pemasukan dengan memberi les matematika dan bahasa Inggris untuk anak-anak SMA.
Namun ketika memasuki semester tujuh kebutuhan kuliah semakin besar. Saya
memerlukan dana yang tidak sedikit untuk beli buku teks, untuk penelitian,
untuk kuliah kerja lapangan, kerja praktek dan KKN.
Tuhan maha pengasih, maha penyayang. Ketika kondisi keuangan kian
berat, Departemen Pertahanan Keamanan RI menyelenggarakan seleksi masuk sekolah
perwira beasiswa ABRI. Sayapun mendaftar, bapak tentu saja tidak lupa dengan
air putih yang telah didongani mbah
yai Isma’il. Puji
syukur kepada tuhan Allah SWT, saya lulus seleksi dan langsung mengikuti
pendidikan militer di Komando Pendidikan TNI AL Surabaya.
Pada Juni 1988 saya bersama 129 mahasiswa lainnya dilantik menjadi
letnan dua ABRI. Kemudian kembali ke kampus untuk menyelesaikan S1 sebagai
perwira tugas belajar dengan gaji penuh plus beasiswa. Tahun
1991 saya diwisuda sebagai insinyur kimia dan segera bertugas di Pusat
Laboratorium Investigasi Polisi di Jakarta.
Pada awal tahun 2002, koran-koran mengabarkan dibukanya peluang
mendapatkan beasiswa menempuh paska Sarjana di Inggris dari British Council. Saya pun melaporkan hal ini ke bapak. Tak berapa lama bapak mengirim
air, kali ini disertai sebuah ballpoint yang sudah diberi asma’
oleh mbah yai Isma’il untuk digunakan ketika saya mengikuti seleksi.
Alhamdulillah, pada proses seleksi yang berlangsung selama 6 bulan
itu, sekitar 40 orang peserta seleksi, termasuk saya, berhasil lolos dengan
menyingkirkan tidak kurang dari delapan ribu peminat. Agustus 2003 saya berangkat ke Inggris untuk menempuh master di University of Stirling di Negara bagian Skotlandia. Pada waktu itu, bapak yang jalannya
sudah deyek-deyek akibat kerja terlalu keras sejak masih muda, telah divonis terkena
penyakit jantung.
Awal juni 2004, ketika saya hubungi lewat
telepon bapak menyampaikan pesan mbah yai,”Le, awakmu kalau bisa, disuruh
pulang minggu depan ini,” Tentu saja saya tidak bisa memenuhi permintaan itu. Disamping
harus menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, saya tidak memiliki cukup
dana. Saya hanya bisa menangis sendirian di kamar ketika pada pertengahan Juni
itu bapak meninggal dunia.
Begitulah, sampai akhirnya tahun lalu saya
bersama istri berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah. Menjelang
wuquf di Arafah, saya
berniat melaksanakan tarwiyah sesuai sunnah Nabi Muhammad SAW, saya mendahului
rombongan dengan berjalan kaki untuk menginap di Mina. Hari Selasa dini hari
tanggal 23 Oktober 2012 atau bertepatan dengan tanggal 7 Dzulhijjah 1433
Hijriyah itu, saya berangkat dari masjidil Haram.
Istri sebetulnya sudah melarang tetapi tekad saya sudah bulat. Saya
yakinkan wanita yang telah dua dasa warsa setia mendampingi hidup saya itu
bahwa suaminya sudah biasa melakukan lintas medan. Waktu pendidikan militer
saya pernah jalan kaki lebih dari seratus kilometer. Makkah-Mina cuma sekitar 8
kilometer, dengan peta, kompas dan HP yang ada program GPS-nya, saya yakin tidak akan tersesat.
Menurut informasi panjang terowongan Mina hanya sekitar satu
kilometer. Rasanya sudah lebih dari tiga jam yang lalu saya memasuki
terowongan, tetapi ujungnya belum juga kelihatan. Saya juga melihat satu
keanehan, tadi banyak sekali jamaah haji yang bersama-sama memasuki terowongan,
tetapi semakin ke dalam rasanya semakin sedikit orang-orang yang ada di sekitar
saya.
Ketika sampai di
pintu keluar, saya betul-betul sendirian. Sejauh mata memandang yang terlihat
adalah hamparan padang pasir dengan beberapa bukit dan gunung di sebelah sana.
Sementara matahari sedang terik-teriknya. Saya ragu-ragu antara meneruskan
perjalanan atau kembali masuk terowongan. Mestinya tiga atau empat kilo meter
di depan sana sudah terlihat ribuan tenda berwarna putih. Tetapi yang ada
hanyalah hamparan padang pasir.
GPS smartphone mengabarkan, saya berada di jalur yang tepat. Saya pun terus melangkah kearah matahari terbit. Kelelahan mulai mendera
kaki, pakaian ihram pun mulai lusuh
dan kotor oleh debu. Rasanya mulut terowongan sudah saya tinggalkan ratusan
menit lalu tetapi Mina belum juga tersua. Matahari sudah lingsir.
Terngiang-ngiang kata istri tadi malam,”Nggak usah aneh-aneh to yah, jangan lupa tahun depan ayah sudah lima puluh tahun ?!”. Saya
coba menghubungi ketua rombongan, tidak ada sinyal. GPS pun tidak berfungsi lagi. Takut, ngeri, putus asa mulai merayapi
hati.
Ego meluruh, kesadaran betapa diri hanya laksana sebutir debu nir
makna ditengah hamparan padang pasir merangkak naik. Pertanyaan yang selama ini
sayup-sayup menyapa didasar hati tiba-tiba saja menjali, menyeruak ke
permukaan. Usiamu sudah hampir setengah abad, apa yang sudah kamu dharma baktikan kepada kerabat, kepada masyarakat Kalipahit, dan kepada
Indonesia ?!
Nihil! Selama ini kau hanya memikirkan karier dan kepentinganmu
sendiri. Kamu memang bisa menjadi seorang Komisaris Besar Polisi ketika usiamu
belum 40 tahun dan kurang dari satu tahun berikutnya kamu dipercaya menjabat
sebagai Kepala Cabang Laboratorium Investigasi. Bahkan do’a-do’a hajimu kali
ini dipenuhi permintaan agar engkau diangkat menjadi Kepala Pusat Laboratorium
Investigasi.
Ya, engkau
berhasrat besar menjadi orang Kalipahit pertama yang menjadi jenderal. Engkau
tidak menyadari bahwa itu semua tidak bermakna apa-apa bagi warga Kalipahit.
Sungguh apa yang sudah engkau terima sangat tidak sepadan dengan apa yang
engkau berikan. Bahkan, camkan wahai diri yang merasa hebat, engkau belum
mempersembahkan apapun untuk kehidupan!
Saya menangis tersedu! Rasanya shalat jama’ ta’khir qasar itu
merupakan sembahyang paling khusyu’ yang pernah saya lakukan. Tiada tuhan selain Engkau ya Allah,
Maha Suci Engkau, ampunilah hambaMu yang zalim ini!
Usai shalat, perasaan saya menjadi agak tenang, saya pasrahkan diri
ini sepenuhnya kepada Tuhan. Karena yakin telah tersesat, saya memutuskan untuk
kembali kearah terowongan Mina. Matahari hampir tenggelam, mulut terowongan
belum juga kelihatan. Hanya hamparan padang pasir blegedekan yang tersapu
pandangan. Ketakutan akan mati dalam keadaan kedinginan dan kelaparan kembali
menggerogoti hati.
“Hoe, thole anake kang Jalil, sampeyan mau
kemana ?!” terdengar sebuah teriakan. Ketika menoleh, di belakang saya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh mungil,
dengan busana kebesarannya, peci beludru hitam yang sudah berubah kecoklatan
disana-sini, kaos oblong putih lusuh, sarung pulekat hijau yang juga sudah
pudar warnanya dan sandal jepit rombeng.
Sayapun kamisosolen,
tidak bisa berucap apa-apa. Mbah
yai Mangil begitu
saja menggamit tangan kanan saya dengan tangan kirinya. Sepertinya tidak sampai
15 detik, tiba-tiba saja kami sudah berada di depan pintu gerbang perkemahan
yang terbuat dari batangan besi. Disisi kiri kanan pintu gerbang itu berkibar
bendera merah putih. Saya kembali terhenyak, tidak ada siapa-siapa di sebelah
kanan saya. Sayapun tersungkur dalam syukur.
“Allahuakbar, Allahuakbar………….!” Kumandang adzan magrib bergema memenuhi udara Mina menjelang malam
itu.
Puncak Bukit Sanggulan, Januari 2016
0 Comments:
Posting Komentar